Harga Gula Naik, Butuh Solusi Terbaik

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Harga Gula Naik, Butuh Solusi Terbaik

Hamnah B. Lin

Kontributor Suara Inqilabi

 

Kemendag mengungkap biang kerok penyebab kelangkaan gula di ritel modern belakangan ini. Menurut Direktur Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Isy Karim, kelangkaan terjadi karena pelaku usaha kesulitan mendapatkan stok gula dari impor dan harga yang tinggi.

“Ya karena lebih kesulitan memperoleh gula di sana (dari impor) dengan harga yang boleh di Indonesia kan. Harganya kan di luar tinggi,” kata di Kementerian Perdagangan, Jumat (19/4) seperti dikutip dari detikfinance.

Ia menambahkan saat ini harga gula internasional sejatinya sudah turun. Namun, pasokan yang saat ini diimpor didapatkan menggunakan harga sebelum mengalami penurunan. Penyebab lainnya saat ini pabrik gula juga belum melakukan penggilingan.

Secara rata-rata bulanan, harga gula saat ini melampaui harga tertinggi pada 2023 yang tercatat mencapai Rp17.270 per kg pada Desember. Pada April 2024, harga rata-rata bulanan nasional tercatat di Rp17.950 per kg, naik dari harga Maret 2024, yakni Rp17.820 per kg. Lonjakan harga gula ini berlanjut sejak Agustus 2023 lalu, yang tercatat masih di Rp14.700 per kg. Artinya, harga rata-rata bulanan sudah mengalami kenaikan sekitar 22,10%.

Perihal ini, Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen menyebut, kenaikan harga gula di tingkat konsumen terjadi karena ketersediaannya yang kurang, ditambah pemerintah tidak memiliki stok atau cadangan gula nasional. Setiap kali impor pun pemerintah ternyata tidak menyisihkan simpanan stok gula untuk cadangan. Akibatnya, saat harga gula tengah bergejolak seperti saat ini, pemerintah tidak bisa melakukan intervensi harga.

Mengutip CNBC Indonesia (18-4-2024), pemerintah melalui Bapanas telah menetapkan harga acuan pembelian (HAP) gula di tingkat konsumen yang semula Rp16.000 per kg kini menjadi Rp 17.500 per kilogram. Sementara khusus untuk wilayah Maluku; Papua; dan wilayah Tertinggal, Terluar, dan Perbatasan, ditetapkan sebesar Rp18.500 per kg.

Keputusan kenaikan harga ini menyusul adanya permintaan dari Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo) untuk merelaksasi harga gula karena pihaknya mengaku sulit menjual gula sesuai HAP yang ditentukan, sedangkan harga beli dari produsen gula sudah tinggi. Aprindo menilai jika relaksasi tidak diberikan kelangkaan gula akan terjadi di ritel. Untuk itu, Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi menyebut penetapan HAP gula yang baru ini akan hingga 31-5-2024. Dengan demikian, ia memastikan gula tidak akan langka di ritel.

Jika dicermati, sungguh ada fenomena permainan harga dalam gejolak harga gula ini. Dimana pemilik modal atau pedagang gula besar punya kuasa untuk menekan pemerintah. Lagi, para kapitalis memenangkan harga di pasaran. Pemerintah tak punya taring untuk bisa mengendalikan harga. Bukan masalah stok kurang dan mahalnya harga, namun yang nyata adalah adanya kong kalikong para kapitalis dengan pemerintah untuk meraup untung sebanyak – banyaknya.

Industri gula sejatinya industri strategis, selain sebagai salah satu sumber lapangan pekerjaan, juga mampu meningkatkan perekonomian negara. Beberapa faktor berkontribusi pada rendahnya produksi gula dalam negeri.

Pertama, makin berkurangnya area tanaman tebu karena keengganan petani untuk menanam tebu dan mengonversi lahannya.Hal ini dipicu oleh Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gula tani sebesar Rp 11.000 per kilogram yang dinilai merugikan petani karena masih dibawah biaya pokok produksi.

Kerugian petani semakin bertambah dengan masuknya gula impor ke Indonesia. Terjadinya kelangkaan pupuk subsidi dan benih bagi para petani tebu, makin menambah keengganan petani untuk bertanam tebu. Luas area tanaman tebu diperkirakan semakin berkurang seiring meningkatnya pembangunan kawasan industri dan pengembangan infrastruktur besar-besaran terutama di Pulau Jawa.

Kedua, berupa kualitas bibit tebu yang rendah dan ketidaksesuaian antara varietas tebu dengan lokasi pertanian yang tersedia.

Ketiga, yaitu praktek pertanian tradisional karena relatif tidak tersedianya tenaga kerja yang mampu menerapkan budidaya tebu dengan teknologi modern.

Keempat, mesin-mesin berusia tua yang minim pemeliharaan. Seperti kita ketahui, sebagian besar pabrik gula di Indonesia merupakan peninggalan kolonial Belanda yang berusia lebih dari 100 tahun,yang membutuhkan revitalisasi.

Dalam Islam, Negara harus melarang lahan pertanian, perkebunan dan sejenisnya dari penguasaan oleh individu, korporat, apalagi kapitalis asing. Kebijakan ini akan melindungi petani maupun lahan pertanian dari dominasi pemodal besar maupun pemodal asing. Sebagaimana sabda Rasuslullah “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api”. (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Untuk menunjang kebutuhan peralatan pertanian yang memudahkan kerja para petani, pemerintah harus menerapkan politik industri berbasis industri berat meliputi mesin-mesin, peralatan, dan bahan baku. Yang tidak kalah penting, negara wajib menganggarkan biaya untuk kemandirian industri, termasuk dana riset untuk memajukan pertanian. Kemudian bila terjadi kekurangan ketersediaan barang, solusi pertama bukanlah impor, namun mendatangkan barang tersebut dari daerah lain yang memiliki stok berlimpah. Penguasa dalam sistem Islam yakni khalifah memiliki kesadaran penuh bahwa dirinya adalah pelayan rakyat.

Wallahu a’lam bish-shawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *