Kasus Rempang, Bukti Kuatnya Oligarki di Atas Penderitaan Rakyat Sendiri

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Kasus Rempang, Bukti Kuatnya Oligarki di Atas Penderitaan Rakyat Sendiri

Oleh D Budiarti Saputri

Tenaga Kesehatan

 

Ribuan warga Kepulauan Rempang, terancam kehilangan tempat tinggal serta tanah leluhur mereka. Hal ini terjadi akibat dari rencana pengembangan Pulau Rempang menjadi kawasan Rempang Eco-City. Awal mula penggusuran warga Rempang ini adalah dari rencana pengembangan kawasan ekonomi baru atau The New Engine of Indonesian’s Economic Growth dengan konsep “Green and Sustainable City” di daerah itu. Pembangunan ini menjadi fokus pemerintah pusat usai Presiden Jokowi melakukan kunjungan ke Cina akhir Juli lalu. Terlebih lagi adanya komitmen investasi dari perusahaan asal Cina, Xin Yi International Investment Limited.

Sebelumnya, kawasan Rempang ini memang menjadi proyek strategis nasional yang telah ditetapkan sejak akhir Agustus 2023 yang lalu. Ketentuan ini tertuang dalam Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional. (Tempo.com)

Pembangunan Rempang Eco-City juga menggusur 1.835 bangunan di daerah itu. Angka ini merujuk Laporan tentang Percepatan Investasi Pulau Rempang Direktorat Pengelolaan Pertanahan Badan Pengusahaan (BP) Batam yang terbit pada Oktober 2022.

Pengembangan kawasan Eco-City tersebut digarap melalui kerja sama antara BP Batam dan PT Makmur Elok Graha (MEG). Pembangunan itu hendak menjadikan Pulau Rempang sebagai kawasan industri, manufaktur, logistik, dan kawasan pariwisata terintegrasi guna meningkatkan daya saing Indonesia dari Singapura dan Malaysia. Selain itu, pembangunan Rempang Eco-City ditargetkan akan menarik investasi hingga Rp381 triliun pada 2080.

Kasus ini makin panas, ketika pemerintah melakukan pemaksaan pada warga untuk meninggalkan tanah kelahiran dan leluhur mereka. Bukan hanya laki-laki menjadi korban, tetapi banyak di antara mereka adalah perempuan dan anak-anak. Banyak anak-anak Sekolah Dasar yang terkena gas air mata.

Sebenarnya, sangat wajar ketika warga Rempang menolak penggusuran tersebut. Pulau Rempang sendiri telah berpenghuni sebelum kemerdekaan Indonesia. Pemerintah seakan tutup mata dengan hal tersebut, dengan alasan warga yang tidak memiliki sertifikat tanah sebagai tanda legalitas kepemilikan. Padahal jauh sebelum adanya aturan sertifikasi tanah, mereka sudah tinggal turun temurun di sana. Warga juga telah mengajukan sertifikasi tersebut, tetapi tidak kunjung diberikan.

Justru dengan mudahnya, pemerintah memberikan sertifikasi legalitas tersebut kepada pihak asing. Dari sini kita bisa melihat dan menilai kepada siapa sebetulnya pemerintah berpihak.

Kasus sengketa lahan seperti ini bukanlah kasus pertama yang pernah terjadi. Beberapa tahun lalu kasus yang sama juga pernah terjadi di Wadas. Berdalih proyek strategi nasional dan mengejar pertumbuhan ekonomi, pemerintah mengorbankan rakyat. Jikapun ada relokasi dan ganti rugi, hal itu hanyalah obat penenang. Untuk jangka panjang proyek-proyek tersebut hanya menguntungkan segelintir orang. Sejatinya, proyek tersebut adalah proyek korporasi.

Dalam sistem kapitalis, hal-hal seperti ini akan senantiasa kita dapati. Sistem kapitalis akan senantiasa mengikat penguasa dengan oligarki. Di mana setiap pembangunan negara bersandar sepenuhnya dari investasi para pengusaha. Dengan demikian kebijakan dan keberlangsungan negara hanya ada di tangan segelintir orang. Jeratan investasi ini pulalah yang dapat menyebabkan korporasi dengan mudahnya mendikte setiap kebijakan pemerintahan suatu negara dan mengorbankan rakyatnya. Begitulah sistem kapitalis, mereduksi peran negara dan beralih pada pemilik modal. Oleh karena itu, pembangunan yang berbasis pada Islam adalah alternatif tunggal.

Dalam Islam, pembangunan berprinsip pada pelayanan pemerintah terhadap rakyat merupakan amanah yang akan Allah hisab kelak. Oleh karena itu, pembangunan terlaksana dalam rangka mewujudkan kemaslahatan rakyat dan dilakukan secara mandiri. Bukan berdasarkan untung rugi seperti dalam sistem kapitalis. Tidak ada pengalihan peran pemerintah kepada individu untuk membangun negara, semuanya akan dilakukan secara mandiri, tidak akan tergantung pada asing. Karena itu merupakan pelanggaran syariat.

Dalam Islam, negara berperan utuh dalam mengurus seluruh kemaslahatan rakyat, termasuk melakukan pembangunan. Tidak seperti dalam sistem kapitalis, di mana negara abai dan menyerahkan kemaslahatan umat pada asing. Melalui pendanaan Baitul Mal, proyek pembangunan berjalan secara mandiri. Negara akan memaksimalkan pemasukan dari pos-pos pendapatan negara. Jika kas baitulmal kosong, negara dapat memobilisasi pengumpulan dana dari kalangan orang kaya (aghniyah).

Negara tidak boleh membuka peluang masuknya investasi di sektor yang terkategori kepemilikan umum yang sepenuhnya diatur oleh negara dan tidak boleh diserahkan kepada swasta, baik dalam bentuk konsesi ataupun privatisasi.

Wallahualam bissawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *