Kemiskinan Ekstrem Menjadi Nol Persen dalam Setahun, Mampukah Diwujudkan?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Kemiskinan Ekstrem Menjadi Nol Persen dalam Setahun, Mampukah Diwujudkan?

 

Oleh. Siti Juni Mastiah, SE.

(Anggota Penulis Muslimah Jambi dan Aktivis Dakwah)

 

Presiden Joko Widodo ingin mengentaskan kemiskinan ekstrem ketika mengakhiri masa jabatannya pada tahun depan. Optimisme Presiden Jokowi sangat bertabrakan dengan realitas, karena angka kemelaratan di negeri kita ini masih sangat tinggi. Pendapat itu juga disampaikan oleh pakar yang menyatakan hal tersebut terlampau ambisius sehingga tidak mungkin tercapai.

Peneliti dari SDGs Center Universitas Padjajaran Bandung, Prof. Arief Anshory berpendapat, pemerintah akan kesulitan menurunkan angka kemiskinan ekstrem 1% dalam setahun. Apalagi target yang menjadi sasaran dalam program ini tidak mudah diidentifikasikan dan dijangkau. Mereka misalnya adalah kelompok terpinggirkan seperti perempuan, tinggal didaerah terpencil, dan memiliki disabilitas. (voaindonesia.com, 10/06/2023)

Dalam penjelasan pemerintah, kemiskinan ekstrem adalah kondisi dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, air bersih, sanitasi layak, kesehatan, tempat tinggal, dan akses informasi. Dalam angka hitungan rupiah menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021, seseorang dikatakan miskin ekstrem jika pengeluarannya ada di bawah Rp 10.739 /orang /hari atau Rp 322.170 /orang /bulan. Maka berdasarkan hitungan itu, satu keluarga yang memiliki dua anak, dinilai miskin ekstrem jika pengeluarannya dibawah atau setara Rp 1,28 juta perbulan.

Target waktu penghapusan kemiskinan ekstrem menjadi 0% dalam waktu setahun memang sangatlah ambisius. Karena data terakhir dari Maret 2021 angka nasional kemiskinan ekstrem sebesar 2,14% atau 5,8 juta jiwa, hanya menurun pada Maret 2022 menjadi 2,04% atau 5,59 juta jiwa. Tidak semudah yang diungkapkan untuk menurunkan menjadi 0% dalam setahun. Karena kemiskinan di negeri ini terjadi secara struktural dan sistemik.

Pasalnya sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan secara sadar di negeri Indonesia ini memang meniscayakan terwujudnya kemiskinan. Sistem yang tegak diatas asas yang batil yakni sekulerisme yang memisahkan aturan dan peran agama dari kehidupan, yang menafikan standar halal dan haram sebagai standar perbuatan.

Selain itu juga sistem sekuler ini pengaturannya tegak diatas pilar yang rusak, yakni liberalisasi dalam kepemilikan yang membolehkan para pemilik modal menguasai kekayaan alam negeri ini. Padahal kekayaan alam tersebut sejatinya adalah milik umat. Inilah membuka peluang terjadinya ketidakadilan dalam distribusi kekayaan ditengah umat. Sebab para pemilik modal mendapatkan akses besar terhadap kekayaan tersebut. Sementara sebagian besar rakyat akan semakin sulit mengakses kebutuhan mereka.

Parahnya lagi liberalisasi ekonomi dalam sistem kapitalis melegalkan kapitalisasi seluruh sektor kehidupan seperti pendidikan dan kesehatan yang menjadi kebutuhan asasiyah masyarakat perindividu menjadi objek yang dikomersialkan. Membuat rakyat harus merogoh kocek yang cukup besar untuk mengaksesnya. Ditambah yang membuat menyesakkan dada dibalik kesengsaraan rakyat, para pemimpin di negeri ini menampilkan gaya hidup penuh kemewahan. Akibat cara pandang mereka terhadap jabatan adalah identik dengan prestise, martabat, kehormatan, hingga menjadi ladang penghasilan yang subur. Maka wajar kekuasaan, jabatan menjadi ajang perebutan. Karena disinilah nanti mereka akan melakukan praktik korupsi sebagai jalan melipatgandakan kekayaan.

Perbuatan tersebut berbeda dengan prinsip Islam, yang menjadikan orang-orang terpilih sebagai pemimpin untuk menjalankan amanah dengan seadil-adilnya. Sebagai pemimpin mereka akan menjalankan aturan Islam karena ketaatan kepada Allah semata, dan ada rasa takut yang luar biasa terhadap hari pertanggungjawaban kelak di akhirat, jika memimpin dengan tidak amanah dan tidak adil. Sehingga ajang pemilihan pemimpin di dalam Islam bukanlah ajang perebutan kekuasaan, melainkan ajang ketakwaan untuk melaksanakan perintah Allah Swt.

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa kemiskinan di Indonesia ini akibat dari penerapan sistem kapitalis sekuler buatan manusia yang tidak memihak pada kepentingan rakyat. Aturan atau program apapun yang dijalankan untuk mengentaskan kemiskinan ekstrem menjadi nol persen (0%) akan berujung sia-sia. Sebab seluruh upaya yang dilakukan tidak menyentuh akar persoalannya.

Dalam Islam, negara wajib untuk bisa memenuhi kebutuhan asasiyah setiap individu warga negaranya. Menjaga dan memastikan agar kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan mampu dipenuhi, termasuk dalam kepastian memenuhi pelayanan jasa pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Dengan hal tersebut maka kesejahteraan akan mampu dirasakan.

Islam melarang negara menyerahkan pemenuhan kebutuhan asasiyah masyarakat kepada pihak swasta. Maka ada 2 cara yang ditempuh Negara Islam dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya, yakni melalui mekanisme langsung dan tidak langsung.

Pertama, mekanisme langsung, wajib dilakukan oleh negara dengan memberikan pelayanan langsung berupa pelayanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan pada setiap individu rakyatnya, baik muslim atau non muslim, kaya atau miskin yang diberikan secara gratis. Negara juga wajib menyediakan semua fasilitas yang dibutuhkan untuk pelayanan jasa tersebut, seperti pengadaan rumah sakit dan semua infrastrukturnya, sarana pendidikan dan semua perlengkapannya, serta sarana perlindungan keamanan beserta perangkat hukumnya. Seluruh biaya yang diperlukan untuk hal tersebut ditanggung oleh kas negara yakni Baitul Maal.

Kedua, mekanisme tidak langsung, untuk menjamin kebutuhan pokok rakyat ditempuh dengan cara menciptakan kondisi dan sarana yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pokok tersebut. Diantaranya dengan cara :

1.) Negara akan memberikan lapangan pekerjaan yang layak bagi semua kepala rumah tangga yakni laki-laki. Mereka dimudahkan dalam mengakses lapangan kerja yang akan memberikan kepastian bagi kaum laki-laki untuk mencari nafkah, serta memenuhi kebutuhan primer dan sekunder bagi keluarganya.

2.) Jika individu laki-laki tidak sanggup bekerja karena ada uzur syar’i seperti sakit, cacat dan sebagainya, maka ahli waris yang mampu untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Jika tidak ada ahli waris yang mampu, maka negaralah yang wajib memenuhi kebutuhan pokoknya melalui kas Baitul Maal.

Dengan demikian pengentasan kemiskinan akan mampu terwujud jika negara ini mau mengambil Islam secara menyeluruh untuk diterapkan. Ingatlah pesan Allah dalam firman Nya yang artinya :

“Apakah hukum (aturan) jahiliyah yang kalian kehendaki. Hukum siapakah yang lebih baik dari pada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin (meyakini agamanya).” (T.QS. Al Maidah : 50)

Dan firman Allah Swt., dalam Al Quran Surat Al A’raf ayat 96, yang artinya “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti akan Kami limpahkan keberkahan dari langit dan bumi. Tetapi ternyata mereka mendustakan ayat-ayat Kami, maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.”

Sangat jelas bahwa problem kemiskinan dan berbagai permasalahan kehidupan di negeri ini akibat dari ketidaktaatan kita kepada aturan Allah Swt untuk diterapkan secara keseluruhan dalam semua lini kehidupan.

Wallahu’alam bishshawaab.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *