Tarhib Ramadhan Menjadi Momentum Perubahan Hakiki

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Asha Tridayana, S.T.

 

Setiap tahunnya, setiap muslim di seluruh penjuru dunia selalu menantinkan bulan Ramadhan. Karena hanya di bulan Ramadhan seluruh amalan kebaikan bernilai berlipat ganda. Disamping itu juga merupakan bulan penuh berkah dan ampunan sehingga seluruh muslim berlomba-lomba dalam beribadah. Tidak ada yang ingin melewatkan Ramadhan tanpa berupaya meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaannya kepada Allah swt.

 

Terlebih Ramadhan tahun ini terasa lebih spesial setelah di tahun-tahun sebelumnya kemeriahan Ramadhan masih dibatasi oleh pemerintah. Mengingat pandemi virus corona yang mengharuskan untuk meminimalisir kerumunan masyarakat. Namun, di tahun ini kemeriahan Ramadhan mulai menghiasi lingkungan di beberapa wilayah. Tarhib Ramadhan pun digelar sebagai bentuk kegembiraan menyambut bulan suci yang dirindukan. Begitu besar antusias masyarakat yang bersuka cita melaksanakan tarhib Ramadhan. Meskipun tetap menerapkan protokol kesehatan tetapi tidak mengurangi esensi dan kemeriahannya sedikit pun.

 

Terlepas dari kegembiraan bulan Ramadhan yang tinggal menghitung hari, ada duka yang sebenarnya menyelimuti. Berjuta tanda tanya pun menghampiri, betapa nelangsanya hidup di negeri tempat kelahiran sendiri. Masyarakat mesti berjuang mencukupi kebutuhan di tengah kenaikan harga yang semakin menjulang. Memang sudah menjadi tradisi di setiap bulan Ramadhan hingga jelang Idul Fitri, harga bahan pokok selalu naik. Namun, kali ini sungguh semakin tidak manusiawi.

 

Salah satunya, minyak goreng yang menjadi kebutuhan setiap rumah tangga harus berganti harga. Bahkan hingga dua kali lipat harga semula. Padahal negeri ini terkenal dengan kelapa sawitnya yang melimpah. Namun, realitanya masyarakat kesulitan hingga harus berdesakan dan meregang nyawa saat berusaha mendapatkan minyak goreng. Tidak sedikit yang pada akhirnya berpendapat lebih baik mahal daripada langka. Lalu lelucon untuk merebus semua makanan pun merebak di tengah masyarakat. Namun, hal semacam ini bukanlah jalan keluar. Justru semakin mempersulit kehidupan dengan berpura-pura baik-baik saja menerima keadaan. Karena banyak dari masyarakat yang mengandalkan minyak goreng sebagai ladang penghidupan. Tidak mungkin keberadaan minyak goreng digantikan dengan yang lain. Lebih-lebih alasan untuk hidup sehat di tengah keterpurukan ekonomi, jelas tidak mungkin terealisasi.

 

Namun, tidak banyak yang menyadari jika kekacauan dan kesengsaraan saat ini merupakan ulah manusia sendiri. Fitrah manusia yang semestinya bersandar pada Sang Khalik justru berporos pada materi. Kecanduan akan kehidupan hedon membuat manusia terlupa hakikat penciptaannya hingga rela menghalalkan segala cara. Termasuk menerapkan aturan hidup bukan dari pencipta-Nya. Lebih memilih untuk membuat aturan sendiri sekalipun hanya menguntungkan sekelompok tertentu dan merugikan masyarakat umum.

 

Tidak lain adanya sistem kapitalisme, aturan buatan manusia yang menjunjung tinggi kebebasan. Manfaat dan keuntungan materi menjadi tujuan. Sekalipun menimbulkan kerusakan pada masyarakat tidak menjadi penghalang. Termasuk permasalahan yang terjadi saat ini, kelangkaan dan kenaikan harga bahan pangan menjadi bukti kegagalan sistem yang diterapkan. Hal ini pun menunjukkan ketidakmampuan negara dalam menjamin dan memberikan kesejahteraan masyarakat. Para pemimpin negara seolah berlepas tangan dari tanggungjawabnya dalam mengurusi urusan rakyat.

 

Apalagi di saat bulan Ramadhan, saat kebanyakan orang berupaya memaksimalkan pendapatan. Agar nanti waktu Idul Fitri tiba, bisa berkumpul dengan keluarga dalam keadaan berkecukupan tanpa memusingkan kesulitan. Karena tidak sedikit yang membutuhkan waktu setahun sekali untuk bisa kembali ke kampung halaman. Namun, persoalan sekarang justru menambah deretan beban kehidupan.

 

Meskipun demikian, di tengah himpitan persoalan yang tak kunjung usai. Cahaya Ramadhan justru semakin bersinar memberi harapan. Masyarakat tetap bersuka cita menyambut bulan penuh ampunan. Kemeriahan Ramadhan sejenak membuat masyarakat dapat melupakan persoalan. Demi memaksimalkan ibadah di bulan mulia, masyarakat rela menahan penatnya masalah kehidupan.

 

Oleh karena itu, datangnya bulan suci Ramadhan semestinya mampu menjadi momentum perubahan dan menggali kesadaran baik masyarakat maupun pemerintah. Bahwa kesulitan saat ini jelas membutuhkan penyelesaian, bukan berpura-pura menutup mata dan masalah selesai dengan sendirinya. Terlebih sebuah negara tentunya bertanggungjawab dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya. Tidak diam saja menunggu keikhlasan rakyat. Disamping itu, sebagai rakyat juga seharusnya tidak boleh menerima kedzaliman penguasa begitu saja. Namun, upaya mengubah keadaan menjadi lebih baik sangat dibutuhkan.

 

Tentunya perubahan yang mencangkup seluruh aspek kehidupan dan mampu memberi solusi tuntas atas segala permasalahan. Bukan hanya solusi sementara atau bahkan memunculkan masalah baru. Dengan cara tidak lain, mencampakkan sistem buatan manusia yakni kapitalisme menjadi sistem Islam yang bersumber pada Allah swt. Sehingga kemeriahan menyambut Ramadhan tidak lenyap begitu saja ketika Ramadhan berakhir. Namun, akan tetap membekas dan semakin menancapkan kesadaran akan pemahaman bahwa perubahan menuju kebaikan hanya akan terwujud ketika Islam kembali diterapkan.

 

Ini pun menjadi bukti keseriusan bahwa umat Islam benar-benar menyambut dan merindukan Ramadhan. Disamping itu, memaknai Ramadhan sebagai momentum perubahan hakiki sehingga memaksimalkan perjuangan penegakan Islam kembali. Tidak terlupa terselip harapan semoga Ramadhan tahun ini menjadi Ramadhan terakhir tanpa syariah Islam kaffah. Allah swt berfirman, “Katakanlah: ‘Dengan kurnia Allah dan rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan” (QS. Yunus [10]: 58)

 

Wallahu’alam bishowab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *