Islam, Sistem Sempurna Pembentuk Takwa

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Hamnah B. Lin

 

Bulan Ramadan segera tiba, rasa bahagia tak terkira, karena Ramadan bulan penuh ampunan dan bertaburnya pahala. Bulan yang tepat untuk bertaubat setelah 11 bulan melakukan maksiat, bulan yang harus di isi oleh ibadah. Intinya haram di bulan Ramadan melakukan kemaksiatan.

Wacana atau opini ini ada dalam masyarakat sekuler. Masyarakat yang dinaungi oleh sebuah aturan atau sistem yang sekuler. Sistem sekuler adalah sistem yang dijalankan oleh sebuah negara untuk membuat seluruh kebijakan-kebijakannya dalam rangka mengatur rakyatnya, dengan dasar pemisahan Agama dari kehidupan. Agama tidak boleh hadir untuk mengatur urusan manusia, Allah SWT tidak berhak mengatur urusan kehidupan ini, meski negara itu mayoritas rakyatnya beragama (red: Islam), Agama hanya hadir dalam bulan-bulan tertentu, dalam moment-moment tertentu.

Seperti kebijakan baru-baru ini menjelang Ramadan, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menegaskan, selama bulan Ramadan 2021 siaran televisi diperketat. Lembaga penyiaran diminta untuk tidak menampilkan muatan yang mengandung lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), hedonistik, mistik/horor/supranatural, praktik hipnotis atau sejenisnya. KPI juga mengimbau untuk tidak menampilkan muatan yang mengeksploitasi konflik dan/atau privasi seseorang, bincang-bincang seks, serta muatan yang bertentangan dengan norma kesopanan dan kesusilaan. Semua itu dilakukan untuk menghormati nilai-nilai agama serta meningkatkan moralitas masyarakat.
Hal itu termuat dalam salah satu panduan lembaga penyiaran dalam bersiaran pada saat Ramadhan 2021. Panduan itu termaktub dalam Surat Edaran Nomor 2 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Siaran Pada Bulan Ramadan. ( https://www.google.com/amp/s/deskjabar.pikiran-rakyat.com/nasional/amp/pr-1131663305/ramadhan-2021-siaran-televisi-diperketat-salah-satunya-tidak-menampilkan-lgbt-hingga-mistik )

Patut kita apresiasi apa yang menjadi kebijakan KPI, sebagai upaya mengontrol siaran televisi selama bulan Ramadan. Dalam hal ini, umat Islam turut senang dengan keputusan tersebut. Itu berarti masih ada usaha untuk mencegah kemaksiatan dan kemungkaran terjadi selama Ramadan. Hanya saja, pelarangan konten-konten elgebete dan muatan negatif yang bertentangan dengan nilai agama yang hanya dilakukan saat Ramadan saja menunjukkan betapa negeri ini masih terikat erat dengan akidah sekularisme. Larangan bermaksiat seolah hanya berlaku di bulan tertentu yakni bulan Ramadan.

Padahal, ketakwaan tidak dibangun hanya dengan sebulan berpuasa atau sehari beribadah. Ketakwaan dibangun sejak seorang hamba berikrar tiada Illah kecuali Allah Swt. Tidak ada yang patut disembah dan ditaati selain Allah Swt. Makna Laa Ilaaha Illallah ini tereduksi tersebab pemikiran sekuler yang menjalar dalam kehidupan umat.
Ibadah Ramadan bukan momen ketaatan insidental. Sebulan takwa, setelah hari raya kembali ke perbuatan semula. Allah memberi kesempatan emas setahun sekali untuk merasakan nikmatnya ibadah agar kita menjadi orang-orang bertakwa sebagaimana yang disebutkan dalam surah Al-Baqarah ayat 183, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Tujuan Ramadan adalah takwa. Menurut Tafsir Ibnu Katsir, takwa adalah menaati Allah Swt. dan tidak bermaksiat kepada-Nya. Senantiasa mengingat Allah Swt. serta bersyukur kepada-Nya tanpa ada pengingkaran (kufur) di dalamnya. Begitu pentingnya takwa, Al-Qur’an menyebutnya sebanyak 259 kali dengan beragam makna.
Takwa dalam Al-Qur’an memiliki tiga makna. Pertama, takut kepada Allah dan pengakuan atas superioritas Allah dengan segala kuasa-Nya. Seperti firman Allah dalam Surat Al Baqarah ayat 41, “Dan hanya kepada-Kulah kamu harus bertakwa.”

Kedua, taat dan beribadah kepada Allah. Hal ini sesuai perintah Allah dalam surat Ali Imran ayat 102 yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” Ibnu Abbas berkata, “Taatlah kepada Allah dengan sebenar-benar ketaatan.”

Ketiga, pembersihan diri dari dosa. Ibnu Qayyim Al Jauziyyah berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya seorang hamba hanyalah mampu melalui tahapan-tahapan perjalanan menuju (rida) Allah dengan hati dan keinginannya yang kuat, bukan (cuma sekedar) dengan (perbuatan) anggota badannya. Dan takwa yang hakiki adalah takwa (dalam) hati dan bukan takwa (pada) anggota badan (saja). Hal ini sesuai perintah Allah dalam surat Al Hajj ayat 32 yang artinya, “Demikianlah (perintah Allah), dan barang siapa yang mengagungkan syiar-syiar (perintah dan larangan) Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan (dalam) hati.”

Ketakwaan sendiri tidaklah muncul tiba-tiba dalam diri manusia, namun butuh proses panjang untuk menumbuhkannya hingga menjaganya agar takwa senantiasa ada dalam kondisi apapun, dalam situasi apapun. Maka, jika memang ada keinginan kuat agar kaum muslimin benar-benar mampu mempertahankan ketaatan hingga meraih ketakwaan, mestinya pelarangan konten dan muatan yang bertentangan dengan ajaran Islam harusnya dilakukan sepanjang kehidupan.

Satu bulan mulia adalah proses melatih ketaatan, maka sebelas bulan berikutnya adalah pembuktian ketaatan dengan terus istikamah menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah Ta’ala. Bagaimana mau istikamah taat bila selepas Ramadan, konten maksiat kembali bertebaran. Oleh karena itu, membangun ketaatan totalitas dan ketakwaan permanen, dibutuhkan sebuah sistem yang benar-benar mendukung suasana iman tersebut. Karena akidah sekuler hanya menempatkan iman dan takwa secara temporal. Maka mewujudkan takwa itu haruslah secara sistematis. Yaitu, negara, pemimpin, masyarakat, dan individunya bertakwa.

Bagaimana mekanisme negara mewujudkan takwa dan suasana ibadah Ramadan? Berikut tahapannya:
Pertama, melakukan pembinaan terhadap individu dengan akidah Islam. Dengan pembinaan yang berbasis ideologi Islam, akan terbangun kesadarannya mengapa harus beriman dan taat sepenuhnya kepada Allah Ta’ala. Tugas pembinaan ini bisa dilakukan oleh kelompok/jamaah Islam atau masyarakat. Bisa juga dilakukan negara secara langsung melalui sistem pendidikan dengan kurikulum berbasis akidah Islam.

Kedua, melakukan kontrol dan pengawasan terhadap media. Media dalam negara berfungsi sebagai alat kontrol dan sarana syiar dakwah Islam. Media memiliki peran politis dan strategis sebagai penjaga umat dan negara dari muatan yang merusak keimanan dan pemikiran umat.

Media bertugas menyaring informasi yang berbau maksiat. Seperti konten pornografi, pornoaksi, umbar aurat, seks bebas, gaya hidup hedonis kapitalistik, serta pemikiran sesat yang bertentangan dengan Islam. Dengan begitu tontonan dan tayangan yang ditampilkan adalah tampilan yang menumbuhkan ketaatan, suasana iman, semangat ibadah, serta dorongan berdakwah.

Ketiga, menerapkan sistem Islam secara menyeluruh. Yakni melalui sistem politik, ekonomi, pendidikan, dan sistem sosial yang sesuai syariat Islam. Dengan sistem sosial Islam, pergaulan, aurat, dan interaksi dengan lawan jenis akan terjaga.

Keempat, memberlakukan sistem sanksi yang tegas. Sistem sanksi diterapkan jika masih ada masyarakat yang melakukan kemaksiatan dan melanggar syariat. Berlakunya sistem sanksi Islam akan memberi efek jera bagi pelaku sekaligus sebagai penebus dosa.

Sanksi jera ini mengandung hikmah bagi masyarakat. Jika ingin melanggar/bermaksiat, mereka akan berpikir seribu kali jika tidak ingin bernasib sama seperti pelaku maksiat yang sudah dihukum. Dengan begitu, angka maksiat dan kriminalitas dapat diminimalisir.

Tahapan ini hanya bisa dilakukan oleh negara yang menggunakan sistem/aturan Islam, bukan negara yang menggunakan sistem sekuler seperti sekarang. Adalah Khilafah, nama Sistem pemerintahan yang menggunakan Islam sebagai dasar dalam mengatur negaranya. Sistem pemerintahan Islam adalah wajib, tuntutan syara’ dan pernah diterapkan oleh Rasulullah saw., para Khulafaurasydin, hingga para Khalifah sesudahnya dan berjalan selama 1.300 tahun.

Sungguh turut memperjuangkan tegaknya Syariat/Sistem Islam adalah puncak ketakwaan yang paling tinggi. Maka, mari bersama kita bergandengan tangan meraih ketakwaan sejati dengan mewujudkan Sistem dari Ilahi Rabbi, yakni Sistem Islam pembentuk ketakwaan sejati.

Wallahu a’lam bisshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *