Dirty Vote, Catatan Merah Demokrasi  

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Dirty Vote, Catatan Merah Demokrasi

Chusnatul Jannah 

Kontributor Suara Inqilabi

“Sebenarnya ini bukan rencana atau desain yang hebat-hebat amat. Skenario seperti ini dilakukan oleh rezim-rezim sebelumnya di banyak negara dan sepanjang sejarah. Karena itu, untuk menyusun dan menjalankan skenario kotor seperti ini, tak perlu kepintaran atau kecerdasan. Yang diperlukan cuma dua, yakni mental culas dan tahan malu.” (Bivitri Susanti, Ahli Tata Hukum Negara, Pelakon Film Dokumenter Dirty Vote)

Kemunculan film yang dirilis pada 11 Februari 2024 mengguncang seantero negeri. Pasalnya, film yang berkonsentrasi pada dugaan kecurangan pemilu 2024 ini dianggap merugikan salah satu paslon capres-cawapres. Film dokumenter ini disutradarai oleh Dandhy Laksono dan dibintangi oleh tiga Ahli Hukum Tata Negara, yakni Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari. Ketiganya memaparkan sejumlah data dan mengurai pelanggaran hukum pada Pemilu 2024 saat ini. Mereka juga menjelaskan potensi-potensi kecurangan berdasarkan kacamata hukum di Indonesia. (Tempo, 12-2-2024)

Tabiat Demokrasi

Menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan sudah menjadi tabiat dalam demokrasi. Sebab, sistem demokrasi tidak pernah menjadikan agama sebagai landasan dalam berpolitik. Yang ada, para pelakon demokrasi cenderung memisahkan agama dan politik, jika disatukan dianggap mempolitisasi agama. Akidahnya sekularisme, ideologinya kapitalisme. Fakta dan data yang digambarkan dalam Dirty Vote salah satu indikator betapa culasnya demokrasi.

Film ini berisikan berbagai skenario orang-orang berkuasa agar kekuasaannya terjaga, di antaranya: (1) memainkan narasi satu putaran yang digencarkan salah satu paslon; (2) mengendalikan perangkat desa dan dana desa, (3) eksploitasi bansos yang semula murni bantuan sosial malah mengandung unsur politis; (4) keberpihakan pejabat negara pada salah satu paslon; (5) proses di MK yang memuluskan jalan anak presiden mencalonkan diri sebagai cawapres.

Meski terindikasi kuat melanggar konstitusi, pada faktanya diterabas juga. Terlepas ada unsur politis atau tidak, film dokumenter Dirty Vote sesungguhnya mengonfirmasi beberapa hal bahwa demokrasi adalah sistem cacat. Apa indikatornya?

Pertama, demokrasi penuh intrik kecurangan. Mari kita berkaca pada Pilpres 2019. Kala itu dugaan kecurangan sangat menguat. Namun, pada akhirnya kecurangan tersebut dianggap angin lalu. Kecurangan juga kerap terjadi pada pemimpin hasil pemilu demokrasi. Kecurangan itu mewujud dalam tindak pidana korupsi yang dilakukan pejabat negara setelah meraih kursi kekuasaan. Lihat saja, korupsi makin ke sini makin menjadi.

Transparency International Indonesia (TII) merilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK) negara-negara di dunia tahun 2022. Hasilnya, IPK Indonesia anjlok empat poin dibandingkan 2021 lalu. Bila pada 2021, IPK Indonesia ada di skor 38 per 100 dan berada di peringkat ke-96, maka tahun ini skor RI ada di angka 34. Artinya, dari peringkat TII tahun 2022 lalu, Indonesia masih termasuk negara yang tingkat rasuahnya tergolong tinggi.

Selain itu, ongkos politik dalam pemilu demokrasi yang mahal juga menjadi pemicu perilaku korupsi. Korupsi tidak akan selesai dengan keberadaan KPK atau perangkat hukum yang ada. Selama demokrasi ada, korupsi dan kecurangan tidak akan mati.

Kedua, politik demokrasi yang kotor dan penuh keculasan. Segala cara dilakukan hanya demi mendapat kekuasaan, meski harus dengan mengubah UU untuk mengakomodasi kepentingannya. Itulah yang kerap dilakukan pejabat atau penguasa. UU diotak-atik sesuai selera penguasa. Suap menyuap menjadi “rutinitas” menjelang pencoblosan. Serangan fajar alias bagi-bagi amplop uang biasa terjadi menjelang hari H pemilu. Tiap lima tahunan kondisi ini sudah jadi fenomena yang ditoleransi masyarakat. “Ambil uangnya, jangan pilih orangnya”, adagium yang kerap kita dengar saat pesta lima tahunan ini seakan menjadi tradisi politik yang dimaklumi. Secara tidak langsung, penguasa sedang mengajari rakyat cara berpolitik yang kotor dan culas.

Ketiga, film tersebut membuka tabir mekanisme demokrasi memilih pemimpin sejatinya tidak akan lepas dari kepentingan dan politik transaksional. Setiap calon dan partai pendukung pasti memiliki tujuan dan kepentingan yang ingin diraih. Conflict of Interest ini akan tampak ketika mereka berhasil memenangkan kontestasi pemilu. Bagi-bagi kue kekuasaan, lawan menjadi kawan, musuh menjadi teman. Tidak ada kawan dan lawan, yang abadi hanyalah kepentingan. Bagaimana dengan rakyat? Rakyat hanya jadi bumper pendulang suara partai.

Perubahan Hakiki

Jika kita mau berpikir, perubahan hakiki sejatinya tidak bisa hanya dengan ganti pemimpin. Negeri ini sudah berkali-kali bongkar pasang pemimpin dari latar belakang yang berbeda, namun nasib rakyat tidak banyak berubah. Problematik mendasar seperti kemiskinan, kebobrokan pendidikan, hingga kesejahteraan masih belum terurai secara tuntas. Mengapa? Karena sistemnya masih sama, yakni kapitalisme demokrasi.

Ibarat mobil, sebagus apapun sopirnya, jika mobilnya sudah rusak, apakah bisa mengendarainya? Jelas tidak. Oleh karena itu, berharap perubahan hakiki dalam sistem demokrasi seperti jauh panggang dari api. Mustahil terwujud. Tidakkah kita lelah berkubang dalam lingkaran sistem demokrasi? Padahal ada sistem lebih baik yang dapat melahirkan pemimpin berintegritas, amanah, bertanggung jawab, dan tidak kalah penting pemimpin yang bertakwa pada Allah dan RasulNya.

Indonesia dan dunia membutuhkan sentuhan dan konsep Islam dalam bermasyarakat dan bernegara. Sebab, Islam bukan hanya agama ritual, tetapi ia adalah rahmat bagi semesta alam, bukan hanya untuk satu golongan.

Lantas, bagaimana mewujudkan perubahan hakiki di tengah-tengah umat? Pertama, melakukan pembinaan dan edukasi kepada umat baik secara personal (forum intensif) dan komunal (diskusi publik, seminar, dll) tentang sistem Islam secara kafah. Kedua, berinteraksi dengan masyarakat, membaur bersama mereka agar mudah menjelaskan apa dan bagaimana Islam mengatur kehidupan. Ketiga, menerapkan Islam secara menyeluruh dalam negara jika umat sudah bersatu dalam pemikiran, perasaan, dan rida diatur dengan aturan Islam.

Semua ini membutuhkan dakwah yang menyeru pada aktivitas amar makruf nahi mungkar, konsisten dalam kebenaran, dan bersabar dalam berjuang. Jika bukan Islam, adakah sistem lain yang bisa menyelamatkan kita dari kerusakan? Sudah saatnya kaum muslim berjuang menegakkan sistem Islam dengan mendakwahkan Islam sebagai solusi bagi problematik kehidupan.

Wallahu’alam bish-shawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *