Buruh Juga Manusia, Pengusaha Jangan Semena-mena

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Buruh Juga Manusia, Pengusaha Jangan Semena-mena

Fajanuta

Penggiat literasi 

 

Masih ingat slogan Presiden Joko Widodo yang ‘Kerja, Kerja, Kerja’? Tampaknya itu bukan diperuntukkan untuk beliau saja, tetapi untuk seluruh rakyat Indonesia, terkhusus para buruh di Indonesia. Dalam Hari Buruh 2024 nanti, akan ada tema yang diusung, yaitu “Social Justice and Decent Work for All”. Ya, tampaknya, lagi-lagi itu hanyalah ilusi.

Faktanya, sebanyak 69 persen perusahaan di Indonesia menghentikan sementara merekrut karyawan baru karena takut akan terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Survei yang diusung oleh Talent Acquisition Insights 2024 Mercer Indonesia ini bahkan 67 persen di antaranya merupakan perusahaan besar. (CNN Indonesia, 30/4/24)

Sehingga, masalah buruh yang terdiri dari upah rendah, kerja tak layak, hingga maraknya PHK dan sempitnya lapangan kerja adalah masalah umum yang sudah terjadi sejak bertahun-tahun lalu tetapi tak nampak solusi yang nyata. Seakan kesejahteraan hanya ilusi, buruh hanya mampu hidup hari demi hari, tanpa bisa memikirkan untuk masa depan, membeli rumah, bahkan mengenyam pendidikan yang layak tanpa khawatir uang SPP anak nunggak.

Jadi, mana peran pemerintah yang katanya dengan adanya Omnibus Law akan lebih mensejahterakan rakyat? Bukankah itu hanyalah alat bermata pisau dua?

Sekarang, mari kita renungkan. Buruh ada karena adanya sistem kapitalisme yang menggerogoti perasaan manusiawi dan hati nurani. Sehingga, para pengusaha dan pengusaha hanya mementingkan keuntungan sendiri.

Sehingga, persoalan buruh akan terus ada selama diterapkan sistem kapitalisme ini. Jangan denial bahwa kapitalisme lah yang menganggap buruh hanya faktor produksi. Semua setuju bahwa nasib buruh tergantung pada perusahaan, sementara tak ada jaminan dari negara karena negara hanya berperan sebagai regulator dan penengah antara buruh dan perusahaan.

Berapa banyak perusahaan yang semena-mena terhadap karyawan meski sudah ditetapkan aturan jam kerja? Meminta karyawan bekerja di hari Raya Lebaran, mengirim dokumen di tengah liburan, bahkan ketika karyawan menolak, dijadikan alasan pemecatan. Apakah itu layak?

Islam memandang buruh adalah rakyat, di mana negara wajib bertanggungjawab untuk memastikan kesejahteraan. Negara harus memiliki mekanisme ideal melalui penerapan sistem Islam kaffah dalam semua bidang kehidupan, termasuk menjamin nasib buruh dan juga keberlangsungan perusahaan sehingga menguntungkan semua pihak, bukan hanya satu golongan saja.

Islam akan menentukan upah dalam akad kerja berdasarkan keridhaan semua pihak. Islam juga akan memiliki standar upah yang ditentukan oleh khubara, sesuai kebermanfaatan yang diberikan oleh pekerja, dedikasi, dan lain sebagainya.

Semua setuju bahwa buruh memanglah ‘kaki-tangan’ dari sebuah perusahaan yang memiliki modal besar untuk membayar tenaga mereka. Tetapi buruh juga manusia yang semestinya diperlakukan dengan layak tanpa dipandang sebelah mata.

Sebagaimana Allah SWT melihat semua hamba-Nya sama, seharusnya para pengusaha juga malu memperlakukan buruh atau pekerja mereka sebagai ‘pembantu’ yang semena-mena diperintah tanpa empati, tanpa perasaan, dan hanya memikirkan diri mereka sendiri.

Wallahu’alam bish-shawwab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *