Putusan Timpang, Keadilan Melayang

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Erin Az Zahroh (Aliansi Penulis Rindu Islam)

 

Dilansir dari cnnndonesia.com (24/8/2021), mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari P. Batubara divonis 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsidair 6 bulan kurungan terkait korupsi bansos Covid-19. Vonis tersebut lebih tinggi setahun dari tuntutan jaksa penuntut umum KPK.

Berdasarkan hal tersebut, setidaknya ada empat hal yang dapat disimpulkan:

Pertama, vonis terhadap Juliari tersebut dinilai tidak sebanding. Hal ini dijelaskan oleh Peneliti Pukat (Pusat Kajian Antikorupsi) UGM, Zaenur Rohman.

Zaenur membandingkan dengan vonis terhadap terdakwa kasus tipikor lainnya. Salah satunya suap impor daging sapi dengan terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq yang divonis 18 tahun penjara. Selain itu adalah kasus suap Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dan pemerasan yang dilakukan Jaksa Urip Tri Gunawan. Ia divonis 20 tahun penjara. Kedua terpidana tersebut, menurut Zaenur, tidak melakukan korupsi pada kondisi terdesak seperti pandemi Covid-19. Namun, vonis yang dijatuhkan kepada Juliari lebih sedikit dari mereka.

“Saya melihat putusan Majelis Hakim bahwa korupsi yang dilakukan Juliari sesuatu yang sangat serius. Saya menyayangkan vonis hakim hanya 12 tahun,” kata Zaenur (cnnindonesia, 24/8/2021).

Kedua, vonis yang tidak sebanding tersebut bisa jadi sebab sifat pengadilannya. Pengadilan memandang Juliari bukan sebagai koruptor yang merusak negara yang harus diberikan hukuman berat yang menjerakan. Sehingga kader partai banteng itu dinilai sudah cukup menderita karena dicaci dan dihina oleh masyarakat sebelum divonis pengadilan.

“Keadaan meringankan, terdakwa sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat. Terdakwa telah divonis bersalah oleh masyarakat, padahal secara hukum terdakwa belum tentu bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” kata hakim anggota Yusuf Pranowo di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (23/8).

Pertimbangan meringankan lainnya, Juliari belum pernah dihukum dan berlaku tertib selama persidangan selama 4 bulan terakhir.

“Selama persidangan kurang lebih 4 bulan terdakwa hadir dengan tertib, tidak pernah bertingkah dengan macam-macam alasan yang akan mengakibatkan persidangan tidak lancar. Padahal, selain sidang untuk dirinya sendiri selaku terdakwa, terdakwa juga harus hadir sebagai saksi dalam perkara Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso,” ujarnya

Ketiga, dilihat dari sudut pandang manapun, ini adalah bentuk ketidakadilan. Namun sayangnya kejadian ini merupakan hal yang biasa terjadi pada era kapitalisme sekarang. Hukum akan tajam ke bawah, namun tumpul ke atas. Tentu saja, sebab di negara yang menganut kapitalisme ini hukum bisa dibeli.

Sudah menjadi rahasia umum jika penegakan hukum terhadap kaum pro rezim terkesan lunak. Entah dengan proses hukumnya yang lamban atau putusan sidang yang ringan. Sementara untuk rakyat biasa dan oposisi cenderung diada-adakan kesalahannya serta diperberat vonisnya.

Keempat, masalah penegakan hukum yang demikian sudah sepantasnya mendapatkan solusi paripurna segera. Sebagai negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia, tak ada salahnya kita meneladani Rasulullah SAW dalam menegakkan keadilan.

Diriwayatkan oleh Aisyah RA, bahwa suatu waktu ada wanita yang mencuri. Wanita ini berasal dari keluarga terhormat bani Makhzum. Karena perbuatannya, ia pun harus dihukum potong tangan.

Namun kaumnya keberatan sehingga mengupayakan berbagai hal untuk membatalkan hukuman tersebut. Melalui Usamah bin Zain, seorang sahabat yang dekat dan dicintai Rasulullah, mereka memohon menghadap Rasulullah dan menyampaikan maksudnya.

Mendengarkan permintaan itu, Rasulullah pun terlihat marah, lalu berkata, “Apakah kau meminta keringanan atas hukum yang ditetapkan Allah?”

Kemudian, beliau berdiri dan berkhutbah di hadapan kaum muslimin hingga sampai pada sabdanya:

“Sesungguhnya yang telah membinasakan umat sebelum kalian adalah jika ada orang terhormat dan mulia di antara mereka mencuri, mereka tidak menghukumnya. Sebaliknya jika orang rendahan yang mencuri, mereka tegakkan hukuman terhadapnya. Demi Allah, bahkan seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya!”.

Sungguh, sejatinya keadilan dalam hukum Islam niscaya dapat diterapkan dalam kehidupan.

Tersebutlah Harun Ar Rasyid, khalifah kelima dari kekhalifahan Abbasiyah. Beliau memiliki orang kepercayaan bernama Yahya bin Khalid. Saat Yahya kedapatan korupsi, maka dia ditangkap dan dipecat. hartanya disita dan 30.676 dinar hasil korupsinya dikembalikan ke kas negara. Dengan begitu pemerintahan bisa bebas korupsi. Tegasnya hukum yang diterapkan terjadi karena saat itu Islam diterapkan sebagai ideologi dalam bingkai khilafah.

Jika Islam diterapkan secara kaffah, maka tindak pidana korupsi akan bisa dituntaskan tanpa pandang bulu. Siapapun yg terbukti bersalah akan dihukum sesuai syariat islam.

Kondisi itu tidak akan dijumpai di zaman ini. Kapitalisme berprestasi tinggi dalam mencetak tikus-tikus berdasi. Selalu berulang mengecewakan rakyat. Sehingga tidak mungkin kita terus berharap pada demokrasi.

Kisah keadilan dalam pemerintahan Khalifah Harun Ar Rasyid membuktikan bahwa tata aturan yang bersumber dari Allah membuat sistem ini adil dan tegas. Orang-orang yang ada di dalamnya pun amanah.

Penerapan hukum Islam juga memberikan keuntungan besar. Sifatnya jawabir (penebus dosa) dan zawajir (pencegah). Hukuman pelanggar syariat dilakukan untuk menebus dosa-dosanya (jawabir). Selain itu juga mencegah orang lain berbuat hal yang sama (zawajir).

Lantas, masih perlukah berpikir dua kali untuk mengambil Islam sebagai pengganti sistem yang rusak ini?

Wallahua’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *