Ayat Al Qur’an Digugat, Penista Tak Jera di Hukum Demokrasi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ummu Raihan (Pegiat Opini)

 

Penistaan terhadap agama Islam tak pernah usai. Selalu saja ada yang terang-terangan melakukan penistaan. Seperti halnya yang dilakukan oleh Saifudin Ibrahim. Ia seorang murtadin dan menjadi pendeta saat ini. Ia meminta Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas untuk menghapus 300 ayat Alqur’an.

Sebagaimana dikutip dari liputan6.com, 17/3/2022, “ada 300 ayat di Al-Qur’an, yang menjadi pemicu hidup intoleran, pemicu hidup radikal dan membenci orang lain karena beda agama, itu di-skip, atau direvisi, atau dihapuskan dari Al-Qur’an Indonesia. Ini sangat berbahaya sekali,”. Permintaannya ini muncul dalam kanal youtobe miliknya, dan sudah tersebar disosmed, meskipun saat ini sudah dihapus.

Dari pernyataannya tersebut, membuat publik protes. Begitu juga dengan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD berkomentar, Beliau mengatakan bahwa itu merupakan penistaan agama, dan perbuatan pidana yang ancaman hukumannya penjara lebih dari 5 tahun. “Barangsiapa yang membuat penafsiran atau memprovokasi dengan penafsiran suatu agama yang keluar dari penafsiran pokoknya (adalah penistaan agama, Red.). Ajaran pokok di dalam Islam itu Al-Qur’an ayatnya 6.666. Tidak boleh dikurangi, misalnya disuruh dicabut 300. Itu berarti penistaan terhadap Islam,” ujarnya dalam video yang diunggah Kemenkopolhukam. (liputan6.com, 17/3/2022).

Memang saat ini, kasus tersebut sudah ditangani pihak berwajib dan akan menyelidiki vidio tersebut. Akan tetapi, saat ini pendeta Saifudin Ibrahim sudah melarikan diri keluar negeri. Hal seperti ini sering dilakukan oleh para tersangka penistaan agama, sehingga sebagian kasusnya menghilang begitu saja.

Sistem Sekuler Menjamurkan Penista

Kasus penistaan terhadap ajaran Islam yang sering terjadi ini, semakin membuktikan bahwa sanksi yang diberikan kepada setiap pelaku tidak mampu memberikan efek jera. Sehingga penista-penista lain bermunculan dengan motif yang berbeda-berbeda. Padahal sangat jelas mereka telah melakukan penistaan agama dan menodai ajaran Islam. Hal itu telah melanggar Pasal 156 A KUHP.

Begitu banyak pelaku penistaan agama sebelumnya, tetapi penguasa tidak mengambil sikap yang tegas untuk menghukum pelaku. Bahkan cenderung lambat dalam menangani kasus penistaan agama. Belum lagi yang bersangkutan sahabat karib penguasa, perkara akan selesai hanya dengan permintaan maaf. Sementara rakyat hanya diminta tenang, jangan terpancing, serahkan pada pihak berwajib. Pihak berwajib hanya bertindak cepat ketika yang melanggar adalah rivalnya, atau yang bukan pendukungnya.

Selain sanksi yang tidak ada efek jera kepada pelaku penista agama, sanksi kepada umat Islam yang murtad (keluar dari agama Islam) tidak ada. Mereka diberikan kebebasan untuk keluar dari Islam dengan dalih Hak Asasi Manusia (HAM ). Maka jangan heran banyak yang keluar dari Islam dengan beribu alasan. Hal itu terjadi karena tak luput dari sistem yang diadopsi oleh negara ini, yaitu sistem Demokrasi. Dalam sistem ini ada empat kebebasan yang diterapkan ditengah-tengah kehidupan rakyat. Kebebasan ini merupakan asasnya dan sangat dijunjung tinggi oleh negara, yaitu kebebasan kepemilikan, kebebasan bertingkah laku atau berekspresi, kebebasan beragama dan kebebasan berpendapat.

Dengan adanya 4 kebebasan itulah, warga negara diberikan kebebasan untuk melakukan apa yang diinginkan. Misalnya kebebasan beragama, negara tidak memberikan sanksi yang tegas kepada rakyatnya yang murtad. Sebab menurut pemahaman sistem yang ada, bahwa agama itu adalah hak progretifnya rakyat. Negara tidak boleh ikut campur. Bahkan menjadi seorang yang tidak percaya terhadap Tuhan pun tidak masalah.
Tidak adanya sanksi inilah, sehingga setelah murtad tak jarang dari mereka menista ajaran Islam, seperti yang dilakukan oleh pendeta Saifudin Ibrahim ini. Ia dengan lancangnya menggugat ayat suci. Padahal sebelum murtad dia adalah seorang guru yang mengajar disebuah pesantren. Sudah tentu ia akan paham dengan ajaran Islam. Akan tetapi ilmu yang dimilikinya tidak mampu membuat ia konsisten dengan Islam.

Selain ada kebebasan beragama, dalam sistem ini juga ada kebebasan berpendapat. Dari kebebasan berpendapat ini juga, sehingga mencetak orang-orang yang berani menista atau menghina ajaran agama, khususnya ajaran Islam. Mereka dengan mudah mengucapkannya, tanpa memperhatikan apakah yang diucapkan tersebut baik dimata umat beragama lain, apakah berdampak buruk atau tidak ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Maka ketika meminta untuk menghapus ayat Al-Qur’an, itu sama saja meminta merevisi atau merubah Alqur’an.

Fatwa Majelis Ulama Islam (MUI) menyatakan bahwa penodaan agama itu haram hukumnya. Salah satunya ketika melecehkan atau merendahkan Al-Qur’an. Padahal Al-Qur’an adalah wahyu dari Allah Swt, sehingga ketika ada yang berpendapat bahwa Al-Qur’an itu pemicu hidup intoleran, pemicu hidup radikal dan membenci orang lain karena beda agama, maka pendapat yang dilontarkan itulah yang salah.

Islam Sebagai Solusi

Dalam Islam juga sudah dijelaskan bagaimana cara umat Islam menghargai umat beragama lain, umat Islam tidak akan mencampuri urusan agama lain dalam perkara keyakinan. Pada saat yang sama juga, umat beragama lain tidak boleh mencampuri urusan keyakinan umat Islam. Hal ini sudah dijelaskan dalam Q.S Al-Kafirun ayat 5: ” bagimu agamaku, bagimu agamamu. Maka ketika ada yang berkata seperti itu, umat Islam harus marah karena sudah masuk dalam ranah privat.

Dalam masalah muamalah, Islam juga akan tetap membuka ruang untuk berinteraksi dengan umat beragama lain. Dalam jual beli juga Umat Islam diperbolehkan bertransaksi dengan umat beragama lain selama masih sesuai dengan hukum syarah. Hal itu sudah pernah dipraktekan oleh Rasulullah Saw di Madinah. Beliau tetap berinteraksi dengan non muslim yang hidup dalam negara Islam. Beliau juga tetap mendakwahi non muslim. Bahkan hak dan kewajiban mereka dilindungi oleh negara.

Maka dari itu, ketika ada warga negara Islam yang melakukan pelanggaran, baik itu dilakukan oleh umat Islam maupun non muslim. Misalnya melecehkan ajaran Islam atau murtad, negara langsung memberikan sanksi yang tepat. Sanksi yang diberikan ini sesuai dengan fitrah manusia, dan pastinya ada efek jera. Karena penistaan agama dan juga murtad masuk dalam ranah hudud, maka penguasa menerapkan hudud bagi pelakunya yaitu pelakunya dibunuh. Hudud ini bermakna sanksi atas kemaksiatan yang telah ditetapkan (kadarnya) oleh syariat dan menjadi hak Allah. Dan ini juga mampu mencegah pelakunya dari kemaksiatan serupa.

Pelaksanaan sanksi atau uqubat di dunia ini adalah tanggung jawab seorang pemimpin atau yang ditunjuk mewakilinya. Jadi, negaralah yang melaksanakannya. Sanksi di dunia berfungsi sebagai pencegah (zawâjir) dan penebus dosa (jawâbir), yakni mencegah orang-orang untuk melakukan tindakan dosa dan kriminal sekaligus menggugurkan sanksi di akhirat bagi pelaku kriminal yang telah dikenai sanksi di dunia.

Demikian sabda Rasulullah Saw, sebagaimana dituturkan oleh Ubadah bin Shamit ketika menuturkan ihwal teks Baiat Aqabah I, yang di antaranya menyebutkan, “Siapa di antara kalian yang memenuhinya maka pahalanya di sisi Allah. Siapa yang melanggarnya, lalu diberi sanksi, maka itu sebagai penebus dosa baginya. Siapa yang melanggarnya namun (kesalahan itu) ditutupi oleh Allah, jika Allah menghendaki, Dia akan mengampuninya; jika Ia menghendaki, Dia akan mengadzabnya. (HR al-Bukhari).

Wallahu’alam bishowab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *