Oleh: Ilmasusi
Perjalanan pandemi corona belum usai. Kurva Epidemologi yang diprediksi melandai, ternyata terus meninggi. Kapan wabah ini bakal berakhir, semua masih belum pasti. Ironisnya, di tengah wabah yang tak menentu ini,tanggungan iuran BPJS kesehatan malah naik berlipat. Hal itu menambah himpitan penderitaan rakyat, khususnya kaum papa di negeri kaya raya yang jumlahnya telah mencapai 25 juta. Tak heran bila komentar bernada penolakan pun mengemuka.
Anggota DPD RI asal Aceh, HM Fadhil Rahmi Lc, mengatakan bila kenaikan iuran BPJS telah melukai hati masyarakat di seluruh Indonesia, Menurutnya, apalagi kebijakan tersebut dilakukan di tengah-tengah pandemi Corona. (https://aceh.tribunnews.com/2020/05/18)
Statemen senada juga dikeluarkan oleh kuasa hukum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia, Rusdianto Matulatuwa. Ia menilai kenaikan iuran NPJS Kesehatan ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak mempunyai empati di tengah kesulitan warga saat pandemi Corona.(http://m.detik.com/finance, 20/5/20).
Naiknya iuran BPJS Kesehatan ini menunjukkan watak otoriter dari pemerintah sekaligus abai terhadap kesejahteraan rakyat. Nyata, dari kebijakan yang memaksa ini dilegalkan dengan terbitnya peraturan presiden. Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Alih-alih legislasi ini untuk mengakimodasi kepentingan rakyat, yang saat kampanye didengungkan dengan nyaring. Justru menjadi jalan untuk mengalirkan dana dari rakyat ke perusahaan asuransi dengan dalih jaminan kesehatan. Siapa yang menjamin, ketika rakyat harus mendanai sendiri biaya kesehatannya. Itu pun dengan kompensasi yang sulit didapat, dengan prosedur yang berbelit dan syarat yang ketat. Telah menjadi rahasia umum bahwa layanan kesehatan tak sebanding dengan iuran yang dikeluarkan tiap bulannya.
Belum lagi ancaman yang bakal diberikan buat peserta yang nunggak dalam membayar. Mulai dari dihentikannya layanan, denda sampai Rp 30 juta hingga dicabutnya hak untuk mendapatkan layanan publik.
Bentuk kedhaliman yang dilegalkan dengan undang-undang. Legislasi yang dipaksakan agar rakyat mau menanggung biaya kesehatan, yang merupakan kebutuhan mendasar yang seharusnya menjadi kewajiban bagi negara untuk memenuhinya. Pemaksaan itu terjadi saat rakyat harus menjadi nasabah dari perusahaan asuransi non pemerintah. Lembaga swasta ini menggandeng pemerintah agar seluruh rakyatnya menjadi nasabah bagi asuransi miliknya. Mau atau tidak, rakyat harus menjadi nasabah, meski untuk makan saja, acapkali mereka susah. Kalaupun ada bantuan pemerintah untuk masyarakat miskin, jumlah yang dibantu tak sebanding dengan angka kemiskinan yang jumlahnya semakin membengkak.
Lahirlah hubungan saling untung antara pengusaha pemilik asuransi dengan penguasa. Rakyatlah yang menjadi obyek penderita dari kerjasama ini. Karena mereka harus membayar premi dari asuransi tersebut. Pemaksaan ini seakan menjadi menawan ketika dibungkus dengan slogan semacam ‘Gotong royong semua tertolong, ‘yang kaya membantu yang miskin, dan yang sehat membantu yang sakit’ atau semisal ‘Berbagi itu Indah’. Sungguh semua merupakan slogan pematik yang mengandung tipuan.
Menangani kesehatan dengan orientasi menguntungkan korporasi hanya ada dalam sisitem demokrasi Kapitalis. Paradoksial dengan sistem demokrasi, Islam memiliki perspektif yang khas tentang kesehatan. Di mana kesehatan merupakan kebutuhan dasar bagi rakyat, yang harus dipenuhi oleh negara. Pemimpin negaralah yang bertanggung jawab dalam bidang ini dengan mengacu pada pesan Rasulullah saw. Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda tentang kepemimpinan,
“Setiap dari kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab untuk orang-orang yang dipimpin.” (Bukhari dan Muslim).
Khalifah sebagai pemimpin mengambil peran sebagai penanggung jawab urusan rakyat, termasuk urusan kesehatan. Karenanya khilafah tidak akan menyerahkan urusan kesehatan pada lembaga asuransi seperti BPJS-K.
Politik islam dalam bidang kesehatan terbangun dari tiga pilar. Pertama. Berupa peraturan berupa syariah Islam dan kebijakan negara maupun peraturan teknis administratif. Kedua , sarana dan peralatan fisik seperti rumah sakit, laboratorium, peralatan medis, dan sarana prasarana kesehatan lainnya. Ketiga , sumber daya manusia sebagai pelaksana kesehatan. Meliputi dokter, perawat, apoteker dan tenaga medis lainnya. Semua layanan kesehatan ini diberikan secara gratis bagi seluruh rakyat. Mekanisme pembiayaan kesehatan oleh negara bersifat berkelanjutan sehingga rakyat tak perlu khawatir dan sedih akan kesehatannya.
Allah SWT telah menetapkan bidang kesehatan sebagai salah satu pos pengeluaran pada baitulmal, dengan pengeluaran yang bersifat mutlak. Ada atau tidak ada harta di pos pelayanan kesehatan, sementara ada kebutuhan pengeluaran untuk pembiayaan pelayanan kesehatan, tidak menjadikan alasa rakyat harus membayar. Pada kondisi ini boleh melakukan penarikan pajak kepada warga yang kaya hal itu dilakukan secara temporer sebesar yang dibutuhkan saja. Bandungkan dengan APBN dalam sistem kapitalis yang diterapkan di negri ini dimana pajak menjadi sumber utama APBN.
Sumber-sumber pemasukan untuk pembiayaan kesehatan, telah dirancang Allah SWT sedemikian sehingga cukup untuk menjamin pembiayaan kesehatan bagi seluruh warganegara. Sumber itu, salah satunya berasal dari barang tambang seperti batu bara, gas bumi, minyak bumi, hingga tambang emas dan berbagai logam mulia lainnya yang disediakan Allah secara melimpah.
Sebuah desain yang meniscayakan khilafah memiliki ketahan finansial yang memadai untuk menjalankan berbagai fungsinya di setiap saat, ada bencana atau tidak.Dengan demikian Islam tidak mengenal pembiayaan kesehatan berbasis asuransi.
Mengurai problem kesehatan ini tidak cukup dengan tambal sulam. Solusi kesehatan baru kelar dengan penerapan sistem islam seraya membuang jauh sistem kapitalis yang terbukti mengùntungkan sekelompok pemilik kapital seraya bikin sengsara umat manusia kebanyakan. Wallahu a’lamu bishshowab.