Proyek IKN Di Tengah Pandemi, Bak Menabur Garam Di Atas Luka

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Vikhabie Yolanda Muslim

 

Menteri Keuangan Sri Mulyani kabarnya akan menggunakan sebagian dana dari program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tahun 2022 untuk proyek pembangunan dan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) baru pada tahap awal. Adapun dana yang digunakan mencapai Rp 178,3 triliun yang masuk dalam klaster Penguatan Pemulihan Ekonomi. Anggaran PEN 2022 sendiri mencapai Rp 455,62 triliun yang terdiri dari tiga klaster. Bendahara negara ini menganggap bahwa pembangunan IKN menjadi salah satu program yang bisa mengabsorsi dana PEN secara optimal (kompas.com, 19/1/2022).

Di sisi lain, pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin berpendapat bahwa penggunaan anggaran Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) demi proyek IKN ini sungguh tidak tepat. Menurut beliau, kebijakan ini justru akan menambah luka di hati rakyat karena dilakukan di tengah wabah Covid-19 yang masih terus menyerang. Contoh kecilnya yakni masih banyak rakyat yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sehingga tak lagi memiliki pekerjaan untuk menyambung hidup (kompas.com, 19/1/2022).

Pada faktanya, proyek pemindahan IKN ini tetap disahkan dengan beragam penolakan, juga diiringi berbagai inkonsistensi pemangku kebijakan dalam menetapkan sumber anggaran. Pada awalnya proyek ini digembar-gemborkan tidak akan membebani APBN. Namun kini, kebijakan kembali berubah. Pemerintah akan menggunakan dana PEN, yang pengalokasiannya sebenarnya untuk kesehatan, perlindungan sosial, dukungan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), koperasi, insentif usaha dan pajak, dan program prioritas.

Pasalnya pada saat ini, ada 52,8% penduduk Indonesia yang status ekonominya tidak aman. Yang artinya separuh lebih penduduk Indonesia dalam keadaan miskin absolut, miskin, nyaris miskin, dan rentan miskin secara finansial. Bak luka yang ditaburi garam.  Sudah susah, ditambah pula kepayahan. Namun tampaknya angka ini tak cukup membuat pemerintah bergeming dan justru turut mengalokasikannya untuk pembangunan ibukota. Bukankah seharusnya negara melakukan penyelamatan penduduk dari cengkeraman dan jeratan kemiskinan?

Sikap pantang mundur pemerintah yang tetap bersikeras menjalankan proyek IKN di tengah pandemi ini tentu menimbulkan tanda tanya yang besar. Bagaimana mungkin proyek ini tetap jalan, sementara kondisi dan keuangan negara sedang tidak stabil? Untuk pemulihan ekonomi dan kesehatan rakyat saja, pemerintah jelas harus menyediakan biaya yang sangat besar. Sementara saat ini, seperti yang kita ketahui bersama, negara sudah tenggelam dalam lautan utang. Lantas, sebegitu besarkah kepentingan proyek IKN dibanding pemulihan ekonomi rakyat?

Di sisi lain, proyek infrastruktur di negeri ini pun banyak yang mangkrak dan terbengkalai. Bahkan di berbagai bidang layanan publik, tampaknya pemerintah kian lepas tangan karena kekurangan dana. Timbul pula tanda tanya yang lain. Lalu bagaimana negara bisa membiayai proyek ambisius pemindahan IKN?

Dalam dokumen RPJMN Tahun 2020-2024, tertera bahwa biaya yang dibutuhkan untuk pemindahan IKN berkisar 466,98 triliun rupiah. Jumlah yang sangat besar bukan? Pastinya, pihak yang paling antusias menyambut rencana ini, datang dari para investor dan pengusaha, yang bergerak di sektor properti, pembangunan infrastuktur, serta penyedia barang dan jasa lainnya. Pasalnya, pihak swasta diberikan kesempatan berinvestasi untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.

Sebuah hal yang lumrah terjadi ketika kita hidup di bawah bayang-bayang sistem kapitalisme-neo liberal. Penguasa atau negara tidak benar-benar menjalankan fungsinya sebagai pengurus dan penjaga rakyat. Salah prioritas dalam setiap penetapan kebijakan pemerintah sudah menjadi fenomena biasa, demi mendukung kepentingan para kapital. Hal ini pun sekali lagi menunjukkan kepada kita gagalnya sistem kapitalisme-neo liberal dalam membangun negara yang mandiri.

Lantas adakah sistem lain yang benar-benar mampu untuk menjadi penjaga dan pengurus rakyat? Jawabannya tentu saja ada, yakni Islam. Di dalam Islam, sistem ini menempatkan rakyat sebagai pemilik sejati kekuasaan, dan penguasa sebagai pemegang amanat rakyat untuk memimpin dan mengatur. Negara dalam Islam (khilafah) dibawah sistem kepemimpinan seorang khalifah, wajib memastikan bahwa seluruh kebijakannya memang didedikasikan untuk kemaslahatan rakyat.

Hal ini dimungkinkan jika negara menerapkan seluruh aturan islam dalam konteks politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan secara murni dan konsekuen atas landasan keimanan dan ketakwaan. Karena amanah kepemimpinan ini akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Ketika mereka lalai atau melakukan penyimpangan, maka akan diancam dengan hukuman yang berat. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Dia yang berkuasa atas lebih dari sepuluh orang akan membawa belenggu pada hari kiamat sampai keadilan melonggarkan rantainya atau tindakan tiraninya membawa dia kepada kehancuran.” (HR. Tirmidzi).

Di bawah sistem Islam, terlebih dalam kondisi wabah, maka negara akan fokus dalam memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok tiap individu atau rakyat. Negara akan mengupayakan rakyat hidup dengan sehat, dan terpenuhi kebutuhan makanan ataupun minumannya. Selain itu, negara pun akan berupaya menjaga kesehatan rakyat dengan memberikan jaminan kesehatan berupa menggratiskan biaya pengobatan. Kemudian negara juga turut membangun masyarakat yang sadar akan pentingnya kebersihan diri dan juga lingkungan dengan melakukan edukasi secara terus menerus. Dalam hal ini, negara benar-benar hadir dalam setiap masalah yang dihadapi rakyat, bukan sekedar wacana kosong dan umbar janji seperti yang biasa dilakukan para petinggi di era kapitalis.

Wallahua’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *