DESA WISATA, ANCAMAN LIBERALISASI DI BALIK UPAYA PERTUMBUHAN EKONOMI

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

DESA WISATA, ANCAMAN LIBERALISASI DI BALIK UPAYA PERTUMBUHAN EKONOMI

Murni Supirman

 (Aktivis Dakwah)

 

Desaku yang kucinta, pujaan hatiku

Tempat ayah dan bunda, dan handai taulanku

Tak mudah kulupakan, Tak mudah bercerai

Selalu ku rindukan, desaku yang permai

 

Sepenggal lirik lagu ciptaan L Manik berjudul “Desaku” mungkin hanya akan menjadi kenangan untuk generasi yang akan datang yang sulit merasakan indahnya desa dengan suasana alami nan asri kini mulai diusik, dirusak dan dieksploitasi. Jejak keindahan dulu dan nanti mungkin akan dibayar mahal oleh anak cucu kita dikemudian hari. Ini sejalan dengan upaya pemerintah yang kembali mencanangkan program desa wisata. Hal ini disampaikan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno usai mengisi kuliah umum Blue Ocean Strategy Fellowship (BOSF) di sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada Ahad ( 18/2/2024). Beliau berujar akan menargetkan pembentukan 6.000 desa wisata selama tahun 2024 ini. Tujuannya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.

Beliau menjelaskan dari 80 ribu lebih desa di Indonesia, terdapat sekitar 7.500 desa yang memiliki potensi wisata.

“Desa yang memiliki potensi wisata itu sekitar 7.500 dan 80 persen itu sekitar 6.000 desa harus kita jangkau,” ujarnya.

Lebih lanjut Sandiaga juga menerangkan, dari 6.000 desa wisata tersebut nantinya mampu berkontribusi sekitar 4,5 persen terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) secara nasional. Bahkan menurutnya, ketika 6.000 desa wisata tersebut berhasil terwujud maka dipastikan akan ada penambahan sekitar 4,4 juta lapangan kerja di bidang ekonomi kreatif.

“Karena di desa itu lah generasi muda kita bisa menciptakan inovasi-inovasi, termasuk produk-produk kreatif yang akan menambah peluang desa wisata tersebut untuk meningkatkan kemampuan,” kata Sandiaga. (Republika.co.id)

Rencana pembentukan desa wisata bukanlah hal baru bahkan hal ini telah lama dicanangkan oleh pemerintah mengingat potensi wilayah yang strategis dengan kondisi iklim tropisnya, Indonesia memiliki hamparan daerah rural yang sangat luas dan indah. Hal ini tentunya menjadi angin segar pemerintah mencari peluang untuk membuka ruang secara mandiri bagi desa-desa yang berpotensi mendatangkan benefit bagi pemerintah. Untuk itu dimanfaatkanlah potensial alam desa untuk dieksplor sedemikian rupa dengan tujuan meningkatkan ekonomi nasional melalui desa wisata tanpa membaca dampak yang nantinya bisa ditimbulkan dari rencana ini.

Yang menjadi pertanyaan mengapa harus desa yang di sasar padahal banyak potensi lain yang bisa dikelola negara sebagai upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Mungkin Inilah bentuk gambaran rill kemalasan dan ketidak becusan sebuah negara. Padahal ada banyak potensi lain yang lebih strategis dimiliki negeri ini yang kaya akan sumber daya alamnya untuk dikelolah eh malah diberikan ke Asing dan Aseng untuk dikelola dan lebih fokus mengurusi hal-hal kecil di bidang pariwisata dan fokus menaikan pajak disegala lini. Sebab negara memang tidak lagi memiliki hak dalam mengelola SDA nya sendiri dikarenakan utang dan penjajahan melalui Undang-Undang. Parahnya lagi isu kemandirian dan pemberdayaan masyarakat dijadikan alasan bagi program ini hingga dipandang perlu direalisasikan. Alih alih ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang ada malah ancaman liberalisasi. Sebab, pariwisata sangat rentan dan lebih beresiko memicu dampak permasalahan sosial yang besar di tengah masyarakat bila dibandingkan keuntungan materinya. Seperti ancaman adanya liberalisasi dan eksploitasi alam berlebihan termasuk budaya dan gaya hidup yang kebanyakan datang dari peradaban dan pandangan barat.

Disisi lain sekalipun tujuan awal ingin membentuk kemandirian desa agar terwujud, hal itu tetap berpotensi mengundang investor untuk masuk melibatkan diri mengeksploitasi wilayah yang dipandang strategis. Ujung-ujungnya yang ada masyarakat kembali menjadi penonton dan pihak yang akan membayar objek wisata jika ingin menikmatinya tentu saja ini dapat menjerat desa pada akhirnya yang diuntungkan adalah pihak yang punya uang dan kuasa. Investasi ini jelas yang diuntungkan adalah pengusaha tersebut. Sementara rakyat dibiarkan dengan resiko-resiko yang membahayakan keberlangsungan hidupnya dengan keuntungan materi yang tak seberapa dibanding kerusakan moral dan sejenisnya.

Dalam Islam, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebagai bagian dari upaya meningkatkan pemasukan negara, penguasa justru lebih fokus mengoptimalisasi sumber daya strategis termasuk SDA yang dimiliki. Bukan malah fokus mengeksploitasi keindahan desa. Rasanya tidak nyambung dengan tujuan negara yang amat besar. Dengan sumber daya alam yang melimpah tentu hal ini akan memberikan hasil yang jauh lebih besar dibanding sibuk mengeksploitasi desa. Dalam sistem Islam, penguasa adalah ra’in bagi seluruh lapisan masyarakat oleh sebab itu pertumbuhan ekonomi tentu akan terasa sampai ke pelosok desa. Sekalipun nantinya negara harus melakukan eksplorasi di wilayah tertentu pastinya hal itu karena dipandang ada kemaslahatan di sana. Namun negara tetap menjaga lingkungan itu tetap asri dan nyaman untuk ditinggali tanpa biaya biaya layaknya dalam sistem kapitalisme. dengan begitu masyarakat akan terjaga kehidupannya serta terjamin pemeliharaannya oleh negara baik kebutuhan sandang, pangan dan papannya tanpa harus menggangu keindahan di berbagai pelosok desa.

Wallahu’alam bish-shawwab

 

 

 

 

 

 

 

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *