Kereta Cepat, Proyek Mubazir Tak Merakyat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Annisa Alawiyah (Lingkar Studi Muslimah Bali)

 

Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) belakangan ini menuai kontra dalam proses pembangunannya. Pasalnya, proyek tersebut diperkirakan hanya menghabiskan dana sebesar US$ 6,1 miliar atau Rp 87 triliun. Akan tetapi setelah proyek berjalan, biaya yang dibutuhkan mencapai US$ 8 miliar atau sekitar Rp 114,4 triliun.

 

Estimasi kenaikan biaya tersebut berdasarkan perhitungan PT. Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC) yang merupakan konsorsium pengerjaan proyek tersebut. (katadata.co.id 17/09/2021)

 

Karena dana yang semakin membengkak, akhirnya Presiden Joko Widodo mengizinkan penggunaan APBN untuk mendukung proyek kereta cepat. Padahal sebelumnya Presiden Joko Widodo mengatakan tidak akan menggunakan APBN dalam proyek kereta cepat tersebut.

 

Melalui peraturan Nomor 93 Tahun 2021, yang merupakan perubahan atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta Bandung yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo beberapa minggu lalu, Jokowi mengizinkan penggunaan APBN untuk mendukung proyek kereta cepat. (katadata.co.id 14/10/2021)

 

Ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, mengatakan bahwa proyek kereta cepat Jakarta-Bandung memberikan beban yang besar bagi anggaran negara. Menurutnya, proyek kereta cepat tidak ekonomis dan tidak akan balik modal.

 

Bahkan sampai Faisal Basri mengatakan, “Nah itu yang harus kita bayar. Sebentar lagi rakyat akan membayar kereta cepat. Barangkali nanti ongkosnya mencapai Rp 400 ribu sekali jalan dan diperkirakan sampai kiamat pun tidak balik modal”, ujar Faisal Basri dalam dialog 19 – Covid-19 dan Ancaman Kebangkitan Dunia Usaha, Rabu (13/10).

 

Faisal Basri juga berpendapat bahwa kereta cepat Jakarta-Bandung merupakan proyek mubazir dan lebih menguntungkan investor Cina.

 

Dalam sistem kapitalis, wajar apabila pembangunan infrastruktur diperoleh dari sektor pajak yang menjadi pemasukan terbesar negara, yaitu utang atau pinjaman luar negeri. Pada akhirnya, rakyatlah yang akan menanggung beban tersebut.

 

Pajak akan ditarik melalui pemungutan tarif jalan tol, biaya pendidikan, tarif rumah sakit dan berbagai sarana infrastruktur yang dibebankan kepada rakyat yang menggunakan infrastruktur tersebut. Padahal seharusnya negaralah yang memiliki tanggung jawab untuk menyediakan sarana infrastruktur yang dibutuhkan rakyat tanpa memungut biaya sedikitpun demi memudahkan segala urusan hidup rakyat.

 

Namun kenyataannya, dalam sistem kapitalis pengelolaan harta tidak diselenggarakan secara adil dan terbuka bahkan cendrung merugikan rakyat. Sistem kapitalis telah memprogram bahwa semua fasilitas hanya untuk kepentingan pemilik modal demi meraih untung sebanyak-banyaknya.

 

Inilah yang menjadikan harta di negeri ini sering terbuang mubazir. Sistem kapitalis tidak lagi mempertimbangkan apakah pembangunan infrastruktur itu memberi manfaat kepada rakyat ataukah tidak. Mereka hanya memandang keuntungan materi semata.

 

Di sisi yang lain ada ekonomi Islam yang sangat rinci pengaturannya. Pembangunan infrastruktur akan dibiayai oleh negara secara penuh. Pengalokasian dana untuk infrastruktur juga diselenggarakan secara adil dan terbuka.

 

Contohnya dalam membangun insfrastruktur untuk kepentingan rakyat maka negara akan mengambil dari Baitul Mal yang di dalamnya terdiri dari harta kharaj (atas tanah), jizyah (dari rakyat non muslim), cukai perbatasan yang dipungut karena negara bertanggung jawab mengatur perdagangan luar negeri. Semua dilakukan sesuai dengan hukum syari’at islam.

 

Adapun pembiayaan dengan utang dan pajak dilihat dalam jangka waktu pengadaannya.

 

Infrastruktur dalam Islam dibagi menjadi dua jenis. Pertama, infrastruktur yang mendesak dan sangat dibutuhkan oleh rakyat. Apabila pengadaannya ditunda, maka akan menimbulkan bahaya (dharar) bagi rakyat. Seperti pembangunan rumah sakit atau puskemas yang masih sangat minim di desa-desa terpencil, atau pembangunan jalan utama yang rusak parah.

 

Kedua, infrastruktur yang tidak begitu mendesak yang apabila ditunda pengadaannya maka tidak menimbulkan bahaya (dharar). Seperti peluasan pembangunan masjid, pertambahan jalan alternatif, atau pertambahan gedung sekolah perguruan tinggi.

 

Adapun kategori infrastruktur yang kedua maka negara tidak boleh membangun dalam keadaan Baitul Mal atau APBN kosong. Juga tidak diperbolehkan negara mendanai melalui jalur utang. Infrastruktur tersebut baru boleh dibangun ketika dana dalam Baitul Mal atau APBN mencukupi.

 

Sedangkan kategori infrastruktur yang pertama, maka tidak perlu memperhatikan apakah dana yang ada dalam Baitul Mal atau APBN mencukupi atau tidak. Apabila dana yang dimiliki negara mencukupi maka pembangunan infrastruktur harus segera dilaksanakan. Akan tetapi apabila dana Baitul Mal atau APBN tidak mencukupi, maka negara dibolehkan untuk mengambil pajak (dharibah). Tetapi apabila pemungutan dharibah kepada rakyat memerlukan waktu yang lama sementara pembangunan infrastruktur harus segera dilaksanakan, maka negara diperbolehkan melakukan pinjaman kepada pihak lain. Tentu pinjaman dilakukan sesuai dengan hukum syar’i yaitu tanpa riba dan tidak menyebabkan negara mengalami ketergantungan kepada negara yang memberikan pinjaman. Pinjaman akan dibayar setelah dana dharibah dari rakyat terkumpul.

 

Dalam hal pajak terdapat perbedaan yang mendasar antara sistem Islam dan sistem kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme, pajak adalah tumpuan yang menjadi pendapatan terbesar oleh negara. Akan dipungut dari banyak jenis usaha perindividu yang ditetapkan sebagai objek pajak. Pemungutan pajak dalam Kapitalisme dilakukan terhadap seluruh warga negara dan secara permanen/berkelanjutan.

 

Sedangkan dalam sistem Islam, pajak (dharibah) hanya dipungut dalam keadaan kas negara kosong saja. Dan diperoleh dari orang-orang kaya saja. Adapun waktu pelaksanaannya pun bersifat sementara (temporer), hanya sampai kas negara terpenuhi. Selanjutnya, pemasukan negara dalam Khilafah Islamiyah didapatkan dari berbagai macam pemasukan yang diizinkan syari’at berupa harta-harta fai dan kharaj.

 

Begitulah Islam memandang perekonomian infrastruktur. Dengan begitu, penyelenggaraan infrastruktur akan tepat sasaran dan terhindar dari sikap mubazir. Serta negara lain tidak mudah memandang rendah Negara Islam karena negara yang menerapkan sistem Islam tidak akan melakukan transaksi apapun yang menyebabkan ketergantungan kepada negara lain. Tentunya akan membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

 

Allahua’lam bishowwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *