Tarif PCR Turun harga, Bahkan Gratis

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Iin S, SP

 

Penderitaan rakyat sampai saat ini belum juga berakhir, Covid 19 masih terus membayangi, celakanya pandemi ini tidak bisa diprediksi kapan usai. Bahkan biaya PCR pun sangat mahal, tentu saja menambah derita rakyat kecil atau masyarakat kurang mampu.

Dari berbagai kalangan masyarakat mengeluhkan tentang tarif PCR maupun Swab yang lumayan merogoh kocek tidak sedikit ini. Dalam cuitan di Twitter salah seorang warga net memberikan pernyataan, “harga PCR atau Swab harus murah- murahnya negara harus hadir memastikan ini. Kenapa negara lain bisa lebih murah dari kita saat ini ? Bukankah beli bayam 100 selalu lebih murah dari beli ayam 10. Ayolah bisa ! mohon kendalinya pak @Jokowi.” Tulis Tompi di akun twitternya.

Kritikan masyarakat atas mahalnya biaya tes PCR dan antigen mandiri, pemerintah akan menurunkan harganya. Namun negara yang mengevaluasi atau output lembaga-lembaga penyelenggara tes agar tetap memberikan pemasukan bagi negara.

Dilansir dari Detiknews.com,15/9/ 2021. Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri Kesehatan melalui kanal YouTube setpres agar harga tes Polymerase Chain Reaction atau PCR diturunkan kisaran Rp. 450.000 sampai Rp. 550.000, hasil tes PCR keluar dalam waktu maksimal 1 x 24 jam.

Menteri keuangan Sri Mulyani Indrawati juga akan membebaskan tarif penerimaan negara bukan pajak (PNBP) atas uji validitas rapid diagnostic test antigen yang dilaksanakan di laboratorium lingkup kementerian kesehatan, sebagaimana pasal 1 dapat ditetapkan sampai Rp. 0, 00 atau 0 rupiah atau 0%. Tarif uji validitas rapid test antigen di laboratorium Kemenkes menjadi Rp.694.000, hal ini mengacu pada keputusan menteri kesehatan nomor 47 tahun 2021 tentang laboratorium. Pengujian validitas rapid diagnostic test antigen menunjuk beberapa alat penguji yang di antaranya merupakan laboratorium lingkup Kementerian Kesehatan. IDNTimes.com, 15/9/202.

Negara Kapitalis Dalam Pelayanan Kesehatan.

Hadirnya pandemi Covid-19 telah membawa perubahan terhadap dunia dengan berbagai tantangan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Di Jawa tengah misalnya,total kematian akibat Covid-19 sebanyak 24.697 jiwa (CNN Indonesia.com, 13/8/2021). Angka kemiskinan di Jawa tengah per Maret 2020 saja sudah mencapai 3,98 juta jiwa atau 11,4 persen dari total populasi penduduk (Republika.co.id, 16/2/2021).

Dampak wabah pandemi menimbulkan efek psikologis dan sosial ekonomi. Banyak rakyat kehilangan anggota keluarga, kehilangan pekerjaan, sulit mencari lapangan pekerjaan, banyak usaha gulung tikar, PHK massal dan lainnya.

Berbagai permasalahan yang dialami rakyat begitu komplek, ibarat jatuh sudah tertimpa tangga. Wabah yang tak kunjung usai, angka kemiskinan yang merangkak naik akibat wabah tidak menjadikan penguasa di negeri ini prihatin atas penderitaan rakyat. Bagaimana tidak, untuk mengetahui seseorang terjangkit wabah penyakit covid 19 saja rakyat harus membayar mahal.

Pemerintah menurunkan tarif tes PCR dan Swab tentu saja tidak akan mengurangi derita rakyat, mau tidak mau rakyat tetap harus mengeluarkan biaya jika ingin melakukan tes. Sekecil apapun tarifnya tetap saja membebani masyarakat menengah dan kurang mampu. Inilah bukti negara selalu bertransaksi dan melakukan perhitungan untung-rugi secara ekonomi terhadap rakyat. Bukankah pelayanan kesehatan adalah bagian riayah negara bagi rakyat, seharusnya gratis justru berbayar mahal. Begitulah watak negara kapitalistik.

Sistem Islam Dalam Pelayanan Kesehatan.

Dalam meriayah rakyat, sistem khilafah tentu sangat berbeda dengan sistem kapitalis. Di dalam Islam, jaminan kesehatan untuk seluruh rakyat adalah tanggung jawab Negara. Pelayanan kesehatan wajib diberikan secara gratis (cuma-cuma) bagi masyarakat. Negara tidak boleh membebani rakyatnya untuk membayar kebutuhan layanan kesehatannya. Apabila tes ini termasuk bagian dari upaya pemerintah memisahkan antara orang sakit dan sehat dan merupakan satu rangkaian dari penanganan pandemik, maka semestinya bebas biaya bahkan ini harus dilakukan pada semua orang dengan tempo singkat. Haram hukumnya negara mengambil pungutan atas layanan yang wajib diberikan negara.

Rasulullah yang bertindak sebagai kepala Negara Islam, telah menjamin kesehatan secara cuma-cuma, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya dari rakyatnya itu.

Khalifah Umar selaku kepala Negara Islam juga telah menjamin kesehatan rakyatnya secara gratis, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa meminta sedikitpun imbalan dari rakyatnya.

Dengan demikian dalam Islam jaminan kesehatan itu wajib diberikan oleh Negara kepada rakyatnya secara gratis, tanpa membebani, apalagi memaksa rakyat mengeluarkan uang.

Pengadaan layanan, sarana dan prasarana kesehatan tersebut wajib senantiasa diupayakan oleh Negara bagi seluruh rakyatnya. Pasalnya, jika pengadaan layanan kesehatan itu tidak ada maka akan dapat mengakibatkan bahaya (dharar), yang dapat mengancam jiwa rakyatnya. Menghilangkan bahaya yang dapat mengancam rakyat itu jelas merupakan tanggung jawab Negara. Rasulullah saw. bersabda:
“Tidak boleh menimbulkan madarat (bahaya) bagi diri sendiri maupun madarat (bahaya) bagi orang lain di dalam Islam.” (HR Ibnu Majah dan Ahmad).

Mereka yang masuk kategori fakir maupun yang kaya tetap berhak mendapat layanan kesehatan secara sama, sesuai dengan kebutuhan medisnya. Sebabnya, layanan kesehatan tersebut telah dipandang oleh Islam sebagai kebutuhan dasar (primer) bagi seluruh rakyatnya.

Dengan demikian negara wajib senantiasa mengalokasikan anggaran belanjanya untuk pemenuhan kebutuhan kesehatan bagi seluruh rakyatnya. Negara tidak boleh melalaikan kewajibannya tersebut. Negara tidak boleh mengalihkan tanggung jawab tersebut kepada pihak lain, baik kepada pihak swasta maupun kepada rakyatnya sendiri. Jika hal itu terjadi, maka pemerintahnya akan berdosa dan akan dimintai pertanggungjawaban secara langsung oleh Allah SWT. Rasulullah saw. bersabda:
“Pemimpin yang mengatur urusan manusia (Imam/Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari dan Muslim).”

Bukan hal yang mustahil rakyat akan memperoleh pelayanan kesehatan secara gratis, baik pengobatan, test kesehatan, serta fasilitas kesehatan lainnya. Jika negara mau menerapkan Islam secara Kaffah seperti yang terjadi pada jaman kejayaan khilafah pada ratusan tahun lalu.

Wallahua’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *