Lagi-lagi Impor Beras, Dimana Kedaulatan Pangan Negara?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Lagi-lagi Impor Beras, Dimana Kedaulatan Pangan Negara?

Aini Ummu Aflah

Kontributor Suara Inqilabi

 

Indonesia merupakan wilayah yang subur akan pertaniannya. Sawah menghampar luas di negeri ini, namun sayang seiring berjalannya waktu rakyat semakin susah membeli beras dan petani pun makin terpuruk kalah bersaing dengan beras impor.

Baru-baru ini presiden Jokowi mengatakan bahwa Indonesia akan impor beras dikarenakan kesulitan dalam swasembada (cnbc, 2 Januari 2024).

Menurut Jokowi bahwa setiap tahunnya akan ada sekitar 4-4,5 juta bayi lahir. Dan semuanya butuh makan.

Sebenarnya Jokowi tidak ingin impor beras namun kenyataannya produksi beras tidak tercapai. Pada tahun 2024 Indonesia akan mengimpor beras dari India dan Thailand sebanyak 3 ton beras (tempo.com, 11 Januari 2024).

Jika kita melihat kondisi Indonesia dari tahun ke tahun yang terus menerus impor beras, nampaknya Indonesia memang miskin tidak berdaya. Apalagi kenyataan di lapangan, rakyat juga kesulitan mendapatkan beras karena beras terlalu mahal. Namun jika kita melihat wilayah Indonesia yang terhampar luas dengan tanah persawahannya, maka kita tidak akan percaya begitu saja, karena luas sawah Indonesia ada yang salah dalam tata kelola ruang di negeri ini.

Kebijakan yang telah ditetapkan presiden Jokowi untuk impor sungguh menyesakkan dada. Sekali lagi petani sangat dirugikan. Petani dalam negeri harus bersaing harga dengan beras impor. Beras dalam negeri mahal karena petani harus berjuang sendiri dalam pengolahan sawahnya mulai dari pupuk, air irigasi, obat-obatan dan lainnya yang menguras biaya besar. Harga beras impor sebaliknya yakni murah. Lama-lama kondisi petani makin nyungsep dan mati. Siapa yang diuntungkan dengan adanya impor beras? Tentu jawabannya adalah para oligarki.

Oligarki diberikan akses oleh pemerintah perihal impor beras. Nyatalah mereka yang meraup keuntungan sebesar-besarnya. Rakyat hanya menjadi tumbal kebengisan dari sistem kapitalis yang makin liberal. Pemerintah berlepas diri untuk mencari akar persoalan dan lebih berpihak pada oligarki. Tentu saja negara Indonesia tidak akan mampu dan bisa berdaulat dalam perihal pangan nasional. Di sisi lainnya, dengan adanya proyek strategis nasional yang menjadikan alih fungsi sawah menjadi perumahan dan industri tentu akan menyunat lahan-lahan sawah yang berakibat hasil beras semakin sedikit. Sungguh kebijakan pemerintah nampak sangat dzalim.

Berbeda dalam negara kh1l4f4h, Islam sebagai pondasi dalam menata negara adalah satu-satunya aturan yang menjadi panutan.

Dalam Islam posisi kepala negara adalah sebagai pemelihara urusan rakyat dalam segala hal. Baik urusan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan maupun keamanan. Khal1f4h akan bekerja siang malam memikirkan cara bagaimana negara memiliki kedaulatan pangan. Rakyat tercukupi kebutuhan pangannya, salah satunya adalah beras.

Khal1f4h akan menata wilayah-wilayah untuk pertanian yang menghasilkan beras, jagung atau bahan pokok makanan lainnya sehingga hasilnya tercukupi untuk rakyat. Sehingga tidak boleh ada alih fungsi lahan pertanian.

Khal1f4h juga akan menghidupkan tanah mati yang terlantar selama dua tahun. Siapa saja yang mampu menggarap sawah ajan diberikan sawah dengan cuma-cuma. Seperti hadis nabi :

من أَحْيَى أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ

Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya. (HR. Tirmidzi, Abu Dawud)

Tidak itu saja, khal1f4h beserta para ahli pertanian akan melakukan eksperimen agar panen beras bisa melimpah beberapa kali tanam dengan menghasilkan varietas unggul.

Sejatinya yang dilakukan khal1f4h adalah bentuk tanggung jawab dunia dan akhirat. Khal1f4h diangkat tidak lain adalah untuk riayah suunil ummah dan berhukum dengan hukum Islam saja.

Seharusnya Islam sebagai satu-satunya aturan yang layak diambil agar kemaslahatan rakyat teraih. Sejahtera, makmur, dan hidup bahagia tanpa beban hidup sulit hanya ada dalam sistem khil4f4h. Kedaulatan pangan dalam khil4f4h itu niscaya.

Wallahu alam bisshowab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *