Paradigma Kesehatan Islam di Tengah Wabah

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : PuspitaNingtiyas, (Pegiat Literasi Paciran Lamongan)

Kesehatan menjadi komoditas berharga dalam nuansa kapitalistik seperti saat ini. Bagaimana tidak, walaupun di tengah pandemi, rakyat tetap merasakan biaya kesehatan yang mahal.

JAKARTA, KOMPAS.com – Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengakui adanya tren penurunan kelas pada Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta mandiri yang disebabkan kenaikan tarif iuran pada 1 Juli mendatang, sesuai dengan aturan yang terdapat dalam Perpres Nomor 64 tahun 2020.

BPJS masih saja menjalani defisit, karena itulah iuran kembali dinaikkan. Dilansir oleh CNN Indonesia — BPJS Kesehatan menanggung utang sebesar Rp6,5 triliun kepada rumah sakit (RS). Utang tersebut tercatat sampai dengan 11 Juni 2020 kemarin. “Pada posisi 11 Juni gagal bayar BPJS Kesehatan Rp 6,5 triliun, kami berhutang maksimal 28 hari kalender. Kemudian seperti pengelolaan cashflow (uang kas) biasa, kami dalam posisi menyiapkan uang,” ucap Direktur Keuangan dan Investasi BPJS Kesehatan Kemal Imam Santoso.

Melihat defisit yang terjadi, jelas BPJS tidak akan mampu menjamin kesehatan seluruh rakyat Indonesia. Alih alih menjamin biaya kesehatan, BPJS justru sangat bergantung pada premi yang dibayarkan masyarakat.

Inilah kenyataan yang dihadapi negeri ini, bahwa urusan kesehatan diserahkan pada lembaga finansial yang berhak menentukan tarif pelayanan dan premi yang harus dibayarkan, walaupun rakyat harus memaksa kan diri nya membayar iuran BPJS yang terus naik.

Sejatinya problem utama kesehatan berawal dari sudut pandang terhadap kesehatan itu sendiri. Ketika berbicara mengenai pelayanan kesehatan, maka pertanyaan pertama yang diajukan adalah ” Dana nya seberapa besar?”. Ini adalah pertanyaan khas kapitalisme yang menunjukkan bahwa kesehatan seperti komoditas yang diperjual belikan. Semakin jelas lagi bahwa kesehatan adalah komoditas, ketika melihat pendanaan dari anggaran negara semakin minim dengan asumsi telah ada premi masyarakat yang disetor ke BPJS. Kesehatan benar-benar di jual oleh negara kepada rakyatnya sendiri melalui perantara BPJS.

Ketika berbicara tentang kesehatan, harusnya pertanyaan yang perlu dijawab untuk mendapatkan sudut pandang yang benar adalah ” Pelayanan kesehatan menjadi tugas siapa? Apakah benar menjamin kesehatan adalah tugas lembaga finansial seperti BPJS ?Lantas dimana peran negara?

Sesungguhnya pelayanan kesehatan adalah tugas negara. Inilah sudut pandang Islam yang sangat manusiawi. Dikatakan manusiawi karena Islam menempatkan kesehatan sebagai kebutuhan asasi masyarakat, disamping pelayanan pendidikan dan jaminan keamanan. Karena kesehatan dianggap sebagai kebutuhan asasi, maka negara berperan secara langsung untuk mengupayakan pemenuhannya.

Pemenuhan secara langsung oleh negara tampak dalam bentuk keseriusan untuk menjadikan sektor pemenuhan kebutuhan kesehatan sebagai sesuatu yang bisa diakses dengan mudah oleh seluruh warga negara tanpa terkecuali. Penyediaan tenaga dan fasilitas pelayanan kesehatan terlebih di saat pandemi aaat ini, harus disediakan oleh negara secara merata bahkan di berbagai pelosok wilayah dengan standar pelayanan yang maksimal.

Hal ini merupakan manifestasi perintah Allah SWT melalui lisan Rasulullah SAW ketika beliau bersabda :
” Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya, dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyatnya”( HR Bukhari Muslim)

Dan juga berdasarkan amalan Rasulullah SAW sendiri, yakni ketika mendapatkan hadiah dari raja Muqauqis berupa seorang tabib yang semula ditujukan sebagai tabib pribadi Rasulul, maka tabib tersebut diarahkan menjadi tabib bagi seluruh masyarakat Madinah ( Abdurrahman Al Maliki, Politik Ekonomi Islam hal 195 )

Saatnya negara hadir secara langsung dan tulus memberikan pelayanan kesehatan terbaik untuk rakyatnya, terutama di saat pandemi. Hal tersebut bisa terwujud ketika paradigma Islam digunakan sebagai sistem negara, bukan sebaliknya, menggunakan paradigma kapitalistik.

Dengan begitu, tidak akan ada tedensi kepentingan apapun kecuali dalam rangka menjalankan kewajiban seorang pemimpin yaitu menjadi pelayan bagi rakyatnya dengan tujuan semata mengharap Ridlo Allah SWT.

Wallahu A’lam Bi Showab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *