Beasiswa Bupati: Solusi ataukah Ilusi?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Beasiswa Bupati: Solusi ataukah Ilusi?

Ai Siti Nuraeni
Pegiat Literasi

Demi mewujudkan pemerataan pendidikan dan peningkatan RLS (Rataan Lama Sekolah) di Kabupaten Bandung dari 9 tahun menjadi 10 tahun, Bupati Dadang Supriatna menggulirkan program Besti (Beasiswa ti Bupati) yang ditujukan kepada pelajar atau mahasiswa setempat yang berprestasi namun kurang mampu secara ekonomi, yaitu bagi penghafal Al-Quran dan guru ngaji di bawah usia 21 tahun. Adapun besarannya adalah Rp5 juta per semester atau maksimal Rp40 juta untuk 8 semester. Di tahun 2024, program ini akan digelar selama dua gelombang dengan kuota masing masing 130 dan 120 (Melansir.com,18/02/2024)

Pendaftaran akan dimulai 4-8 Maret 2024 secara online. Setelah itu akan dilakukan seleksi administrasi pada 12-17 dan tes tertulis pada 19-20 pada bulan yang sama. Selain meningkatnya RLS, Program Besti juga diharapkan bisa menjadi instrumen dalam mendorong peningkatan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, memiliki daya saing, berintegritas dan profesional. Kedepannya SDM tersebut bisa bersama-sama membangun Kabupaten Bandung yang Bedas (Bangkit, Edukatif, Dinamis, Agamis dan Sejahtera) sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). (CNNIndonesia.com,16/02/2024)

Pendidikan merupakan faktor yang penting bagi sebuah negara, kemajuan di bidang ini akan mampu membawa perubahan positif bagi individu juga bangsa. Sayangnya Indonesia masih dinilai kurang maju dalam hal tersebut jika dibandingkan dengan negara lain. Karenanya perlu upaya dari pemerintah yang optimal untuk terus meningkatkan kualitas agar bisa dirasakan oleh setiap lapisan masyarakat.

Pemberian bantuan kepada siswa kurang mampu sejatinya telah dilakukan oleh pemimpin negara ini bahkan sejak meraih kemerdekaan, mulai dari mengirimkan para pelajar ke Rusia, Jepang, Jerman, Perancis, Inggris dan negeri maju lainnya. Setelah perguruan tinggi dalam negeri memiliki kualitas yang baik kesempatan itu pun dibuka dalam lingkup lokal. Cara ini terus dilakukan karena dinilai mampu membantu meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) bahkan hingga saat ini.

Walaupun ribuan bahkan jutaan alumni penerima manfaat beasiswa telah mampu meningkatkan kualitas hidup mereka secara pribadi, namun faktanya masih belum bisa menyelesaikan persoalan pendidikan Indonesia. Hal itu terjadi karena program tersebut hanya memberi solusi biaya kuliah saja, sementara masalah yang lain tetap ada. Contohnya seperti keterbatasan pada akses, kualitas guru yang rendah, kurikulum yang tidak relevan, kesenjangan antar daerah, fasilitas yang terbatas, kemiskinan, minimnya keterlibatan dengan orang tua dan yang lainnya.

Beasiswa hari ini juga menjadi gambaran betapa mahalnya biaya pendidikan saat ini sehingga tidak bisa diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Padahal pendidikan itu adalah kebutuhan asasi yang seharusnya mudah diakses oleh seluruh lapisan masyarakat karena berbiaya murah. Layanan pendidikan hari ini sangat tergantung kepada kemampuan finansial masyarakat. Pelayanan dan fasilitas bagus sebanding dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Bagi mereka yang kurang atau tidak mampu harus berupaya sekuat tenaga mendapatkan beasiswa. Itupun tidak mencukupi untuk seluruh pembiayaan, untuk menutupi sisanya terpaksa harus bekerja jika tidak mereka harus rela putus sekolah atau kuliah.

Pemerataan pendidikan akan sulit dicapai di negara yang menerapkan sistem kapitalisme sekular. Yang namanya beasiswa tentu saja sangat terbatas. Hanya sekadar solusi tambal sulam, akar permasalahannya tetap ada.

Kapitalisasi pendidikan telah menjadikan lembaga pendidikan sebagai bagian dari ajang bisnis. Ini kesalahan mendasar yang akan mengeliminasi orang-orang tidak mampu.
Kapitalisme memposisikan penguasa hanya sebagai regulator. Hingga kekayaan alam pun yang seharusnya mampu membiayai pendidikan, diserahkan pengelolaannya kepada swasta baik lokal maupun asing. Sehingga membuat negara tidak mempunyai cukup dana untuk memajukan pendidikan. Ciri khas kapitalisme menjadikan pajak sebagai sumber utama pemasukan negara menjadikan beban tersendiri bagi rakyat. Keadaan menjadi lebih parah saat swasta mengambil peluang dalam bidang pendidikan dengan menawarkan fasilitas dan mutu yang baik namun menentukan biaya sekolah yang mahal. Akibatnya kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin lebar. RLS tiap daerah masih minim dan angka putus sekolah masih tinggi.
Akan berbeda faktanya jika negara mau menerapkan prinsip Islam dalam setiap aspek kehidupannya. Pemimpin dan jajarannya akan memiliki pandangan bahwa tugas mereka adalah menjadi pelayan umat dan mengurus setiap apa yang dibutuhkan masyarakat termasuk pendidikan. Rasulullah saw. bersabda dalam sebuah hadis yang artinya: “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya.” (H.R. Bukhari).

Rasulullah saw. mencontohkan bagaimana melayani masyarakat selanjutnya diikuti oleh para khalifah setelah beliau. Islam memandang pendidikan, kesehatan dan keamanan adalah kebutuhan komunal masyarakat yang wajib untuk dipenuhi oleh penguasa secara merata. Karenanya, SDA yang melimpah akan dikelola secara mandiri dan mengalokasikan hasilnya pada ketiga hal ini. Pemberian fasilitas pun dijamin layak, dengan akses yang mudah, guru yang kompeten dan berbagai aspek lain yang dibutuhkan siswa akan tersedia. Pemerintah akan mengambil kendali penuh agar rakyat bisa merasakan pelayanan berbiaya murah bahkan gratis.

Beberapa peninggalan kejayaan Islam yang berkaitan dengan pendidikan seperti Al-Madrasah Al-Mustanshiriyyah (631 H), Universitas Al-Azhar di Mesir, yang bahkan masih beroperasi hingga saat ini, atau Baitul Hikmah yang merupakan perpustakaan pada masa Abbasiyah dan masih banyak yang lain. Seluruh fasilitas ini bisa diakses dengan gratis oleh warga pada zamannya. Adapun mengenai gaji guru, Umar bin Khattab pernah mencontohkan bahwa beliau menggaji 3 guru anak-anak pada masanya sebanyak 15 dirham, yang jika dikonversikan sekarang bisa sampai lebih dari Rp. 30 juta. Dengan demikian, hanya institusi yang mau menerapkan Islam kaffah saja yang bisa menyelesaikan problematika pendidikan dengan cara sistematis bukan secara parsial.

Wallahu alam Bissawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *