Islam Mengakhiri Gurita Korupsi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Irma Setyawati, S.Pd ( Pemerhati masalah sosial politik)

Dilansir dari  KOMPAS.com – Satu lagi menteri di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang terjerat kasus dugaan korupsi yakni Menteri Sosial Juliari P Batubara (JPB). Juliari menjadi menteri keempat yang tersandung kasus dugaan korupsi terhitung sejak periode pertama kepemimpinan Presiden Jokowi (2014-2019).

Dua orang lainnya yakni eks Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi serta eks Menteri Sosial Idrus Marham, merupakan menteri Jokowi di Kabinet Kerja, yakni pada periode 2014-2019. Di periode kedua (2019-2024), menteri Jokowi yang terjerat yaitu Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Penangkapan Edhy tak berselang lama dari kasus yang menjerat Juliari.

Keempat menteri tersebut berasal dari partai politik. Adapun Idrus merupakan kader Partai Golkar dan Imam merupakan kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Kemudian, Edhy adalah kader Partai Gerindra dan Juliari adalah politikus PDI Perjuangan.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, praktik politik uang atau money politic akan tetap ada, baik dalam sistem pemilihan umum langsung atau tidak langsung.

“Kalau pilihan langsung kepada rakyat itu money politic-nya eceran, kalau lewat DPRD itu borongan. Kita bayar ke partai, selesai. Kalau ke rakyat seperti sekarang ya, bayar ke rakyat pakai amplop satu per satu,” ujar Mahfud MD dalam diskusi daring “Pilkada dan Konsolidasi Demokrasi Lokal”, Sabtu (5/9/2020).

Menurut Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo menilai tingginya biaya politik menjadi salah satu penyebab demokrasi Indonesia prosedural dan transaksional. Untuk menjadi seorang bupati saja harus mengeluarkan uang puluhan miliar dan menjadi gubernur ratusan miliar.(Republika.co.id)

Ketua MPR Zulkifli Hasan menilai salah satu masalah pelik Indonesia sampai saat ini yakni korupsi yang masih merajalela. Masih banyaknya perilaku koruptif itu, berkaitan erat dengan sistem demokrasi yang berbiaya tinggi.(Detik.com)

Walhasil, sebenarnya sistem demokrasi lah sumber munculnya korupsi, karena penguasa yang terpilih dalam sistem demokrasi adalah hasil dari suara terbanyak yang diperolah dari hasil gelaran pesta demokrasi yang berbiaya mahal. Sebab, untuk maju dalam pemilu dan untuk dapat suara terbanyak para calon penguasa harus membayar mahar ke partai dan juga ke rakyat untuk membeli suara rakyat yang nilainya tidak kecil.

Dan darimana para calon penguasa dapat modal untuk maju kalau tidak diperoleh dari mencari bantuan dari para pemilik modal, dalam hal ini dari para pengusaha. Maka wajar jika calon penguasa menang dan berkuasa, maka dia harus mengembalikan modal-modal yang di pinjamnya tersebut. Dari situlah pintu korupsi terbuka lebar.

Demikianlah konsep kepemimpinan dalam sistem demokrasi kapitalis  yang hanya bertujuan meraih kekuasaan. Dan kekuasaannya pun sangat jauh dari kata“ mensejahterakan dan menguntungkan rakyat”, yang ada malah sebaliknya  menguntungkan para pengusaha yang memodali mereka.

Ini sangat berbeda dengan konsep kepemimpinan dalam Islam. Dalam Islam kepemimpinan dijalankan dalam rangka beribadah kepada Allah SWT.

”Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari).

Rasulullah SAW telah memerintahkan seorang penguasa untuk mencurahkan segenap tenaganya dalam menjalankan tanggung jawab umat dan menjaga rakyat, bahkan beliau mengancam para pemimpin yang melalaikan kewajiban ini.

Sebagaimana hadits  dari Ma’qil bin Yasar RA berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda,

“Tidaklah seorang hamba yang dibebani Allah untuk mengurusi rakyatnya dan dia tidak membatasinya dengan nasihat melainkan dia tidak mendapatkan bau surga”. (HR. Bukhori).

Begitu pula pejabat-pejabat yang diangkat dalam sistem Islam, karena tugas mereka hanya melaksanakan kitabullah dan sunnah Rasul-Nya bukan melegalisasi undang-undang seperti dalam sistem demokrasi kapitalis, maka kepemimpinannya tidak menjadi sesuatu yang di perebutkan.

Dalam sistem Islam syarat menjadi kepala daerah dan pemilihan anggota Majelis Ummah/Majelis Wilayah cukup sederhana, syaratnya cukup berkualitas dan amanah, sehingga tidak berbiaya tinggi. Karenanya pemilihan dan pengangkatannya akan mendapatkan kandidat yang betul-betul berkualitas, amanah dan mempunyai kapasitas serta siap melaksanakan Alquran dan Sunnah.

Dari sinilah, maka secara mayoritas pejabat Negara tidak melakukan kecurangan, baik korupsi, suap maupun yang lain. Sekalipun demikian tetap ada perangkat hukum yang telah disiapkan untuk mengatasi kecurangan yang dilakukan oleh pejabat/pegawai negara.

Dalam Islam terdapat larangan keras menerima harta ghulul, yaitu harta yang diperoleh para wali (gubernur), para amil (kepala daerah setingkat walikota/bupati) dan para pegawai Negara dengan cara yang tidak syar’i, baik diperoleh dari harta milik Negara maupun harta milik masyarakat. Pejabat akan memperoleh gaji/tunjangan. Selain itu harta-harta yang diperoleh karena memanfaatkan jabatan dan kekuasaanya seperti suap, korupsi maka termasuk harta ghulul atau harta yang diperoleh secara curang.

Harta yang diperoleh dengan cara ghulul tidak bisa dimiliki dan haram hukumnya, firman Allah SWT di dalam QS. Ali Imran: 161 :

“……Barangsiapa yang berkhianat) dari harta ghanimah sedikitpun, (maka pada hari kiamat ia akan datang) membawa apa yang dikhianatkannya itu pada leher-pundaknya, (kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan kecurangannya) setimpal, (sedang mereka tidak dianiaya) tidak dikurangi kebaikannya dan tidak ditambah keburukannya”

Termasuk ghulul adalah korupsi, yaitu harta yang diperoleh para wali (gubernur), para amil (kepala daerah setingkat walikota/bupati) dan para pegawai Negara dari harta –harta Negara yang di bawah pengaturan (kekuasaan) mereka untuk membiayai tugas pekerjaan mereka, atau (yang seharusnya digunakan) untuk membiayai berbagai sarana dan proyek, ataupun untuk membiayai kepentingan Negara dan kepentingan umum lainnya.

Berkaitan dengan harta, maka calon pejabat/pegawai negara akan dihitung harta kekayaannya sebelum menjabat. Selanjutnya saat menjabatpun selalu dihitung dan dicatat harta kekayaan dan penambahannya. Jika ada penambahan yang meragukan, maka diverifikasi apa ada penambahan hartanya itu secara syar’i atau tidak. Jika terbukti dia melakukan kecurangan/korupsi, maka harta akan disita, dimasukkan kas negara dan pejabat/pegawai tersebut akan diproses hukum.

Khalifah Umar bin Khatthab pernah membuat kebijakan, agar kekayaan para pejabatnya dihitung, sebelum dan setelah menjabat. Jika bertambah sangat banyak, tidak sesuai dengan gaji selama masa jabatannya, maka beliau tidak segan-segan untuk menyitanya.

Rasulullah pernah menyita harta yang dikorupsi pegawainya. “Nabi pernah mempekejakan Ibn Atabiyyah, sebagai pengumpul zakat. Setelah selesai melaksanakan tugasnya Ibn Atabiyyah datang kepada Rasulullah seraya berkata: “Ini kuserahkan kepadamu, sedangkan harta ini adalah yang diberikan orang kepadaku…lalu Rasulullah bersabda: Seorang pegawai yang kami pekerjakan, kemudian dia datang dan berkata: “Ini kuserahkan kepadamu, sedangkan harta ini adalah yang diberikan orang kepadaku. Apakah tidak lebih baik dia duduk (saja) di rumah bapak/ibunya, kemudian dapat mengetahui apakah dia diberi hadiah atau tidak. Demi Dzat yang nyawaku ada di tanganNya, salah seorang dari kalian tidak akan mendapatkan sedikitpun dari hadiah itu, kecuali pada hari kiamat dia akan datang dengan membawa unta di lehernya…(HR. Bukhari-Muslim)

Penerapan aturan haramnya korupsi dan sanksi yang keras. Khilafah Islam  juga menetapkan aturan haramnya korupsi/suap/kecurangan. Hukuman yang keras, bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.

Inilah cara yang dilakukan oleh Khilafah Islam untuk membuat jera pelaku korupsi/suap/kecurangan dan mencegah yang lain berbuat. Berdasarkan laporan bahwa ada kecurangan, Khalifah Umar kemudian membagi kekayaan Abu Hurairah (Gubenur Bahrain), Amru bin Ash (Gubenur Mesir), Nu’man bin Adi (Gubenur Mesan), Nafi’ bin Amr al-Khuzai (Gubenur Makkah), dan lain-lain. Pada zamannya, beliau juga melarang para pejabat berbisnis, agar tidak ada konflik kepentingan. Khalifah Umar juga pernah menyita kekayaan Abu Sufyan dan membagi dua, setelah Abu Sufyan berkunjung ke anaknya Muawiyah-saat itu menjadi gubernur Syam.( Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Khilafah, hlm.123).

Allahu a’lam.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *