PERAN PEREMPUAN DALAM PENEGAKAN KHILAFAH

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Nurwanah S.Pd

 

Kewajiban Menegakkan Khilafah

Kewajiban menegakkan Khilafah didasarkan pada alquran, al-Sunnah dan Ijmak Shahabat dengan perintah yang tegas. Secara mafhum, alquran menyatakan perintah untuk mengangkat seorang pemimpin atau Khalifah.

Nas-nas yang berbicara tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah, makna kontekstualnya telah melekat dengan makna tekstualnya. Allah Swt berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

‟Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah, taatilah Rasul dan ulil amri di antara kalian.” (QS Al-Nisa’: 59)

Pada ayat ini Allah memerintahkan kita menaati ulil amri. Di sisi lain Allah tidak pernah memerintahkan taat kepada yang tidak ada. Termasuk tidak memerintahkan taat kepada yang keberadaannya hanya sunah. Maka berdasarkan dalalah al-iltizam, perintah menaati ulil amri pun merupakan perintah mewujudkannya, sehingga kewajiban tersebut terlaksana. Ayat tersebut juga mengandung petunjuk (dalalah), keberadaan ulil amri adalah wajib dan wajib pula mengadakan ulil amri (Khalifah) dan ‎sistem syar’inya (Khilafah).‎ Adanya ulil amri memiliki konsekuensi tegaknya hukum syara, dan diam tidak mewujudkan ulil  amri membawa konsekuensi lenyapnya hukum syara’.

Pada ayat yang lain, Allah Swt berfirman,

فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ

“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS al-Maidah: 48).

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ

“(Dan) hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan apa yang telah diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka.  Dan waspadalah engkau terhadap fitnah mereka yang hendak memalingkan engkau dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS. Al-Maidah: 49).

Seruan Allah Swt untuk Rasulullah –untuk memutuskan perkara menurut apa yang Allah turunkan- pada ayat di atas juga merupakan seruan untuk umatnya. Mafhum-nya hendaknya kaum muslim mewujudkan seorang hakim (penguasa) setelah Rasulullah Saw untuk memutuskan perkara sesuai wahyu Allah. Perintah dalam ayat ini bersifat tegas karena yang menjadi objek seruan adalah kewajiban. Hal ini menurupakan qarinah (indikasi) yang menunjukkan makna yang tegas. Hakim (penguasa) yang memutuskan perkara di tengah umat Islam setelah wafatnya Rasulullah adalah Khalifah, dan sistem pemerintahannya adalah Khilafah.

Di samping itu, terdapat ratusan ayat yang berhubungan dengan masalah politik (kenegaraan) secara langsung, dan terkait dengan ekonomi, hukum pidana atau perdata, hubungan kemasyarakatan, akhlak, kenegaraan, militer, muamalat, dan lain-lain. Berdasarkan ayat-ayat di atas kita bisa menyimpulkan, bahwa kaum muslimin apapun latar belakang nya, baik dia seorang yang berkedudukan atau tidak, telah  diwajibkan untuk menerapkan hukum berdasarkan alquran dan al-Sunnah.

Kewajiban untuk menerapkan seluruh hukum Islam tidak akan mungkin terwujud dengan sempurna, terutama hukum-hukum Islam yang berhubungan dengan pengaturan urusan publik dan negara; misalnya, hudud, jinayat, menarik zakat, seruan jihad, ekonomi, hubungan sosial, politik luar negeri, dan lain sebagainya, tanpa keberadaan imam (penguasa).

Atas dasar itu, mengangkat seorang penguasa merupakan kewajiban bagi terlaksananya hukum-hukum syariat secara menyeluruh dan sempurna. Penguasa yang dimaksud adalah Khalifah dan sistem pemerintahannya adalah Khilafah.

 

Peran Perempuan Dalam Menegakkan Khilafah

Ketiadaan Khilafah bagi umat sangat terasa, terlebih bagi kaum perempuan. Merekalah yang paling merasakan hidup sengsara setelah Khilafah runtuh. Kemuliaan mereka tak terjaga. Perempuan pun terjebak dalam lingkaran sistem sekuler liberal. Sistem ini menggerus peran hakiki mereka baik di wilayah domestik maupun publik. Di kala perempuan berperan sebagai ibu rumah tangga, mereka dianggap primitif. Akibat pemikiran gender-feminis, perempuan termakan ide kesetaraan yang menuntut perempuan mandiri secara ekonomi. Saat perempuan berkarier di luar rumah, peran utamanya sebagai ibu terlupakan. Ia menjadi “pahlawan” materi, diberdayakan layaknya mesin uang. Bekerja hingga memforsir waktunya ketimbang pentingnya mendidik anak. Di sisi lain, masalah kemiskinan dan kekerasan pada perempuan kerap terjadi di sistem kapitalisme sekuler.

Di masa peradaban Islam, kaum perempuan memiliki peranan yang tak bisa dipandang sebelah mata. Sosok mereka begitu tangguh. Ada Ummul Mukminin Aisyah ra., yang memiliki banyak anak didik yang sama cerdasnya dengan beliau. Ada Fatimah Al Fihri yang berkontribusi besar bagi pendidikan di masa Khilafah. Ada Al Khansa yang rela melepas anaknya berjihad hingga syahid. Ada pula As-Syifa’, qadhi hisbah yang sangat teliti di masa khalifah Umar bin Khaththab. Mereka semua lahir dari sistem Khilafah. Merekalah teladan bagaimana memainkan peran domestik dan publik secara seimbang.

Sebagai hamba Allah yang diberi beban kewajiban berdakwah, perempuan memiliki peran dan tanggung jawab dalam menegakkan Khilafah. Kiprahnya di ranah publik sangat dinantikan umat. Sebab, perempuan juga hamba Allah. Maka, kewajiban penegakan Khilafah juga menjadi tanggung jawab bagi kaum ibu.

Apa saja perannya?

Pertama, mendidik dan membina umat dengan tsaqafah dan pemikiran Islam. Ketika perempuan memahami Islam dengan benar, ia akan mampu mendidik anak-anaknya, menunaikan hak suaminya, dan menjalankan kewajibannya dengan baik.

Kedua, meluruskan pemahaman yang keliru tentang hukum-hukum syariat Islam. Tak bisa dimungkiri, serangan pemahaman sekuler, liberal, feminisme, kapitalisme, dan derivatnya telah merapuhkan ketahanan keluarga. Ide kesetaraan gender menjadi racun mematikan bagi kaum ibu. Di sinilah peran sentral muslimah agar menangkal pemahaman sesat yang menyerang kaum perempuan.

Ketiga, terlibat aktif dalam dakwah melanjutkan kehidupan Islam. Yaitu, dengan mengkaji Islam secara intensif, memahami hukum-hukumnya, serta aktif menyerukan tegaknya syariat dalam Khilafah. Sebab, Islam pun mewajibkan bagi perempuan menuntut ilmu serta berdakwah.

Segera, Rapatkan Barisan

Tegaknya Khilafah memang sebuah keniscayaan sebagaimana janji Allah dan bisyarah Rasulullah. Namun, bukan berarti menghilangkan ikhtiar serta segala daya yang kita punya untuk berjuang menegakkannya. Jika yang berjuang satu dua orang atau satu kelompok saja, perjuangan penegakan Khilafah pasti terasa berat. Akan tetapi, jika perjuangan ini dilakukan oleh berbagai komponen umat, menegakkan Khilafah pasti terasa ringan. Bercermin pada perjuangan dakwah Rasulullah Saw., beliau tidak sendirian dalam mendakwahkan Islam. Berbagai kalangan umat kala itu turut memberi kontribusi bagi tegaknya Daulah Islam di Madinah. Ada dari golongan tak mampu seperti Abdullah bin Mas’ud, Abu Hurairah, dan Abu Dzar Al Ghifary. Keterbatasan finansial mereka tidak menyurutkan perjuangan menegakkan Islam bersama Rasulullah Saw. Ada pula dari golongan pengusaha kaya seperti Utsman bin Affan ra. Dan  Abdurrahman bin Auf. Sejarah mencatat bagaimana mereka menginfakkan harta dan diri mereka di jalan Allah. Ada pula dari golongan pemuda seperti Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqash, Zubair bin Awwam, Mush’ab bin Umair, dan lainnya. Bahkan dari kaum perempuan juga tak kalah memberi peran penting. Ada istri-istri Rasul, seperti Khadijah ra., Aisyah ra., Ummu Salamah ra., dan lainnya. Ada pula Asma’ binti Abu Bakar, Nusaibah binti Ka’ab, Ummu Aiman, Asma’ binti Umais, dan para shahabiyat lain.

Apa pun profesi kita, wajibnya menegakkan Khilafah adalah tanggung jawab bersama, termasuk perempuan. Allah memberikan setiap hamba potensi sama, yaitu pemikiran (akal) dan lisan. Itu artinya, siapa pun dia, sejatinya memiliki kemampuan untuk turut berjuang menegakkan Khilafah. Tidakkah kita menginginkan kehidupan lebih baik dengan Islam? Tanpa adanya perjuangan, bagaimana Allah akan melihat kesungguhan kita untuk benar-benar ingin merasakan hidup di bawah kemuliaan Islam?

Ikhtiar dan doa, keduanya harus berjalan beriringan. Mendiamkan kemungkaran, berpangku pangan melihat kezaliman, atau apatis terhadap persoalan umat tidak menggugurkan kewajiban amar makruf nahi mungkar. Khilafah adalah rumah besar umat. Khilafah adalah solusi bagi persoalan umat. Khilafah adalah kunci agar hukum Allah dapat diterapkan. Tanpa Khilafah, syariat Islam tak sempurna. Tanpa syariat, Islam tak lengkap. Tanpa Islam kafah, kehidupan terasa pengap. Maka dari itu, berperanlah wahai Muslimah! Jangan berpangku tangan atau merasa nyaman dengan kondisi yang ada sekarang. Perempuan tak akan pernah bisa mulia selama belum ada penjaga bagi umat ini, yakni Khilafah.

Libatkan diri kita dalam perjuangan mulia. Setidaknya hal itu bisa menjadi hujah kita di hadapan Allah kelak di yaumulhisab. Ikut berjuang dengan hanya berdiam menyaksikan perjuangan tidaklah sama. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai ‘uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.” (QS An Nisa: 95).

Wallahua’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *