IWD: Apa Relevansinya untuk Kemaslahatan Muslimah?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh :    Ummu Farzana (Pegiat Literasi)

 

International Women’s Day (IWD), tanggal 8 Maret selalu ditandai dengan perayaan rutin tahunan, aksi unjuk rasa dan protes yang diselenggarakan di hampir seluruh dunia termasuk di negeri-negeri muslim.  Tujuannya, untuk merayakan prestasi yang dicapai oleh perempuan secara global, serta seruan untuk bertindak untuk memajukan kesetaraan gender dalam masyarakat. Pada tahun 2021 ini tema yang diangkat adalah “Women in Leadership: Achieving an Equal Future in a COVID-19 World”.

 Konsepsi “kesetaraan gender” yang menyerukan penyetaraan hak, peran, dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat disajikan seolah menjadi ramuan yang harus diteguk. Harapannya, bisa menyelamatkan perempuan dari kondisi yang mengerikan, memperbaiki kualitas hidupnya, melindungi dan menjamin hak perempuan. Namun, benarkah konsep ini bisa memberi kemaslahatan bagi perempuan? Menyelamatkan perempuan dari ketertindasannya?

Tidak Pernah Memberi Solusi

Sepanjang sejarahnya, pesan yang dipropogandakan dalam peringatan IWD adalah kesetaraan bagi perempuan, mengeluarkan perempuan dari keterpurukan dengan menuntut hak-hak perempuan untuk dapat memiliki kebebasan menentukan nasibnya sendiri.

PBB dalam laman resminya menerangkan bahwa IWD adalah waktu untuk merefleksikan kemajuan yang telah dicapai. Mereka berkelekar bahwa dunia telah membuat kemajuan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Namun juga mengakui bahwa tidak ada negara yang mencapai kesetaraan gender seutuhnya. Disampaikan bahwa masih ada pembatasan hukum yang berpotensi menjegal 2,7 miliar perempuan mengakses pilihan pekerjaan yang sama dengan laki-laki, Kurang dari 25 persen anggota parlemen adalah perempuan, pada 2019, dan satu dari tiga perempuan masih mengalami kekerasan berbasis gender (www.un.org).

Di Indonesia, pengarusutamaan isu gender semakin deras dengan diratifikasinya CEDAW oleh pemerintah Indonesia sejak lebih dari 30 tahun dalam UU No. 7 tahun 1984. Sepuluh tahun kemudian, pemerintah Indonesia bersama 179 negara menyetujui untuk mengadopsi program aksi 20 tahun dalam konferensi internasional kependudukan dan pembangunan di Kairo. Namun faktanya, kekerasan pada perempuan tidak kunjung berkurang bahkan setiap tahunnya jumlah kekerasan pada perempuan meningkat. Menurut komisioner komnas perempuan, pada tahun 2020 jumlah kasus kekerasan seksual pada perempuan meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun 2019 (mediaindonesia.com).

Ketika yang digaungkan kesetaraan gender yang landasannya nilai-nilai sekuler dan liberal, maka tidak mengherankan jika telah sampai pada pencapaian di ranah publik serta sejahtera dalam hal ekonomi, merasa berdaulat, tidak bergantung pada laki-laki. Bisa jadi ini yang penyebabkan kecenderungan perempuan yang menduduki posisi penting dalam lingkungan pekerjaan. Faktanya hal ini meningkatkan peluang perempuan untuk bercerai sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Rickne, professor Universitas Stockholm. “Perempuan yang menjadi pimpinan eksekutif perusahaan juga lebih cepat bercerai dibandingkan laki-laki dengan tingkat karier serupa,” Rickne, 2020 (www.bbc.com).

Sesungguhnya isu kesetaraan gender yang cenderung dalam setiap kampanyenya mempersalahkan budaya patriarki dan aturan-aturan agama terlebih Islam yang dianggap bias gender dan mengekang peremuan yang mengakar di negeri ini tidak lain justru nyatanya wujud ramuan yang mematikan. Perlu, disadari bahwa kondisi mengerikan perempuan hari ini disebabkan oleh pengaturan kehidupan dengan sistem kapitalisme dengan nilai sekuler liberal.

Lihatlah bagaimana pesan kampanye IMD yang berfokus pada kesetaraan perempuan yang berujung kehidupan lebih baik dan lebih bahagia melalui kebebasan berekspresi tidak pernah jelas standar baik dan bahagianya. Tidak pernah dalam pesan kampanye IWD menyeru tentang bagaimana peran strategis perempuan sebagai ibu generasi yang memiliki potensi besar untuk melahirkan dan mendidik generasi unggul yang berkontribusi dalam pembangunan peradaban. Generasi yang mampu membebaskan manusia dari segala bentuk penghambaan kepada manusia lain. Dengan demikian berbagai bentuk wacana dan aksi yang menggaungkan isu kesetaraan gender termasuk dalam kampanye IWD tidak ada relevansinya sama sekali bagi kemaslahatan muslimah.

Hanya Sistem Islam yang Memuliakan Perempuan

Peringatan IWD yang kebetulan masih berada di bulan Rajab ini menandai 100 tahun tanpa Khilafah. Sesungguhnya umat saat ini berada di babak yang mengerikan dalam sejarah manusia. Di mana perempuan dan anak merupakan korban terbesar karena mereka telah kehilangan perisai dan pelindung martabat, hak, dan kesejahteraannya.

Islam menempatkan perempuan dalam posisi terhormat dan mulia. Islam akan memastikan mereka mampu menjalankan peran utamanya untuk melahirkan, mengasuh, dan mendidik serta mencetaknya menjadi generasi pemimpin umat. Untuk memastikan hal tersebut, pemerintahan Islam (Khilafah) merumuskan serangkaian mekanisme kebijakan yang digali dari hukum-hukum syara’. Model penjagaan kehormatan perempuan dalam sistem pemerintahan islam bisa dikenal dengan “Model 4-Pertahanan”  (Negara-Keluarga-Individu-Masyarakat).

Model penjagaan ini dilandaskan pada relasi laki-laki dan perempuan sesuai dengan fitrahnya. Islam memposisikan laki-laki, dalam hal ini ayah atau suami sebagai qowwam (pemimpin) dalam keluarga. Penempatan posisi ini bukan didasarkan pada keinginan atau rasionalitas manusia yang sifatnya terbatas, melainkan didasarkan pada firman Allah SWT. dalam QS. An-Nisaa: 34 yang artinya, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Sebab Allah telah melebihkan sebagaian mereka (laki-laki) atas sebagaian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagaian dari harta-harta mereka.”

Dari landasan tersebut, negara akan menerapkan dan melaksanakan syariat Islam yang dengan sangat tegas berkaitan dengan penjagaan terhadap kehormatan perempuan dan keluarga. Aturan tersebut di antaranya adalah keharusan meminta izin ketika memasuki kehidupan khusus orang lain. Hal ini dimaksudkan agar perempuan tidak tampak auratnya oleh laki-laki yang bukan mahramnya. Aturan ini pun juga didasarkan pada firman Allah, yaitu QS. An-Nur: 27. Demikian pula keharusan meminta izin bagi anak-anak di tiga waktu tertentu yang telah ditetapkan oleh Islam dalam QS. An-Nuur: 58.

Hal ini dimaksudkan untuk melakukan penjagaan terhadap anak sehingga dapat terhindar dari melihat aurat ataupun hal-hal yang bisa berpengaruh bagi tumbuh kembahnya. Pun adanya aturan yang mewajibkan laki-laki dan perempuan untuk menurut aurat. Aurat laki-laki batasannya pusar hingga lutut, sedangkan aurat perempuan yang wajib ditutup adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya serta memakai pakaian sempurna (jilbab dan kedurung) saat keluar rumah (QS. An-Nuur: 31 dan QS. Al-Ahzab: 59). Bahkan syariat melarang perempuan untuk menampakkan kecantikan mereka (tabarruj) di depan laki-laki yang bukan mahramnya (QS. Al-Ahzab: 33).

Negara juga menjamin terlaksananya tugas utama perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga (ummu wa rabbatul bait). Untuk kepentingan itu, Islam menjauhkan perempuan dari lingkup tanggung jawab berat yang ada pada urusan pemerintahan. Hal ini dilakukan agar perempuan dapat menjalankan perannya secara optimal sehingga terjamin pula hak anak terkait pengasuhan dan pengawasan dari ibu.

Kemudian, ada mekanisme supaya perempuan tidak perlu bersusah payah untuk menjamin kehidupannya sendiri sehingga tereduksi peran yang hakikinya, Islam akan mewajibkan kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap perempuan dan anak-anak untuk memenuhi hak mereka dengan baik. Misal Islam mewajibkan suami atau para wali untuk mencari nafkah dan negara wajib menyediakan lapangan kerja atau bantuan modal.

Tidak cukup dengan hal tersebut, negara pun wajib menjamin keamanan dalam kehidupan publik agar saat perempuan keluar rumah untuk menunaikan kewajiban yang dibebankan padanya mereka mendapatkan ketenangan, jauh dari ancaman, dan terhindar dari gangguan apapun. Jaminan negera ini juga diperkuat dalam sistem pendidikan yang   berorientasi pada aqidah untuk membentuk kepribadian Islam. Dengan model pendidikan seperti ini akan menyiapkan para orang tua yang memahami hak dan kewajibannya serta mampu melaksanakan tanggung jawab masing-masing.

Negara juga memberlakukan hukum persanksian (uqubat) Islam. Harapannya setiap pelanggaran aturan akan dikenai sanksi sesuai ketentuan syariah dan kebijakan negara. Demikianlah, sejatinya penerapan Islam secara menyeluruh lah yang akan bisa menjadi solusi seluruh permasalahan perempuan. Wallahu a’lam bi showab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *