Karhutla Terjadi Lagi, Ada Apa Ini?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Karhutla Terjadi Lagi, Ada Apa Ini?

Oleh Aulia Rahmah

Kelompok Penulis Peduli Umat

Hingga Agustus tahun ini, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah mencatat kejadian karhutla sebanyak 499 kasus, jumlah ini cukup tinggi apabila dibandingkan dengan tiga tahun sebelumnya, mengingat baru mencakup data selama 8 bulan, sedangkan fase El nino tahun ini masih tergolong lemah hingga moderat. Abdul Muhari, Kepala Pusat dan Komunikasi Kebencanaan BNPB menghawatirkan situasi karhutla akan memburuk pada 2024 saat fase El nino menguat.

Akibat bencana karhutla, beberapa kota di Indonesia diselimuti kabut asap. Di Palembang dan Jambi, kualitas udara memburuk mencapai level ‘tidak sehat’. Masyarakat setempat mengeluh tenggorokan mereka terasa kering, mata pedih, hidung tersumbat, batuk dan demam. Aktivitas mereka di luar rumah dibatasi, dan saat keluar rumah mereka harus pula memakai masker. Mengutip dari bbc.com(8/92023), Kepala Dinas Kesehatan Sumatera Selatan, Trisnawarman mengatakan bahwa sejak Juli hingga Agustus 2023 telah terjadi peningkatan 4000 kasus ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut).

Untuk Kabupaten Ketapang lebih berat polusi udaranya, hingga ditetapkan status tanggap darurat bencana. Kabut asap sudah memburuk dan partikel abu sudah kelihatan jelas. Upaya penanggulangan dan penyelamatan juga terus diupayakan, 100 warga pun diungsikan. BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) bersama tim Manggala Agni, TNI, Polri, juga sejumlah sukarelawan bergerak untuk memadamkan api, membuat pos pantau dan membuat hujan buatan. Namun berbagai upaya tak juga memperoleh hasil yang signifikan. Bencana karhutla seolah sudah menjadi siklus yang terus terjadi berulang-ulang setiap tahun.

Saat ditelusuri, karhutla ini terjadi di titik-titik api yang beberapa tahun lalu terbakar. Sebagian besar terjadi di wilayah perusahaan-perusahaan pemegang konsesi. Perusahaan-perusahaan ini rata-rata enggan melakukan upaya penjagaan lingkungan sesuai peraturan yang disepakati. Mereka enggan melakukan pemulihan dan penjagaan keseimbangan lingkungan, misalnya dengan membuat sumur bor, membuat kanal-kanal, melakukan reboisasi, dsb. Hal ini dimaksudkan sebagai pengganti fungsi hutan dan lahan gambut yang mereka rusak akibat alih fungsi lahan menjadi pertambangan, perkebunan kelapa sawit, maupun industri. Mereka merasa cukup hanya dengan menyetor pajak kepada pemerintah.

Sedangkan pemerintah sendiri, entah karena sudah bosan memberi peringatan, atau karena menerima suap dan korupsi, sehingga perusahaan-perusahaan nakal ini tak jua jera. Ketidaktegasan penegak hukum membuat perusahaan makin berani membuka lahan-lahan baru dengan membakar hutan dengan alasan efisiensi modal dan tenaga. Kasus karhutla pun terus berulang setiap tahun. Sunggguh terjadinya karhutla berdampak kerusakan yang sangat besar, polusi udara yang dapat merusak kesehatan warga, merusak ekosistem, menghilangkan unsur hara dalam tanah, dan kabut asap akan menambah emisi karbon. Benarlah apa yang difirmankan oleh Allah SWT; “Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan oleh tangan-tangan manusia” (QS. Ar rum: 41).

Ya, tangan-tangan serakah pemilik modal dan pemangku kebijakan lah yang teramat jelas andil dalam hal ini. Mereka yang melegalisasi kekeliruan mereka atas nama negara. Mereka bebas berbuat dzalim dengan mengangkangi harta milik umat dan membuat aturan yang memungkinkan mereka untuk berbuat semaunya. Padahal seharusnya negara dibentuk adalah untuk melindungi rakyat dari ancaman kerusakan. Dengan pemberlakuan hukum selain Islam, umat banyak dirugikan. Ibarat pepatah “tidak makan buahnya tapi kena getahnya”. Rakyat terhalangi menikmati hasil hutan tapi merasakan kabut asap karena karhutla.

Dalam Islam, haram hukumnya bagi tiap individu untuk melakukan perbuatan yang membahayakan. Dalam hal ini adalah membuka lahan dengan cara membakar hutan. Negara yang berdasarkan Islam akan menindak tegas individu atau perusahaan yang terbukti melakukan tindakan yang membahayakan diri sendiri, lebih-lebih membahayakan banyak orang. Butuh waktu lama untuk merehabilitasi kesehatan warga dan mengembalikan fungsi hutan dan mengembalikan keseimbangan alam. Dibutuhkan cendekiawan Muslim untuk dapat membaca situasi kekinian agar umat tidak terjerumus dalam kerusakan yang semakin dalam. Tentu saja harus pula didukung oleh sistem kenegaraan yang kompeten. Sistem Negara warisan Rasulullah Saw, yakni Khil4f4h Islamiyah.

Negara yang didasarkan pada Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasulullah Saw. akan memprioritaskan kebijakannya untuk melindungi umat dari kerusakan. Hutan dan kekayaan alam lainnya adalah milik Allah, dan pemimpin bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya. Pejabat yang terdidik dengan pola pendidikan Islam akan menunaikan tanggung jawabnya dengan sebaik-baiknya.

Para pemimpin dan pejabat negara yang bertakwa akan menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dapat mencelakai diri sendiri dan orang lain. Dengan ketakwaaannya, seorang individu tidak akan pernah melakukan suap, korupsi, dan tindakan keji lainnya hanya untuk merampas harta orang lain dan menuruti hawa nafsunya. Dengan terbentuknya kontrol tiap individu, para pejabat akan bekerja dengan profesional. Mereka akan mengawasi aktivitas perusahaan-perusahaan dengan baik. Negara pula akan tegas memberi hukuman pada mereka yang terbukti berbuat curang dengan sanksi tegas yang menjerakan. Maka tidak akan pernah terjadi kolaborasi jahat antara korporasi dan pembuat kebijakan seperti saat ini, yang menjadi penyebab terus berulangnya bencana karhutla.

Wallahua’lam bi ash-Shawaab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *