Kasus Rempang, Bukti Ketundukan Penguasa pada Para Investor

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Kasus Rempang, Bukti Ketundukan Penguasa pada Para Investor

Oleh Irma Faryanti

Pegiat Literasi 

 

Sebuah bentrokan terjadi pada hari Kamis 7 September 2023 lalu antara warga Rempang, Kepulauan Riau dengan aparat gabungan. Mereka menolak pengukuran lahan yang dilakukan oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam. Diduga peristiwa itu terjadi karena konflik lahan untuk rencana pembangunan kawasan Rempang Eco City. Sebuah proyek yang pada dasarnya telah mencuat sejak tahun 2004. Pada saat itu, PT Makmur Elok Graha digandeng pemerintah untuk bekerja sama. Dan saat ini masuk ke dalam program strategis nasional, sesuai Permenko bidang perekonomian RI no 7/2023. Serta ditargetkan bisa menarik investasi senilai Rp381 triliun di 2080 nanti. (CNN indonesia, Selasa 12 September 2023)

Pada peristiwa itu aparat melakukan penembakan gas air mata yang mengakibatkan kondisi semakin tidak kondusif, tidak sedikit anak-anak yang harus dilarikan ke rumah sakit akibat terkena dampaknya. Kabid Humas Polda Kepri, Zahwani Pandra Arsyad menyatakan bahwa pihaknya hanya ingin membongkar blokade yang dilakukan warga di Jembatan Trans Barelang agar tidak mengganggu, hanya saja mendapat perlawanan, dan akhirnya berdampak pada murid di sekolah, yang menurutnya disebabkan oleh hempasan angin.

Sayangnya, tidak lama berselang yaitu tanggal 11 September 2023, bentrokan kembali pecah. Massa menggelar aksi demonstrasi di depan kantor BP Batam dan meminta agar 7 orang warga yang ditahan pada peristiwa bentrok sebelumnya segera dibebaskan. Aparat pun kemudian menangguhkan penahanan ketujuh tersangka tersebut. Memang diakui, penangkapan dilakukan pada 43 orang karena mereka melakukan perusakan. Kaca gedung BP Batam pecah akibat lemparan batu, sementara sekitar 26 personel aparat gabungan mengalami luka-luka.

Menyusul akan dibangunnya Rempang Eco City ini, otomatis perlu dilakukan relokasi warga, namun sekitar 16 kampung menolak hal tersebut dan mengklaim bahwa kampung mereka telah berdiri sejak tahun 1834. Bahkan menurut salah seorang penduduk setempat yang bernama Khazaini, klaim polisi yang menyatakan bahwa sosialisasi telah dilakukan dan korban penggusuran akan mendapat ganti rugi adalah fakta yang tidak benar adanya, karena warga yang terancam tergusur lahannya tidak mendapat ganti rugi dari BP Batam.

Menyikapi reaksi masyarakat setempat, Mahfud MD selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) menegaskan bahwa yang terjadi di Pulau Rempang bukanlah penggusuran, melainkan pengosongan lahan oleh pihak yang berhak. Ia menyatakan bahwa pada tahun 2001-2002 negara telah memberikan Hak Guna Usaha (HGU) atas Pulau Rempang pada sebuah entitas perusahaan, namun tanah itu belum digarap dan tidak pernah dikunjungi. Salahnya lahan itu diberikan pada orang lain pada tahun 2004 untuk ditempati, padahal Surat Keterangan (SK) terkait telah dikeluarkan secara sah. Pun jika ada pengosongan tanah, itu adalah hak para investor.

Pendapat Mahfud diperkuat oleh Hadi Tjahjanto sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang menyatakan bahwa masyarakat yang menempati Pulau Rempang tidak memiliki sertifikat. Terkait pendapat ini sejarawan Nicko Pandawa tidak menyepakatinya, ia menegaskan bahwa masyarakat di sana telah menempati pulau itu sebelum NKRI ada. Walaupun tidak memiliki surat-surat, tapi darah mereka telah lama tumpah ketika kesultanan masih jaya.

Konflik agraria yang terjadi di Rempang berawal dari dilakukannya pembangunan dengan dalih investasi yang dinarasikan untuk pertumbuhan ekonomi. Dalam sebuah pemerintahan yang berlandaskan sistem Kapitalisme, tentu hal ini merupakan sesuatu yang wajar. Bahkan orang nomor satu di negeri ini pernah menyatakan bahwa investasi adalah kunci pertumbuhan ekonomi. Yang menjadi pertanyaan adalah, hal ini ditujukan bagi siapa? Rakyat ataukah para korporat?

Jika ditanya demikian, jawaban yang diberikan pastilah investasi ditujukan demi rakyat. Sayangnya, teori tidak sejalan dengan fakta yang terjadi, alih-alih kebaikan yang dirasakan, yang muncul hanyalah kesengsaraan. Buktinya ketika rakyat menolak kebijakan yang ditetapkan karena merasa dirugikan, pemerintah tetap bergeming dan masih mempertahankan keputusannya menarik para investor walau harus mengorbankan nasib rakyatnya.

Inilah wajah kepemimpinan kapitalis sekuler yang sebenarnya, penguasa lebih membela pemodal dibanding rakyatnya. Dengan dalih menjunjung tinggi kebebasan kepemilikan, negara yang seharusnya melindungi masyarakat justru lebih cenderung pada kepentingan para korporat. Proyek-proyek yang dibangun jelas hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu yang memiliki modal. Konflik yang terjadi di Rempang menunjukkan rapuhnya negara karena tega menjadi perpanjangan tangan para investor.

Berbeda dengan kapitalis, Islam memandang bahwa seorang penguasa adalah pengayom bagi rakyatnya, ia laksana junnah (perisai) yang akan menjadi pelindung bagi umat. Terkait pembangunan, seorang penguasa hendaknya melakukan hal tersebut untuk umat. Mengelolanya sesuai ketentuan syariat, tidak boleh berbasis pada investasi asing terlebih transaksi ribawi. Karena semua itu hanya akan mengantarkan pada penjajahan secara ekonomi yang berdampak buruk pada masyarakat.

Apa yang terjadi di Rempang sejatinya adalah perampasan tanah milik rakyat untuk diberikan kepada oligarki. Hal ini jelas bentuk kezaliman, karena apa yang diserahkan termasuk kepemilikan individu. Negara seharusnya menjalankan perannya dalam melindungi dan mengayomi, kebutuhan dan kesejahteraan rakyat menjadi sesuatu yang wajib ditunaikan. Padahal Rasulullah saw. pernah bersabda dalam HR Muslim:

“Siapa saja yang merampas tanah orang lain dengan cara yang zalim, walaupun hanya sejengkal, maka Allah akan mengalunginya kelak di hari kiamat dengan tujuh lapis bumi.”

Sesungguhnya Allah Swt. telah menetapkan aturan yang sempurna bagi seluruh permasalahan kehidupan. Termasuk hukum tentang pertanahan, yang telah diterapkan selama ribuan tahun oleh Rasulullah saw., para sahabat dan berbagai generasi penerus sesudahnya di masa kejayaan Islam. Hingga akhirnya institusi kaum muslim tersebut dimusnahkan, maka hancurlah segala bentuk penerapan syariat Allah di muka bumi ini. Umat pun kehilangan junnah yang selama ini menaunginya, sehingga mereka terpuruk dalam kesengsaraan yang berkepanjangan. Sudah saatnya Kaum Muslim bangkit memperjuangkan tegaknya kembali hukum Allah dan menghancurkan segala bentuk tirani yang bisa menghalangi perjuangan dakwah penegakan Islam kaffah.

Wallahu a’lam bishshawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *