Kedahsyatan Peristiwa Nuzulul Quran

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh Fauziah Husnul Wardah

 

Setiap Ramadhan kaum Muslim biasanya menyelenggarakan Peringatan Nuzulul Quran. Tentu karena al-Quran Allah SWT turunkan pada Bulan Ramadhan (QS al-Baqarah [2]: 185). Bukan hanya turun pada bulan Ramadhan yang istimewa, al-Quran pun turun pada malam yang sangat istimewa, yakni Lailatul Qadar. Allah SWT berfirman yang artinya: Sungguh Kami menurunkan al-Quran pada saat Lailatul al-Qadar. Tahukah kamu, apa Lailatul al-Qadar itu? Itulah malam yang lebih baik dari seribu bulan (TQS al-Qadr [97]: 1-3). Namun demikian, umumnya kaum Muslim lebih fokus pada keutamaan Lailatul Qadar. Sedikit yang fokus pada “kedahsyatan” peristiwa Nuzulul Quran. Secara tidak langsung hal demikian bisa kita pahami dari ayat lain, yakni firman Allah SWT yang artinya: Andai al-Quran ini Kami turunkan di atas gunung, kamu (Muhammad) pasti menyaksikan gunung itu tunduk dan pecah berkeping-keping karena takut kepada Allah. Perumpamaan itu kami buat untuk manusia agar mereka mau berpikir (TQS al-Hasyr [59]: 21). Saat menafsirkan ayat ini, menurut Abu Hayan al-Andalusi, ayat ini merupakan celaan kepada manusia yang keras hati dan perasaannya tidak terpengaruh sedikit pun oleh al-Quran. Padahal jika gunung yang tegak dan kokoh saja pasti tunduk dan patuh pada al-Quran, sejatinya manusia lebih layak untuk tunduk dan patuh pada al-Quran (Abu Hayan al-Andalusi, Bahr al-Muhîth, 8/251).

Sayangnya, apa yang dinyatakan oleh Abu Hayan al-Andalusi ini justru banyak terjadi saat ini. Banyak manusia tidak tunduk dan patuh pada al-Quran. Banyak manusia yang bahkan tidak bergetar saat al-Quran dibacakan. Boleh jadi hal itu karena banyak hati manusia yang sudah mengeras. Bahkan lebih keras dari batu. Tak sedikit pun terpengaruh oleh bacaan al-Quran. Apalagi tergerak untuk mengamalkan isinya dan menerapkan hukum-hukumnya. Padahal setiap tahun Nuzulul Quran diperingati. Bahkan setiap hari mungkin al-Quran sering dibaca atau diperdengarkan.

Al-Quran menjanjikan keberkahan, al-Quran sejatinya Allah SWT turunkan agar menjadi rahmat bagi manusia. Rahmat yang terkandung dalam al-Quran itu akan terwujud tentu jika seruan-seruannya dipenuhi oleh manusia. Tentu saat al-Quran secara nyata diterapkan di tengah-tengah kehidupan mereka. Seruan-seruan al-Quran setidaknya memiliki dua aspek, yakni aspek ruhiyah (spiritual) dan aspek siyasiyah (politik). Aspek ruhiyah mencakup pengaturan hubungan manusia dengan Allah SWT seperti shalat, puasa, haji, dll. Adapun aspek siyasiyah (politik) mencakup pengaturan hubungan sesama manusia, khususnya yang menyangkut urusan publik yang dijalankan oleh negara dan dikontrol pelaksanaannya oleh umat. Sebabnya, politik dalam Islam pada hakikatnya adalah pengaturan urusan umat, baik di dalam maupun di luar negeri, sesuai dengan petunjuk dan hukum-hukum al-Quran.

Namun sayang, aspek siyasiyah al-Quran belum mendapat perhatian semestinya sebagaimana aspek ruhiyah-nya. Oleh sebab itu, pantas kerahmatan dan keberkahan al-Quran masih jauh dari kehidupan manusia saat ini. Karena itu kaum muslim wajib terikat dengan al-Quran termasuk penguasa. Siapa pun kaum muslimin ketika memutuskan perkara wajib memutuskan dengan hukum al-Quran. Serta mewajibkan untuk menjadikan Rasulullah SAW sebagai hakim, saat Rasulullah sudah wafat maka kewajiban umatnya untuk berhukum pada al-quran yang beliau bawa.

Hanya saja, pengamalan dan penerapan aspek politik al-Quran membutuhkan institusi kekuasaan.  Tanpa kekuasaan berdasarkan al-Quran, tentu sebagian besar hukum-hukum Islam menjadi terlantar dan tidak bisa diterapkan, sebagaimana hari ini. Tentu ini bertentangan dengan makna Nuzulul Quran. WalLahu a’lam bi ash-shawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *