Polemik Wadas : Cermin Negara dalam Memonopoli Pembangunan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Polemik Wadas : Cermin Negara dalam Memonopoli Pembangunan

Oleh Amalia Elok Mustikasari 

Kontributor Suara Inqilabi

Konflik agraria di Wadas kembali diwarnai dugaan manipulasi persetujuan warga. Siasat berulang yang menjebak warga penolak tambang. Sejumlah warga yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas atau Gempadewa membantah telah menyepakati pembebasan lahan untuk tambang material pembangunan Bendungan Bener. Sebelumnya, dalam rilis yang siarkan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menyebutkan seluruh warga telah menyetujui pembebasan lahan. (Tempo, 01/09/2023).

Polemik mengenai rencana pertambangan di Desa Wadas terus berlanjut dan semakin memanas. Bahkan, Warga Wadas terus didesak untuk menerima kompensasi ganti rugi. Pada 29 Agustus 2023 lalu, Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kabupaten Purworejo telah mengeluarkan surat undangan penetapan bentuk ganti rugi pengadaan tanah pembangunan Bendungan Bener Purworejo. Dalam surat yang bernomor 2175.3/UND-33.06.AT.02.02/VIII/2023 itu, warga Wadas diminta menghadiri undangan pada Kamis, 31 Agustus 2023 dengan beberapa ketentuan. Namun, ternyata ketetapan itu berisi, jika pihak yang berhak tidak hadir dan tidak memberikan kuasa, maka mereka akan dianggap telah menyetujui bentuk dan besarnya ganti rugi.

Desas-desus pertambangan di Wadas untuk proyek Bendungan Bener sudah ada sejak 2018 lalu. Proyek ini masuk ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN), dan akan mengambil batuan andesit di Desa Wadas untuk pasokan bahan material bendungan. Proyek bendungan tersebut membutuhkan material quarry (tanah dan batuan andesit) sebanyak 15,5 juta m3 dengan kedalaman 40 m. Proyek penambangan di Wadas akan memakan lahan sekitar 145 ha dan pembangunan jalan akses quarry sepanjang 12 km. Salah satu metode yang digunakan untuk menambang perbukitan Wadas adalah dengan blasting (peledakan) menggunakan 5.300 ton dinamit yang akan dilakukan selama 30 bulan.

Bahkan demi mewujudkan rencana ini, Pemprov Jawa Tengah pada maret 2018 secara tiba-tiba memasukkan Desa Wadas dalam daftar pembebasan lahan padahal pada saat itu sebagian besar warga keras menolaknya. Penolakan warga ini bukanlah tanpa alasan. Mereka menganggap penambangan tidak sekadar mematikan mata pencaharian sebagian besar warga, akan tetapi juga merusak lingkungan yang bisa mengancam keselamatan nyawa warga Wadas dan sekitarnya.

Sebagian besar mata pencaharian warga Wadas adalah bertani. Hal ini didukung pula oleh kondisi alam wilayah Wadas yang subur dan senantiasa menghasilkan hasil bumi yang melimpah. Keuntungan warga dari hasil pertanian di Desa Wadas selama ini sangat baik. Berbagai hasil alam seperti durian, sengon, petai, kelapa, kemukus, vanili, lada, manggis, dan pohon aren mampu menghidupi para penduduk dengan sangat layak. Begitu banyak keuntungan yang diberikan bukit di Wadas itu sehingga warga menyebutnya sebagai “tanah surga di bumi Wadas”. Warga mengatakan hidup mereka berkecukupan dari alam di “tanah surga”. Sehingga wajar jika warga memiliki kekhawatiran akan sumber mata pencahariannya yang mungkin akan lenyap dengan adanya penambangan batu andesit.

Namun, meskipun sejak lama rencana penambangan Quarry ini mendapat penolakan dari mayoritas warga Desa Wadas, Pemprov Jawa Tengah sepertinya tidak peduli dan tetap berusaha merealisasikan proyek tersebut. Selama lima tahun terakhir, warga Wadas telah gigih berupaya menolak rencana pertambangan ini dengan berbagai cara, mulai dari tingkat desa hingga pihak berwenang pusat. Upaya ini mencakup pengajuan penolakan resmi hingga tingkat pengadilan, termasuk gugatan yang diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang dan penggugatan terhadap Dirjen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Meskipun Izin Penetapan Lokasi (IPL) di Desa Wadas telah habis pada tanggal 7 Juni 2023, rencana pertambangan masih terus dilaksanakan hingga saat ini. Mirisnya, warga yang menolak proyek penambangan ini harus berhadapan dengan aparat.

Sejak lama pembangunan di negeri ini berjalan, selain membawa kemajuan di segala sektor, patut diakui juga tidak sedikit permasalahan yang muncul mengikutinya. Lingkungan menjadi salah satu sektor yang selalu dikorbankan keberadaanya demi memenuhi hasrat pembangunan. Sering kali permasalahan lingkungan tidak terselesaikan dengan tuntas meskipun proyek pembangunan telah selesai. Polemik wadas adalah cerminan adanya monopoli dalam pembangunan, yang mana masyarakat sipil menjadi kelompok yang tidak mendapat haknya dalam pengambilan keputusan, sedangkan negara dan pemodal menjadi kelompok superior yang selalu mendominasi sebuah hasil keputusan. Hal inilah yang terjadi dalam konflik wadas dan juga konflik lingkungan lainya seperti konflik pembangunan pabrik semen kendeng, bandara ingternasional Yogyakarta, dan lainya, yang mana masyarakat dipaksa menyetujui penyerahan hak akan tanahnya, apabila menolak akan dianggap membangkang dan negara berhak merebut paksa hak akan tanahnya. Kondisi semacam ini seolah terus berulang dan kemudian menggerus kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.

Dalam hal ini sejatinya pemerintah dan aparat menunjukkan bahwa mereka telah kehilangan fungsinya sebagai pengayom dan penjaga keamanan rakyat. Mereka kini justru hadir dalam rangka menciptakan desakan dan intimidasi terhadap warga yang kontra terhadap kebijakan mereka. Kepentingan rakyat tidak lagi menjadi prioritas dalam mengambil setiap keputusan. Mereka terus berdalih bahwa proyek ini diperuntukkan untuk kepentingan rakyat dan pertumbuhan ekonomi padahal tidak demikian. Pemerintah justru hanya fokus kepada Proyek Strategis Nasional tanpa mempertimbangkan pendapat rakyat serta dampaknya terhadap keselamatan dan lingkungan hidup Rakyat. Inilah fakta yang harus diterima ketika berada di tengah penerapan sistem kapitalisme. Kepentingan rakyat bukan lagi tujuan, tapi agenda-agenda kapitalistiklah yang menjadi prioritas.

Padahal dalam Islam, jelas bahwa proyek-proyek yang diadakan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi harus dilakukan dengan mempertimbangkan banyak hal salah satunya lingkungan hidup. Karena lingkungan hidup yang rusak akan berdampak kepada rakyat secara langsung bahkan akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Dalam Islam, jika sebuah tambang menghasilkan jumlah yang besar dan strategis letaknya, maka negara-lah yang harus mengelolanya. Apalagi jika tambang ini sangat dibutuhkan negara untuk pelaksanaan proyek, maka wajib dikelola oleh negara dengan sebaik-baiknya sehingga tidak akan merusak lingkungan sekitar. Negara juga tidak boleh memaksakan kehendak kepada rakyat, apalagi memaksa dan mengancam serta merampas dari yang berhak. Islam memiliki aturan yang spesifik mengenai tambang, yakni pertambangan atau barang tambang merupakan harta milik umum sehingga tidak boleh dimiliki oleh individu tertentu. Baginda Rasulullah SAW pernah memberikan sebuah tambang garam kepada Abyadh bin Hamal. Namun setelah diberitahu salah seorang sahabat beliau, bahwa tambang itu adalah seperti al-ma’u al-’iddu (air yang terus mengalir), Rasulullah SAW lalu menarik kembali tambang itu dari Abyadh.

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barang siapa yang mengambil sesuatu (sebidang tanah) dari bumi yang bukan haknya maka pada hari kiamat nanti dia akan dibenamkan sampai tujuh bumi.” (Hadits Sahih Riwayat al-Bukhari: 2274)

Sudah seharusnya penguasa berdialog secara baik dengan rakyat. Tidak menggunakan kekerasan apalagi mencelakakan rakyat, kemudian membuat kesepakatan yang baik dengan rakyat. Jika rakyat telah memberikan keridhoannya, penguasa harus memberikan penggantian yang mampu menjamin kehidupan setelahnya dan tidak merugikan rakyat sedikit pun.

Di masa kekuasaan Khalifah Umar bin Khattab, pernah ada suatu permasalahan di mana seorang Wali Mesir, Amr bin Ash menggusur rumah warga yang miskin. Amr bin Ash melakukannya untuk mendirikan mesjid untuk kepentingan rakyatnya. Namun di wilayah yang akan dibangun mesjid tersebut, ada lahan milik salah seorang warga yaitu seorang Nenek Yahudi. Aparat negara telah berupaya dan bernegosiasi agar nenek tersebut bersedia menjual tanahnya. Namun ia tidak mau menjualnya meskipun sejengkal. Amr bin Ash terus berupaya membujuk si nenek, bahkan hingga menawarkan ganti rugi lima kali lipat dari harga normal tanah tersebut. Namun si Nenek Yahudi bersikukuh tak mau menjualnya. Akhirnya Amr bin Ash sebagai wali mengambil keputusan untuk menggusur tanah dan rumah Nenek Yahudi tersebut. Si nenek melaporkan perbuatan semena-mena Amr bin Ash tersebut kepada Khalifah Umar.

Laporan tersebut membuat Khalifah murka dan mengirimkan tulang belikat unta yang digores oleh garis lurus seperti huruf Alif kepada Amr bin Ash. Di tengah goresan itu dibubuhi goresan melintang menggunakan ujung pedang. Setelah menerima tulang itu, tubuh Amr bin Ash menggigil dan wajahnya pucat. Seketika itu juga Amr bin Ash memerintahkan untuk membongkar kembali masjid yang sedang dibangun dan membangun kembali rumah nenek Yahudi tadi. Si Nenek kebingungan dengan perbuatan Amr bin Ash. Amr lalu menjelaskan bahwa tulang itu adalah peringatan keras dari Khalifah Umar. Huruf Alif yang tegak lurus menunjukkan perintah untuk berlaku adil kepada siapa saja, baik masyarakat bawah maupun atas. Jika tidak bertindak adil seperti goresan tulang itu, maka batang lehernya akan ditebas. Nenek Yahudi itu tertegun dan menunduk terharu mendengar penjelasan tersebut. Akhirnya si Nenek mengikhlaskan tanahnya untuk pembangunan mesjid, sementara ia sendiri memeluk islam.

Demikianlah Islam selalu memberikan solusi yang terbaik yang senantiasa menuntaskan problematika umat tanpa ada satu pihak pun yang merugi. Seyogyanya, kaidah “kebijakan pemimpin harus disandarkan pada kemaslahatan rakyatnya” harus dipegang teguh, bukan malah terdistorsi dengan titipan kepentingan-kepentingan yang justru berimbas buruk terhadap rakyat.

Wallahu’alam bishshawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *