Rempang: Antara Kedaulatan Rakyat dan Korporat 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Rempang: Antara Kedaulatan Rakyat dan Korporat 

Oleh Sri Nurhayati, S.Pd.I 

Praktisi Pendidikan

 

 

Kabar rencana penggusuran pulau Rempang di Kepulauan Riau terus mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan. Kendati penggusuran ini tidak terjadi dilakukan pada 28 September 2023 lalu, namun ini bukan sebuah pembatalan, tetapi hanya penundaan saja.

Tentu hal ini membuat kehidupan pendudukan pulau Rempang sangatlah terusik. Tanah yang berpuluh tahun mereka tempati dari zaman leluhur mereka dengan seenaknya akan diambil alih demi pembangunan proyek Rempang Eco City. Warga yang tak pernah mengetahui bahwa tanah mereka ternyata telah berpindah kepemilikan. Tentu hal ini membuat mereka melakukan perlawanan. Karena, hak mereka sebagai pemilik tanah tiba-tiba dirampas begitu saja.

Warga yang berusaha mempertahankan lahan mereka ini mendapatkan hadangan dari aparat keamanan dengan cara kekerasan. Hal ini membawa trauma pada sebagian warga akibat tindakan represif aparat yang tiba-tiba datang dengan kekuatan 1.000 personel pada Kamis 7 September 2023 lalu, untuk mengawal pemasangan patok dan pengukuran batas tanah di pulau Rempang ini. Kasus Rempang bukanlah satu-satunya kasus yang terjadi di negeri ini. Rakyat dikorbankan demi para korporat. Sebelumnya ada kasus Wadas yang terjadi pada tahun 2019 lalu yang sampai sekarang masih berlanjut.

Kasus Rempang sendiri menjadi salah satu bukti yang memperlihatkan kepada kita bagaimana ambisi para korporat mewujudkan kepentingan mereka. Bahkan, pemerintah yang harusnya melindungi hak rakyatnya justru mereka berpihak pada para korporat.

Pasalnya, pemerintah berdalih bahwa warga tidak memiliki hak kepemilikan dan hak pemanfaatan. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertahanan Nasional Hadi Tjahjanto mengatakan bahwa warga Rempang tidak punya sertifikat lahan. Oleh karena itu, sejak tahun 2001 Pemerintah pusat dan BP Batam menerbitkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) untuk perusahaan swasta. HPL ini pun berpindah tangan kepada PT Makmur Elok Graha. Pengambilan hak lahan rakyat yang tak memiliki bukti kepemilikan menjadi milik negara secara otomatis adalah konsep kolonialis Belanda yang disebut domein verklaring.

Konsep ini sebelumnya menjadi hal yang dikhawatirkan oleh sejumlah pihak, seperti Komnas HAM ketika mengkritisi RUU Pertanahan tahun 2019 lalu. Dengan adanya UU Cipta Kerja juga banyak pihak yang mengkhawatirkan warga akan kehilangan lahan. Selain itu, kepemilikan lahan pun terancam dengan maraknya penggandaan sertifikat kepemilikan lahan.

Karena, kebijakan yang ada saat ini tidak berpihak pada rakyat. Mereka kesulitan untuk mendapatkan pengakuan terhadap kepemilikan lahannya. Tapi, berbeda dengan para korporat ini diberikan kemudahan atas nama investasi, mereka lebih diutamakan dibandingkan rakyat. Islam dalam Melindungi Kepemilikan Lahan. Islam sebagai rahmat bagi semesta alam yang diturunkan oleh Allah Swt. dengan seperangkat aturan yang mampu menyelesaikan semua permasalahan manusia. Termasuk, di dalamnya tentang kepemilikan lahan.

Islam memiliki skema kepemilikan lahan yang mampu mewujudkan keadilan. Terkait kepemilikan lahan, rakyat dapat memilikinya melalui pemberian seperti hadiah atau hibah dan warisan. Islam membolehkan negara untuk membagikan tanah kepada warga secara cuma-cuma. Hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah saw., beliau pernah memberikan tanah kepada beberapa orang dari Muzainah atau Juhainah.

Aturan Islam telah menetapkan juga bahwa warga dapat memiliki lahan dengan cara mengelola tanah mati, yaitu tanah yang tidak ada pemiliknya atau yang telah ditelantarkan selama tiga tahun lebih tanpa ada tanda dan lainnya. Hal ini berdasarkan hadis Nabi saw.: “Siapa saja yang menghidupkam tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim (yang menyerobot tanah orang lain).” (HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad)

Penghidupan (pengelolaan) tanah ini dapat dilakukan dengan cara ditanami atau didirikan bangunan di atas tanah tersebut atau hanya sekadar di pagari saja. Selain menetapkan terkait cara kepemilikan lahan, Islam pun mengingatkan pada para pemilik lahan agar mereka tidak menelantarkan lahannya. Jika terjadi penelantaran selama tiga tahun berturut-turut dapat menyebabkan gugurnya hak kepemilikan atas lahan tersebut.

Jika itu terjadi, maka negara boleh mengambil lahan tersebut. Ketetapan ini berdasarkan ijmak sahabat yang ada pada masa khalifah Umar bin al-Khaththab. Imam Abu Yusuf dalam kitab Al Kharaj mencantumkan perkataan Umar bin al-Khaththab ra, “Tidak ada hak bagi pematok lahan setelah tiga tahun (ditelantarkan).” (Abu Yusuf, Al Kharaj, 1/77, Maktabah Syamilah).

Aturan dan kebijakan yang jelas seperti ini akan mampu mewujudkan keadilan bagi rakyat. Kepemilikan mereka atas lahan yang telah puluhan tahun tidak dapat dibatalkan atau diambil alih oleh siapa pun, termasuk oleh negara, hanya karena mereka tidak memiliki sertifikat.

Hal yang menimpa rakyat negeri ini tidak akan terjadi, di mana banyak lahan yang dikuasai para korporat daripada rakyat. Karena, kedaulatan negeri ini ada di tangan korporat para pemilik modal. Sejatinya kedaulatan harusnya ada di tangan syarak (Allah). Karena aturan yang ditetapkan merupakan rahmat bagi seluruh manusia dan alam. Aturan yang ada akan mampu mewujudkan keadilan yang hakiki.

Wallahualam bissawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *