Pungutan Pajak “Tulang Punggung” dalam Sistem Kapitalisme

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Restu Febriani

 

Adanya wacana pemberlakuan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada produk kebutuhan pokok atau sembako, pendidikan dan biaya melahirkan menimbulkan kekhawatiran pada masyarakat. Seperti diketahui, pada kebijakan sebelumnya yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017, sembako atau jenis-jenis kebutuhan pokok bebas dari tarif PPN. Barang tersebut meliputi beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi (CNBC.com, 11/06/2021).

Dalam cuitannya diakun twitter @FaktaKeuangan, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Rahayu Puspasari menjelaskan bahwa draf tersebut merupakan wacana ke depan, dan tidak untuk saat ini. Ia turut meluruskan sejumlah anggapan yang menurutnya salah. Termasuk pengenaan PPN untuk sembako. Menurut Rahayu, pemerintah saat ini sedang fokus menolong rakyat dengan pemulihan ekonomi dan penanganan pandemi Covid-19. Oleh sebab itu, menurut dia, sembako menjadi salah satu objek yang disubsidi oleh dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN)(CNNIndonesia.com, 12/06/2021).

Menanggapi hal ini, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo meminta pemerintah khususnya Kementerian Keuangan membatalkan rencana mengenakan pajak PPN terhadap sektor sembako dan pendidikan, yang tertuang dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Dia menilai rencana kebijakan tersebut bertentangan dengan sila ke-5 Pancasila yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia dan sektor sembako-pendidikan juga sangat berkaitan dengan naik turunnya inflasi (Antaranews.com, 13/06/2021).

Pajak Tulang Punggung Ekonomi Kapitalis

Rencana pemberlakuan PPN pada kebutuhan pokok, biaya melahirkan dan pendidikan semakin menegaskan bahwa pajak merupakan sumber utama pemasukan negara dalam sistem kapitalisme. Jika diibaratkan, pajak seolah menjadi tulang punggung negara yang memang sengaja digenjot untuk menopang perekonomian nasional. Dalam sistem ini, cara yang paling mudah untuk mendapatkan suntikan dana dalam rangka menutupi defisit anggaran negara serta membantu melunasi utang yang membengkak adalah dengan memungut pajak.

Dari sini terlihat, negara seolah tak punya sumber pendapatan lain selain membebankan pajak yang membuat rakyat semakin melarat. Bahkan, para penguasa semakin hari semakin memperlihatkan inovasi mereka dalam memalak rakyat. Maka, jelas kapitalisme hanya menjadikan rakyat sebagai sapi perahan negara.

Negara yang seharusnya meriayah rakyat justru malah semakin membuat rakyat sengsara. Padahal, kekayaan negeri ini begitu melimpah. Jika dikelola dengan baik, maka akan sangat mampu untuk mencukupi kebutuhan negara. Sayangnya, rakyat yang saat ini sudah hidup dengan berbagai kesulitan, masih harus menerima pil pahit dengan adanya pungutan pajak kebutuhan pokok, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Parahnya, aroma ketidakadilan pun semakin terasa ketika pemerintah malah melonggarkan pajak untuk kaum kapitalis. Kebijakan ini tentu sangat dzalim, pemerintah begitu diskriminatif dan tidak pro rakyat kecil.

Hanya Sistem Ekonomi Islam yang Mampu Menyejahterakan Rakyat

Hal ini berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang menempatkan pajak dan sumber pendapatan negara sesuai pada tempatnya. Pajak dalam Islam bukan untuk menekan pertumbuhan, bukan pula menghalangi orang kaya ataupun untuk menambah pendapatan negara. Pajak diambil semata-mata untuk membiayai kebutuhan yang sifatnya darurat, yaitu ketika kas di Baitul Mal betul-betul kosong. Itupun hanya dipungut pada warga negara yang kaya saja.

Di dalam Islam juga tidak ada penetapan pajak tidak langsung, pajak pertambahan nilai, pajak hiburan, pajak barang mewah, pajak jual beli, dan berbagai jenis pajak lainnya. Apalagi, menetapkan biaya dalam pelayanan publik, seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Semua gratis dengan pelayanan terbaik. Sebab semua itu telah menjadi bentuk riayah (mengurus) dari negara kepada rakyatnya. Sebagaimana hadits dari Rasulullah Saw. “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).

Dalam hadits tersebut jelas bahwa para Khalifah sebagai para pemimpin yang diserahi wewenang untuk mengurus kemaslahatan rakyat. Setiap kebijakan yang dikeluarkannya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt. pada hari kiamat kelak.

Maka, seorang Khalifah tidak akan membebani rakyat dengan berbagai pungutan pajak seperti sistem kapitalis saat ini. Sebab, adanya pungutan tersebut hanya akan menyengsarakan rakyat. Khilafah justru akan menjamin rakyat hidup sejahtera dalam pengasuhannya. Jika kapitalis sudah terbukti tak bisa menyejahterakan rakyat, mengapa tidak beralih kepada Islam?

Wallahu ‘alam bisshowab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *