Impor Beras Makin Deras, Kedaulatan Pangan Makin Kandas

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Impor Beras Makin Deras, Kedaulatan Pangan Makin Kandas

Bunda Erma

(Pemerhati Kebijakan Pangan)

Perum Bulog menyampaikan, pemerintah telah menugasi pihaknya untuk mengimpor beras atau dalam hal ini sudah memberikan kuota importasi beras sebanyak 2 juta ton sebagai upaya antisipasi, mengingat dampak El Nino masih akan terasa hingga tahun 2024 ini. (cnbcindonesia.com, 5 Januari 2024)

Mengutip pernyataan Presiden Joko Widodo, bahwa Indonesia membutuhkan impor beras karena sulit untuk mencapai swasembada. Terlebih menurutnya jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah dan kebutuhan beras semakin meningkat.

Impor seolah menjadi langkah wajib pemerintah dalam mencapai swasembada pangan, di tengah harga beras yang masih tinggi, yakni beras premium tembus Rp15.000 per kg dan beras medium mepet Rp14.000 per kg.

Kondisi ini menunjukkan bahwa negeri ini gagal mewujudkan swasembada pangan. Padahal Indonesia dikenal dengan negara agraris dengan lahan pertanian yang luas dan yang mayoritas mata pencahariannya adalah petani. Namun, negeri ini seperti hilang kendali dalam menyelamatkan pangan dalam negeri. Pasalnya, impor dilakukan saat panen raya. Pemerintah seperti tidak ada rancangan besar mewujudkan kemandirian pangan. Padahal impor pangan dapat mematikan kemandirian negara dan menguatkan ketergantungan negara kepada negara luar. Bahkan lebih parahnya lagi, kebijakan impor beresiko menguatkan penjajahan ekonomi. Sejatinya impor beras menjadi solusi pragmatis persoalan beras hari ini, dan bukan solusi mendasar. Bahkan menjadi cara praktis untuk memperoleh keuntungan.

Inilah dampak dari kebijakan yang berkiblat pada sistem ekonomi kapitalis liberal yang diterapkan negeri ini. Sistem ini mengaruskan kegiatan perekonomian pada pasar bebas dan perdagangan bebas. Sebagai negara yang terikat dengan Word Trade Organisation (WTO), Indonesia harus menjalankan ketentuan perdagangan bebas. Kebijakan impor beras sejatinya memandulkan negara dalam mewujudkan swasembada pangan.

Sebagai negara agraris, seharusnya negara berusaha mewujudkan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan dengan berbagai langkah solutif dan antisipatif. Termasuk menyediakan lahan di tengah banyaknya alih fungsi lahan, berkurangnya jumlah petani dan makin sulitnya petani mempertahankan lahannya.

Namun kondisi ini mustahil akan bisa terealisasi selama paradigma kapitalisme masih menjadi ukuran penguasa negeri ini dalam membuat kebijakan pangan.

Sangat berbeda dengan Islam. Kebijakan impor bukan solusi dalam memenuhi pangan dalam negeri. Meski Islam tidak melarang impor, sebagai sebuah ideologi Islam mengharuskan negara sebagai institusi kuat dan adidaya, termasuk dalam bidang pangan. Islam juga mengatur kerjasama dengan negara lain tanpa ada ketundukan dalam bentuk apapun.

Untuk mewujudkan kemandirian pangan, Islam menjadikan negara sebagai pihak yang bertanggungjawab menyediakan kebutuhan pokok termasuk makanan. Oleh karena itu, negara Islam akan melakukan berbagai jalan agar terwujud kedaulatan pangan. Negara Islam akan mengoptimalkan produksi pangan berkualitas dalam negeri. Upaya yang bisa dilakukan untuk mewujudkannya adalah dengan ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian.

Ekstensifikasi bisa dilakukan dengan menghidupkan tanah mati. Sementara intensifikasi dilakukan dengan peningkatan kualitas bibit, pupuk dan alat-alat produksi dengan teknologi terkini.

Negara tidak akan membiarkan terjadi praktik jual beli yang diharamkan syariat. Seperti penimbunan, penipuan, praktik riba dan monopoli. Hal ini dilakukan untuk menciptakan mekanisme pasar yang sehat. Kebijakan pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply (penawaran) dan demand (permintaan) bukan dengan kebijakan pematokan harga.

Negara pun juga akan menyimpan cadangan lebih saat panen raya. Hal ini untuk mengantisipasi adanya kondisi berkurangnya stok pangan saat terjadi paceklik atau gagal panen, seperti dampak El Nino. Distribusi secara selektif akan dilakukan oleh negara bila ketersediaan pangan berkurang.

Negara juga akan mengatur kebijakan ekspor impor antar negara yang merupakan bentuk perdagangan luar negeri. Ekspor bisa saja dilakukan jika seluruh rakyat terpenuhi kebutuhan pokoknya. Adapun impor, hal ini berkaitan dengan perdagangan luar negeri. Aspek yang dilihat dalam perdagangan luar negeri adalah pelaku perdagangan, bukan barang yang diperdagangkan. Negara mendukung terjadinya fasilitas dan teknologi mutakhir bahkan untuk mengantisipasi perubahan cuaca ekstrim, negara akan mendorong pengadaan teknologi yang mampu memproduksi pangan tanpa bergantung pada cuaca.

Inilah langkah-langkah strategis negara Islam dalam mengatasi persoalan pangan. Dengan kebijakan yang sistematis dan berlandaskan syariat Islam sangat kecil kemungkinan bagi negara menggantungkan diri pada impor, terlebih untuk pangan yang menjadi kebutuhan pokok bagi rakyat.

Wallahu’alam bish-shawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *