KONFLIK AGRARIA: AKANKAH KEBENGISAN NEGARA MENJELMA MENJADI TRAGEDI EKOSIDA ?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

KONFLIK AGRARIA: AKANKAH KEBENGISAN NEGARA MENJELMA MENJADI TRAGEDI EKOSIDA?

Oleh Amalia Elok Mustikasari 

Kontributor Suara Inqilabi 

Dalam rangka mempercepat pengembangan investasi di Pulau Rempang, Proyek Rempang Eco City dimasukan dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) tahun 2023. Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional yang disahkan oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto 28 Agustus 2023 lalu. Demi menyediakan lahan untuk pengembangan proyek ini, ribuan warga harus direlokasi. Rencananya, lahan di empat kampung harus segera dikosongkan karena akan diserahkan pada PT MEG paling lambat pada 28 September 2023. Namun, kebijakan relokasi itu menimbulkan konflik di Pulau Rempang. Warga yang merupakan warga asli, terdiri dari suku Melayu, suku Orang Laut, dan suku Orang Darat, menolak direlokasi karena ikatan kuat pada kampungnya. (Kompas, 29/09/2023)

Apa yang terjadi di Pulau Rempang, mempertontonkan penggunaan instrumen kekerasan secara sistematis. Peristiwa tersebut mewakili timbunan konflik yang tersebar hampir merata di seluruh wilayah negeri ini. Konflik tersebut memperhadapkan secara langsung petani kecil dengan sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan korporasi swasta yang mendapatkan dukungan penuh pemerintah. Dalam banyak kasus pemerintah bahkan mengerahkan aparat bersenjata untuk memuluskan agenda perampasan tanah rakyat, sebagaimana yang terjadi di pulau rempang.

Konflik agraria meningkat secara signifikan terutama di daerah-daerah yang terdapat Proyek Strategis Nasional (PSN). Dengan dalih pertumbuhan ekonomi dan mengatasi krisis iklim, PSN menerabas semua rintangan, baik itu yang terkait dengan mekanisme kebijakan di daerah, hingga klaim rakyat terhadap tanah, adat, hingga kebudayaan dan sistem sosial yang telah tumbuh di sebuah wilayah. Sekalipun berlabel proyek negara, PSN banyak yang dilimpahkan kepada korporasi dan segelintir elit dengan kemudahan pemberian perizinan. PSN menjadi jalan yang memudahkan aktor swasta mendapatkan ruang eksploitasi dan menguasai sumber-sumber agraria yang dikelola rakyat.

Walhi menilai proyek ambisius pemerintahan Jokowi telah menjelma menjadi tiga jenis kekerasan. Pertama adalah kekerasan struktural. Kebijakan PSN merupakan bentuk nyata kekerasan struktural yang dilakukan rezim Jokowi. Kedua adalah kekerasan langsung (fisik) di mana rakyat yang mempertahankan sumber agrarianya dipukul mundur dengan kekuatan represif, seperti kriminalisasi dan kekerasan. Ketiga adalah kekerasan kultural, melakukan pemaksaan proyek yang seolah-olah benar dan memusnahkan keragaman, tradisi dan budaya masyarakat. Proyek food estate salah satunya, yang justru menghilangkan kultur pangan-pangan lokal yang ada.

Di satu sisi negara mengakui adanya ancaman krisis iklim, di sisi lain justru memperparah krisis iklim dengan mengalihfungsikan ruang produktif menjadi berbagai proyek yang merusak lingkungan. Walhi menyebut ini sebagai solusi palsu. Paradigma pertumbuhan ekonomi ini sudah mencapai taraf bencana. Memperdaya dengan skema stempel blue ekonomi, green ekonomi, ruang angkasa tercakup ruang di atas bumi dan air pun dijadikan komoditas yang dieksploitasi. Stempel “green” secara kasat mata dapat dilihat pada operasi Rempang “Eco” City. Kebengisan operasi negara yang mengabaikan hak-hak rakyat diberbagai wilayah, justru menjadikan proyek semacam ini menjelma menjadi tragedi “Ekosida”.

Ekosida itu sendiri merupakan upaya pemusnahan sumber daya dan ekosistem yang diperlukan dalam kehidupan manusia dengan cara eksploitasi lingkungan dan sumber daya alam secara masif. Independent Expert Panel (IEP) mendefiniskan Ekosida sebagai “tindakan yang melanggar hukum atau tindakan sembarangan yang dilakukan secara sadar bahwa ada kemungkinan besar terjadinya kerusakan lingkungan yang parah dan meluas atau jangka panjang yang disebabkan oleh tindakan tersebut”

Program-program yang dicanangkan Pemerintah justru memperpanjang daftar konflik agraria dan perebutan sumberdaya alam hingga berbagai pelanggaran HAM. Ketimpangan penguasaan agrarian dan perampasan sumber agrarian atas nama pembangunan dan krisis iklim, dari hulu ke hilir adalah fakta yang terjadi hari ini. Alih-alih memulihkan, “krisis” dijadikan alat dagang bagi para elit untuk menggeruk keuntungan dan melepaskan tanggung jawabnya.

Dari berbagai konflik agraria yang terjadi nampak bahwa negara lebih banyak berpihak pada pengusaha ketimbang pada rakyat. Keberpihakan pemerintah makin terlihat dengan disahkannya UU Cipta Kerja yang di dalamnya pengesahan Badan Bank Tanah. Regulasi ini jadi satu dari 49 peraturan pelaksana UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja. Pengesahan PP ini merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 135 dalam UU Cipta Kerja. Dalam kebijakan itu menyebutkan kalau bank tanah sebagai pengendali utama dalam pengadaan dan pengalokasian tanah di Indonesia. Fungsinya, mulai perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan hingga pendistribusian tanah. Pendirian Badan Bank Tanah ini rawan menjadi ajang liberalisasi lahan milik warga untuk para investor dengan bungkus pembangunan nasional. Kebijakan ini semakin mendesak dan menyulitkan posisi masyarakat dalam kepemilikan lahan. Begitu pula status tanah ulayat juga semakin terjepit karena secara hukum bisa dikuasai negara berdasarkan UU Cipta Kerja. Apalagi sampai hari ini kepemilikan lahan oleh rakyat masih terancam oleh mafia tanah. Berulangkali terjadi pengambilalihan kepemilikan tanah karena terjadi sertifikat ganda. Celakanya berkali-kali kejahatan penggandaan atau pengambilalihan sertifikat tanah melibatkan internal pegawai dan pejabat Badan Pertanahan Negara.

Dalam konflik ini, lagi dan lagi rakyatlah yang selalu menjadi pihak yang dikorbankan. Rakyat dilarang “tidak setuju” atas keinginan penguasa untuk membangun proyek-proyek di lahan mereka. Jika melawan rakyat dihadapkan dengan aparat negara yang bersenjata. Kapitalisme telah mencabut nilai-nilai kemanusiaan. Tawaran ganti rugi pun memang membuat rugi karena tak sepadan dengan harga lahan. Bahkan ganti rugi, hanya sekedar janji yang tak kunjung ditepati. Rakyat buntung dan investor untung.

Islam adalah sebuah sistem yang telah terbukti unggul. Selama 13 abad lamanya, mampu menyejahterakan rakyatnya dalam semua aspek kehidupan. Islam memiliki pandangan khusus tentang lahan, hukum kepemilikan lahan mengikuti status kepemilikan secara umum dalam syariat Islam; yakni kepemilikan pribadi, kepemilikan umum dan kepemilikan oleh negara. Titik krusial persoalan lahan adalah mengenai status kepemilikannya; kapan dan bagaimana cara seseorang diakui sebagai pemilik lahan serta. Di negeri ini, kepemilikan lahan ditentukan oleh bukti surat kepemilikan tanah berupa sertifikat tanah. Tanpa itu, meskipun seseorang telah tinggal dan menggarap lahan itu puluhan tahun, mereka tidak punya kekuatan hukum. Inilah yang sering menjadi titik konflik lahan antar warga dengan korporasi bahkan dengan negara.

Islam menetapkan setiap individu rakyat bisa memiliki lahan dengan cara mengelola tanah mati, yakni tanah tidak bertuan, yang tidak ada pemiliknya. Rasulullah ﷺ bersabda, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim (yang menyerobot tanah orang lain).” (HR At-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad)

Menghidupkan tanah mati yang dimaksud ialah memanfaatkan tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan seorang pun, yakni dengan cara menanaminya dengan pohon, bercocok tanam, atau membangun bangunan di atasnya. Islam menetapkan hak kepemilikan tanah akan hilang jika tanah tersebut dibiarkan atau ditelantarkan selama tiga tahun berturut-turut. Negara akan memberikan tanah tersebut kepada orang lain yang mampu mengelolanya. Ketetapan ini berdasarkan ijma sahabat yang terjadi di masa Khalifah Umar bin Khattab ra. Imam Abu Ubayd dalam kitab Al-Amwal meriwayatkan bahwa Khalifah Umar ra mengambil lahan milik Bilal bin Al-Harits Al-Mazani yang merupakan pemberian dari Rasulullah Saw. Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra berkata pada Bilal, “Sesungguhnya Nabi Saw tidaklah memberikan lahan ini padamu sekedar untuk dipagari dari orang-orang, akan tetapi beliau memberikannya padamu untuk dikelola. Maka ambillah yang sanggup engkau kelola dan kembalikan sisanya.”

Karenanya, negara tidak berhak merampas tanah milik rakyat sekalipun mereka tidak memiliki surat kepemilikan lahan, selama ia bisa membuktikan bahwa tanah itu telah dipatok atau dikelolanya, serta tidak ditelantarkan lebih dari tiga tahun. Perampasan terhadap tanah rakyat walaupun atas nama pembangunan, apalagi faktanya disetorkan kepada investor, adalah kezaliman yang terkategori dosa besar. Sabda Nabi Saw: “Siapa yang pernah berbuat aniaya sejengkal saja (dalam perkara tanah) maka nanti dia akan dibebani (dikalungkan pada lehernya) tanah dari tujuh petala bumi”. (HR. Bukhari)

Seandainya tanah rakyat memang dibutuhkan untuk kepentingan negara dan publik yang urgen dan mendesak, maka wajib bagi negara untuk memberikan ganti (membeli tanah dan seluruh bangunan atau tanaman yang ada padanya dengan harga yang layak, atau melakukan tukar guling dengan tanah yang sepadan dan keridhoan pemiliknya). Haram hukumnya negara memaksa warga menjual tanahnya dengan harga murah. Allah Swt berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan saling ridho di antara kamu”. (TQS. An-Nisa [4]: 29)

Keadilan atas status kepemilikan tanah dan pengaturannya hanya bisa dirasakan dalam sistem Islam kafah. Dalam Islam, negara adalah pelindung, pengurus, dan bertanggung jawab penuh atas apa yang diurusnya.

Wallahu’alam bish-shawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *