BIKIN GERAH, BILA SEJAHTERA DINILAI DENGAN RUPIAH.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Naely Lutfiyati Margia, Amd.Keb.

 

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengatakan, salah satu dampak pandemi Covid-19 yang dirasakan perempuan adalah meningkatnya pekerjaan yang tak berbayar. Selain itu, kekerasan berbasis gender juga turut meningkat. Hal tersebut karena masih kentalnya konstruksi sosial di masyarakat yang menempatkan perempuan lebih rendah daripada laki-laki. (Kompas 12/3/21)

“Dampak spesifik (akibat pandemi) yang sangat dirasakan perempuan antara lain meningkatnya pekerjaan tidak berbayar (unpaid-care work) dan risiko kekerasan berbasis gender,” ujar Bintang, dikutip dari siaran pers, Jumat (12/3/2021).

Sebagaimana kita ketahui bahwa pekerjaan tak berbayar yang dimaksud adalah pekerjaan domestik, alias pekerjaan rumahtangga. Seperti mencuci baju, mencuci piring, menyapu, beres-beres rumah dsb. Pekerjaan domestik dipandang sebagai kegiatan yang mungkin “kurang bermanfaat” karena tidak berbayar sehingga tidak mampu menyejahterakan wanita.

Belum lagi kesetaraan gender yang masih menjadi nilai universal yang diperjuangkan oleh semua orang, tanpa memandang suku, ras dan agama. Namun bila kita buka kembali sejarah, nilai-nilai kesetaraan gender bukanlah lahir dari pandangan manusia secara umum. Akan tetapi lahir dari pemikiran orang-orang Barat.

Saat itu kaum wanita di Eropa menyuarakan tentang ketidakadilan dan diskriminasi gender yang mereka rasakan. Diskriminasi yang terjadi di hampir semua aspek kehidupan, baik itu budaya, sosial, ekonomi, maupun politik. Kaum pria selalu menjadi prioritas, kalaupun wanita boleh berperan, wanita selalu menerima jauh lebih rendah dari pria. Belum lagi kekerasan fisik, pelecehan dan penghinaan yang dialami wanita kala itu.

Berangkat dari hal itu, lahirlah sebuah gerakan dari kaum wanita ataupun pria untuk menghapuskan perilaku bias gender dan menyamaratakan antara pria dan wanita. Tuntutannya sederhana, apabila pria boleh maka wanita juga boleh. Apabila pria bisa maka wanita juga bisa. Gerakan ini dikenal dengan feminisme.

Padahal bila dilihat dari segi fitrah, wanita dan pria adalah dua makhluk yang diciptakan berbeda. Berbeda secara fisik, logika, perasaan, fokus, sifat, tabiat, dsb. sehingga akan berbeda pula peran dan tanggungjawabnya dalam kehidupan. Maka tidak adil apabila menilai wanita dengan standar pria, begitupun sebaliknya.

Semua ini tidaklah lain karena sistem sekuler kapitalisme yang diterapkan saat ini. Sistem yang hanya berporos pada materi saja dan sangat menjungjung tinggi liberalisme. Sehingga wanita dieksploitasi untuk dapat bekerja seperti pria, dengan iming-iming kesejahteraan. Padahal kesejahteraan yang dijanjikan hanyalah semu.

Berbeda dengan Islam yang sangat memuliakan wanita maupun pria. Allah menciptakan wanita dan pria bukanlah untuk dikompetisikan dan diadu siapa yang lebih hebat, karena memang wanita dan pria memiliki fungsi yang berbeda.

Kaum pria berperan sebagai pemimpin dan kaum wanita berperan sebagai yang dipimpin. Namun, itu bukan berarti keduanya tidak setara. Keduanya setara di mata Allah dan bisa sama-sama “bersaing” menggapai Ridha Allah namun dalam tracknya masing-masing. Tidak ada rasa cemburu sosial atau bahkan merendahkan satu sama lain, karena perbedaan itulah yang akhirnya menjadikan mereka saling melengkapi.

Allah Subhananhu Wa Ta’ala berfirman, yang artinya:

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” – (TQS. An-Nisa: 32)

Jadi apabila kesejahteraan wanita hanya dinilai dari materi, itu amatlah rendah. Karena lelah seorang wanita dalam mengurus pekerjaan rumahtangga—yang tak berbayar—tidak dapat dibayar dengan rupiah, tapi jauh lebih berharga dari itu, bahkan tidak bisa dikonversikan dengan mata uang. Allah akan membayarnya dengan pahala yang tak ternilai harganya.

Pun dengan risiko kekerasan berbasis gender tidak akan pernah terjadi, karena kaum pria tidak akan lagi merendahkan wanita hanya karena nilai rupiah. Pria dan wanita akan senatiasa “bersaing” namun dalam perannya masing-masing, sehingga yang terjadi bukanlah kompetisi tapi kolaborasi.

Dan semua itu hanya didapati dalam sistem Islam, yakni Khilafah. Peran negara dalam Islam salah satunya adalah sebagai institusi penjaga akal manusia. Menjaga pemikiran umat muslim dari pemikiran-pemikiran yang tidak sesuai dengan fitrah manusia. Sehingga tidak lagi kita dapati kejadian kekerasan berbasis gender maupun eksploitasi wanita.

Wallahu a’lam bish shawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *