Hiruk pikuk pilpres 2024

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh Aisyah Yusuf (Pendidik generasi dan Aktivis Subang)

 

Masalah Covid-19 belum juga teratasi, dan entah sampai kapan masalah ini berakhir. Namun kini pemerintah malah disibukkan dengan masalah pilpres 2024 yang masih sangat jauh.

Demi lancarnya misi tersebut, beberapa lembaga survei pun bermunculan, hanya untuk menyurvei siapa bakal calon presiden dan wakil presiden yang memiliki rating tertinggi di mata masyarakat. Mulai dari lembaga survei parameter politik, lembaga survei Puspoll, Indikator Politik dan Saiful Mujani Research and Consulting.

Menurut sejumlah survei yang dilakukan (anonim) Ganjar pranowo lebih unggul dari Puan Maharani.
Sebab, popularitas, akseptabilitas dan elektabilitas Ganjar jauh berada di atas Puan, bahkan hasil survei tersebut menyebutkan bahwa Ganjar lebih pantas jadi capres maupun cawapres. Begitulah pemilihan presiden (baca: pemimpin) dalam sistem demokrasi, seolah-olah kriteria pemimpin hanya dilihat dari popularitas, akseptabilitas dan elektabilitas saja. Padahal sudah sering disodorkan kepada kita berulang-ulang calon pemimpin yang memiliki kriteria tersebut dengan bagus, tapi nyatanya berulang kali pula rakyat dibohongi dengan kriteria tersebut setelah mereka menjadi pemimpin.

Perlu dipahami, Demokrasi adalah sistem pemerintahan berdasarkan suara mayoritas. Begitupun dalam pemilihan wakil rakyat yang masih ditentukan oleh banyaknya suara, tanpa pandang bulu. Maksudnya adalah suara yang koruptor dan pendakwah Dimata sistem ini sama, suara orang gila dan suara orang waras sama.

Namun, demokrasi dalam makna yang sesungguhnya adalah gagasan utopis (ide khayali) yang tidak mungkin bisa dipraktekkan.

Hal tersebut bisa kita lihat, bagaimana seorang kepala negara sebenarnya bukan dipilih oleh suara mayoritas, akan tetapi oleh suara minoritas, yakni para wakil rakyat yang selingkuh dengan para kapitalis yang duduk di kursi wakil rakyat.

Sebab para kapitalislah yang membiayai proses pemilihan presiden dan anggota parlemen. Dengan begitu mereka nemiliki pengaruh besar atas presiden.

Sayangnya, para calon pemimpin ini hanya bisa mengumbar janji-janji palsu dan mencari simpatik rakyat sebelum pemilihan. Namun setelah mereka terpilih, mereka lupa dengan semua janjinya, suara rakyat sudah lagi tak didengar, yang ada mereka hanya tunduk pada para pengusung modalnya (baca: para kapitalis). Dengan demikian naasnya, rakyat harus kembali gigit jari.

Hal ini berbeda dengan Islam. Pemimpin atau khalifah diangkat oleh kaum muslimin, sebab khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan dan penerapan hukum syara. Dalam Islam, ketika seorang pemimpin itu wafat atau sudah tidak berkemampuan untuk memimpin karena sakit parah yg tak kunjung sembuh, maka digantikan oleh pemimpin baru dengan cara pembaiatan, dan tentunya harus sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan syara.

Adapun syarat-syarat tersebut adalah :

1. Laki-laki.

Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.
“Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan”. (HR. Al Bukhari)

Jelas sekali Allah dan Rasulnya tidak membolehkan seorang perempuan sebagai pemimpin atau khalifah.

2. Muslim

Sebagaimana Allah berfirman:

“Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang mukmin”. (TQS. An-nisa : 141)

3. Baligh
Seorang pemimpin haruslah orang yang sudah baligh.

Seperti dalam sabdanya.

“Telah diangkat pena(beban hukum) dari tiga golongan, anaka-anak hingga ia baligh, orang yang tidur hingga ia bangun, dan dari orang yang rusak akalnya hingga ia sembuh”. (HR. Abu Daud)

4. Berakal

5. Adil

6. Merdeka
Jika seorang pemimpin itu seorang hamba sahaya yang memiliki tuan, bagaimana ia akan mengurusi rakyatnya, untuk mengurusi urusan nya saja tidak memiliki kewenangan, misalnya seperti petugas partai.

7. Mampu
Seorang khalifah atau pemimpin itu haruslah orang yang memiliki kemampuan untuk nenjalankan amanah kekhilafahan.

Selain dari itu, seorang pemimpin dalam Islam haruslah orang yang bertaqwa kepada Allah dan Rasulnya.

Dalam kedua hal tersebut, yang menjadi permasalahan saat ini adalah, bukan hanya pada sosok pemimpinnya saja, akan tetapi sistem apa yang diemban saat ini.

Oleh karenanya, jika sistem yang diembannya rusak, maka rusak pulalah pemimipinnya, begitupun sebaliknya, jika sistemnya benar dan pemimpinnya rusak maka akan tetap rusak.

Dengan demikian saatnyalah kita ganti keduanya, ganti sistem rusak dengan sistem Islam, ysng mana akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang bertaqwa.

Wallahu a’lam bishshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *