Kemana Arah Revisi UU ITE?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Elvira Masitho R. Agustin

 

Kebebasan bersuara merupakan suatu hak warga negara atau seluruh rakyat yang hidup di negeri ini. Karena bersuara atau menyampaikan pendapat merupakan salah satu hak yang dijamin oleh negara dan telah diatur dalam aturan undang-undang saat ini. Siapa saja boleh menyampaikan pendapatnya dan bebas berargumentasi menyampaikan opini ketika terdapat suatu hal yang salah. Namun di kondisi saat ini, setelah banyaknya perubahan aturan yang mengatur kebebasan bersuara, tak lagi mudah untuk menyampaikannya. Baik yang berkaitan dengan masalah yang terjadi maupun gerak-gerik pelaksanaan dalam pemerintahan.

Dimana sebelumnya, seluruh rakyat bebas menyampaikan aspirasinya menyampaikan saran dan kritik terhadap pemerintah. Namun semakin dirasa massifnya opini maupun kritik yang berkenaan dengan jalannya pemerintahan, dianggap sebagai ujaran kebencian atau hujatan kepada pemerintahan. Sehingga muncullah UU ITE (Undang-undang Transaksi dan  Informasi Elektronik) yang seluruh pasalnya mengarah untuk membungkam kritik. Bagaimana tidak, ketika terdapat pihak yang memberikan kritik terhadap tidak sesuainya kebijakan pemerintah melalui media sosial yang dianggap  bertentangan dengan pemerintah, maka mudah sekali untuk memasukkan pihak tersebut ke jeruji besi melalui UU ini.

Seiring berjalannya waktu, pasal-pasal yang terdapat dalam UU ITE ini menuai berbagai protes dari berbagai pihak masyarakat karena merasa tidak ada keadilan dalam negeri ini. Sehingga muncullah respon kepala pemerintahan yang hendak mengubah atau merevisi pasal karet yang dianggap merugikan masyarakat. Proses revisi ini pun tidak hanya terjadi sekali. Sebagaimana dalam warta berita Kompas.com menyatakan bahwa Jokowi mengaku akan meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk merevisi UU tersebut jika implementasi UU ITE yang berkeadilan itu tidak dapat terwujud.

“Kalau Undang-Undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan ya saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi undang-undang ini, Undang-undang ITE ini,” kata Jokowi saat memberikan arahan pada rapat pimpinan TNI-Polri di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/2/2021). (17/02)

Begitu juga dalam berita BBC News menyatakan bahwa Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, mengatakan tim ini bekerja selama dua bulan ke depan untuk mencari solusi atas sejumlah aturan di dalamnya, yang selama ini disebut sebagai pasal karet.(22/02)

Melihat fakta diatas, wacana revisi UU ITE menjadi harapan besar untuk rakyat agar tak memakan korban karena pasal-pasal karetnya. Namun yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah dengan revisi UU tersebut memunculkan peluang kembali untuk bersuara. Karena dari proses revisi justru akan berpeluang lebih keras untuk membungkam kritik yang bertebaran. Dimana kritik tersebut akan menunjukkan aspirasi rakyat melalui media terhadap jalannya pemerintahan. Tentu hal ini menjadi pusat perhatian dan momok besar pemerintahan. Inilah yang tidak dikehendaki oleh pemerintahan, dimana pemerintah bisa menstop atau membungkam kritik melalui UU Ini. Bahkan ketika revisi pun belum menjamin sepenuhnya akan ada kebebasan bersuara yang asalnya menjadi asas yang lekat dalam negara. Mungkin hanya pihak-pihak tertentu yang bisa bersuara.

Berbeda ketika Kebebasan kritik dan bersuara diperbolehkan dan tata dijamin dengan adil. Maka seluruh rakyat akan mudah menyampaikan kritik atau pendapat terhadap berbagai tindakan atau kebijakan tidak sesuai yang diterapkan oleh pemerintah. Sehingga menjadi bahan pertimbangan dan penilaian kebaikan untuk seluruh kebaikan rakyatnya. Namun, tidak untuk saat ini. Dimana kepentingan bukanlah untuk rakyat melainkan untuk korporat dan yang berkuasa. Bagaimana tidak, sistem yang berjalan saat ini adalah sistem yang menghendaki untuk mencari keuntungan dan manfaat sebesar-besarnya bagi siaa yang berkuasa. Ketika ada suatu hal yang dirasa merugikan  maka dengan mudah dihilangkan. Sehingga sebagaimana kebebasan bersuara saat ini  pun seolah tak ada.

Dalam islam, untuk menyatakan pendapat akan senantiasa dijamin. Bahkan menyampaikan kritik terhadap Jalannya para penguasa sangat diindahkan guna mencapai kemaslahatan bersama. Ketika penguasa salah baik cara bekerjanya maupun kebijakannya, maka kritik dan saran akan dijadikan sebagai bahan penilaian atau evaluasi untuk memperbaiki kepemimpinannya. Dan hal ini tentu tidak semudah dijalankan di kondisi seperti ini yang masih pada lingkaran sistem yang sama. Satu-satunya yang menjamin hanyalah negara islam. Sistem Islam, Khilafah Islamiyah.

Wallahua’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *