Benarkah Pemberdayaan Ekonomi Perempuan Solusi Krisis Ekonomi dan Ketahanan Keluarga ?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Dewi Istiharoh (Aktivis Muslimah)

 

Dilansir dari REPUBLIKA.CO.ID (29/10/2021) diketahui bahwa Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan tulang punggung perekonomian nasional. Hal ini dapat terlihat dari kemampuan UMKM yang berkontribusi sebesar 60,51 persen bagi Produk Domestik Bruto (PDB), menyerap 96,92 persen tenaga kerja, serta menyumbang 15,65 persen ekspor nonmigas.

 

Jika dilihat dari jumlah usaha yang ada di Indonesia, 99 persen didominasi oleh UMKM, yaitu sebesar 64,2 juta pelaku usaha. Dari jumlah tersebut sebanyak 37 juta UMKM di Indonesia dikelola oleh perempuan.

 

Dibandingkan dengan rata-rata dunia, perempuan Indonesia memiliki rasio kepemilikan usaha yang lebih tinggi. Data dari Google dan Kantar pada 2020, menunjukkan saat ini respons perempuan-perempuan di Indonesia semakin positif berwirausaha.

 

Jumlah perempuan di Indonesia yang telah berwirausaha sebanyak 49 persen. Sementara, perempuan yang ingin berwirausaha pada masa mendatang sebanyak 45 persen. Lalu perempuan yang memanfaatkan digital juga cukup banyak yaitu sekitar 35 persen dari seluruh penjualan online Indonesia.

 

Oleh karenanya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto terus mendorong agar perempuan pelaku UMKM melakukan transformasi usaha melalui pemanfaatan teknologi digital. Akibat pandemi covid-19 terjadi perubahan perilaku yang sering disebut fenomena ekonomi minim pertemuan tatap muka atau Less Contact Economy. Teknologi digital berperan sentral untuk menunjang aktivitas masyarakat dan menghubungkan interaksi antarmanusia.

 

Apalagi potensi ekonomi digital di Indonesia diprediksi akan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara pada 2025, yaitu sebesar Rp 1.738 triliun. Saat ini jumlah penggunaan telepon seluler di Indonesia sebanyak 345,3 juta unit, lebih besar dari jumlah populasi penduduk. Sementara terdapat pengguna internet aktif sebanyak 202,6 juta jiwa. Begitu pun jumlah pelaku UMKM di Kota Probolinggo mengalami kenaikan dari 6.000 orang menjadi 19.000 orang. (Jatimnet.com)

 

Tentunya peluang ini tak akan disia-siakan begitu saja oleh penguasa karena hal ini dipandang sebagai potensi besar perempuan sebagai penggerak pemulihan ekonomi di masa pandemic Covid-19.

 

Pemberdayaan ekonomi perempuan (PEP) ini dinilai sebagai ujung tombak keberhasilan isu-isu pemberdayaan perempuan, yaitu perempuan penyintas/korban kekerasan, perempuan penyintas bencana, dan perempuan sebagai kepala keluarga.

 

Manis sekali tawaran pada perempuan untuk dapat setara dengan kaum pria dan membuat perempuan memiliki partisipasi ekonomi agar dapat menyelesaikan persoalan kemiskinan perempuan dan ketahanan keluarga. Bukankah sejatinya pemberdayaan ekonomi perempuan racun yang bisa mematikan fitrah perempuan? Perempuan seolah menjadi “mesin pencetak uang” demi mengentaskan kemiskinan.

 

Pada saat nafkah keluarga dijadikan tanggung jawab dan kewajiban bersama suami istri, beban yang ditanggung istri ini setidaknya akan berpengaruh terhadap perannya sebagai pendidik anak-anaknya dan pengatur rumah. Terlebih mereka yang bekerja seharian, dari pagi sampai sore, tidak jarang mereka sampai di rumah malam hari atau harus tugas keluar kota berhari-hari. Akibatnya, ia kehilangan kesempatan untuk mengasuh dan merawat anak-anak dengan baik. Tentu saja hal ini akan menjadikan perempuan terpuruk dan berdampak pada ketahanan keluarga.

 

Kalau dikaji lebih dalam, keluarga-keluarga yang penghasilan istrinya lebih besar, suaminya pengangguran, baik istrinya bekerja atau tidak, mengalami problem keluarga yang tidak jarang berujung pada perceraian. Data jumlah perceraian di Indonesia makin meningkat, rata-rata mencapai seperempat dari dua juta dari jumlah pernikahan dalam setahun. Kemenag sebut angka perceraian mencapai 306.688 per Agustus 2020.

 

Angka gugat cerai juga mendominasi perceraian, dan penyebab utamanya adalah ekonomi. Di Kota Probolinggo, misalnya, angka perceraian meningkat 31 kasus pada 2021 dibanding 2020. Pada 2020 jumlah kasus perceraian yang ditangani mencapai 754 perkara, dengan perincian gugat cerai oleh istri sebanyak 582 perkara dan talak oleh suami sebanyak 172 perkara. Sementara di tahun 2021 jumlah kasus perceraian mencapai 785 kasus dengan rincian ada 605 gugatan dan 180 permohonan. (Radar Bromo)

 

Di Kabupaten Probolinggo sebanyak 2.383 pasangan suami istri (pasutri) yang mendaftarkan proses perceraian. Rinciannya ada 1.518 istri yang mengajukan perceraian atau cerai gugat (CG), sedangkan cerai talak (CT) dari pihak suami hampir separuhnya, yakni 865 kasus. (WartaBromo.com)

 

Dari total perkara cerai di Kota dan Kabupaten Probolinggo, cerai gugat (CG) mendominasi perkara perceraian dan mayoritas penyebab perceraian adalah faktor ekonomi.

 

Meskipun demikian penguasa terus mendorong dan memberi bantuan agar para perempuan berdaya dalam dunia usaha mikro. Agenda ini sebenarnya tidak lepas dari agenda global yang menarasikan bahwa peningkatan peran perempuan dalam bidang ekonomi tidak saja akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara namun juga dunia. Hal itu seolah menjadi jawaban yang dicuitkan oleh UN Women Asia Pacific, “Ketika para perempuan diberdayakan dan mendapatkan penghasilan, mereka berinvestasi kembali kepada keluarga dan komunitas mereka. Ini bagus untuk keluarga, komunitas dan ekonomi.”

 

Inilah pandangan Barat dan negara pengikutnya. Pemberdayaan ekonomi perempuan hanya dilandaskan pada aspek ekonomi semata. Kapitalisme hanya menjadikan perempuan sebagai tumbal kesejahteraan dan menggadaikan perannya sebagai ibu generasi.

 

Dalam kapitalisme, dampak buruk keluarnya perempuan untuk bekerja, tidak diperhitungkan sama sekali karena sifatnya yang nonmateri. Sehingga bukannya menghentikan partisipasi perempuan, mereka justru berusaha membuka peluang besar bagi perempuan untuk menjadi pion ekonomi.

 

Inilah solusi yang tidak memecahkan masalah, tetapi justru melahirkan permasalahan cabang yang lebih besar. Memaksa perempuan untuk melupakan kodratnya sebagai perempuan. Tentu hal ini sangat berbeda dengan pengaturan sistem Islam.

 

Islam Memuliakan Perempuan

Dalam Islam telah ditetapkan kemuliaan perempuan adalah menjadi istri dan ibu generasi, bukan pemilik kewajiban untuk mencari nafkah yang harus diberdayakan seperti stigma kapitalisme. Islam menetapkan bahwa laki-laki yang wajib mencari nafkah. Islam juga memiliki mekanisme untuk menanggung nafkah perempuan dan anak-anaknya dalam kondisi tertentu, sehingga perempuan tetap dapat menjalankan perannya sebagai ibu generasi.

 

Pengaturan ini didasari pada aturan Allah yang sudah menetapkan tugas kodrat masing-masing sesuai dengan peran dan fungsi berdasarkan jenis kelaminnya, bukan karena merendahkan perempuan atau menjadikannya sebagai warga kelas dua. Namun justru karena memuliakannya.

 

Andaikan seorang perempuan ingin bekerja, Islam membolehkan. Namun tidak mewajibkannya sebagai penanggungjawab nafkah meski untuk dirinya sendiri.

 

Dalam naungan Khilafah, bekerja bagi seorang perempuan betul-betul sekadar pilihan, bukan tuntutan keadaan. Islam menjamin kebutuhan pokok perempuan dengan mekanisme kewajiban nafkah pada suami, ayah, atau kerabat laki-laki (bila tidak ada suami atau ayah). Jika mereka semua ada, tetapi tidak mampu, ada jaminan langsung dari negara bagi para perempuan yang tidak mampu dan tidak memiliki siapa pun yang menafkahinya, seperti janda-janda miskin.

 

Dalam rumah tangga, Allah memberikan peran bagi suami sebagai pemimpin rumah tangga yang wajib memimpin, melindungi, dan menafkahi anggota keluarganya. Sedangkan peran istri sebagai ibu dan pengurus rumah, bertanggung jawab mengatur rumahnya di bawah kepemimpinan suami. (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani. Nizham Ijtima’i fi al-Islam).

 

Allah Swt. berfirman, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS An-Nisa’: 34).

 

Dari ayat tersebut, Allah menetapkan peran suami sebagai pemimpin rumah tangga, bukan karena semata mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Saat istri bekerja dan gajinya lebih besar, tidak serta-merta menjadikan istri sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Selain itu, penetapan ilat suatu hukum tidaklah secara aqli, tetapi secara syar’i. (Syekh Atha’ Abu Rusthah. Ushul Fikih).

 

Sudah seharusnya negara mendidik dan membekali perempuan agar kompeten dalam melaksanakan kewajibannya. Negara juga harus menjamin para perempuan memperoleh haknya dan menikmati kesejahteraan, termasuk hak untuk dinafkahi secara layak. Bukan malah diberi tanggung jawab sebagai kepala keluarga dan wajib nafkah.

 

Oleh karena itu, tidak perlu berbangga dengan pemberdayaan ekonomi perempuan yang menjadi target kesetaraan gender. Inilah cara kapitalisme mengapitalisasi perempuan, serta menghapus fungsi utama mereka sebagai pendidik generasi dan pengurus rumah tangga. Kaum perempuan harus segera menyadari bahaya ini dan menjadikan Islam satu-satunya solusi untuk mengakhiri arus sesat ide kesetaraan gender di setiap negeri muslim.[]

Wallahua’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *