Oleh: Ainul Mizan (Penulis tinggal di Malang)
Kamis siang (10/10/2019), publik Indonesia dibuat geger. Pasalnya seorang Menkopulhukam menjadi korban penusukan di Pandeglang, Banten (www.merdeka.com, Jum’at 11/10/2019). Setelah itu, Pak Wiranto langsung dilarikan ke RSUD Pandeglang kemudian dirujuk ke RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) di Jakpus.
Tentunya kejadian penyerangan seperti ini tidaklah bisa dibenarkan dan patut mendapat kecaman. Bahkan hal demikian tentunya merupakan tindakan teror yang bisa membahayakan nyawa orang lain. Semoga beliau, Pak Wiranto segera lekas diberikan kesembuhan oleh Allah SWT.
Adapun selanjutnya dibangun sebuah narasi dan wacana bahwa setelah kejadian ini, Presiden Jokowi menyerukan untuk memerangi paham radikalisme (www.cnnindonesia.com, Kamis 10/10 2019).
Tentunya seruan memerangi radikalisme susah untuk dilepaskan dari nuansa islamophobia. Melihat fragmen banyaknya persekusi terhadap ulama, yang terbaru kasus pembatalan kuliah umum UAS di Masjid UGM yang rencananya hari Sabtu, 12 Oktober 2019. Terbitnya Perpu Nomer 2 Tahun 2017, yang digunakan untuk mencabut BHP dari ormas HTI. Begitu pula alerginya istana dengan hal – hal yang berbau bendera tauhid, salah satu contohnya langkah Menag yang melakukan investigasi di MAN 1 Sukabumi, Jabar (www.nasional.tempo.co, 21 Juli 2019). Ini saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa narasi radikalisme itu diarahkan kepada Islam dan aktivisnya.
Sesungguhnya radikalisme bukanlah ajaran Islam. Islam tidak mengajarkan melakukan tindakan – tindakan teror dan radikal untuk melakukan perubahan kearah Islam di tengah – tengah masyarakat. Pendek kata, dakwah atau seruan kepada Islam disampaikan dengan menyeru akal manusia agar terbentuk sebuah kesadaran sebagai hamba Allah SWT yang senantiasa harus beribadah kepadaNya. Tentunya aktivitas demikian sejalan dengan sila pertama Pancasila yang menjadi asas dari semua sila Pancasila.
Justru, yang menjadikan metode menyebar teror dan radikal dalam melakukan perubahan di masyarakat adalah Ideologi Komunis. Bermula dari pandangan Lenin yang memandang konsepsi perubahan ala Marxisme adalah sebuah utopia. Maka Lenin mengambil haluan revolusi fisik guna bisa mewujudkan cita – cita yakni masyarakat tanpa kelas. Jadi bisa dipahami faktanya dari Revolusi Bolsevick Lenin. Ia menghabisi semua keluarga Tsar Rusia.
Begitu pula yang terjadi di Indonesia yaitu pemberontakan PKI. Baik dari PKI Muso tahun 1948 dan aksi G 30 S/PKI, aksi yang dilakukannya adalah sebuah kekejaman, kesadisan dan keberutalan yang tidak bisa diterima oleh rasa kemanusiaan.
Jadi salah alamat bila Islam menjadi pihak tertuduh dalam narasi radikalisme ini. Bila radikalisme itu bukan ajaran Islam, tentunya ajaran Islam secara keseluruhan tidaklah mengandung radikalisme di dalamnya. Islam sangatlah memuliakan kehidupan yang ada pada seseorang. Bahkan dalam menjaganya, Islam menetapkan ancaman dan sangsi yang tegas dan keras.
Allah SWT menyatakan dalam sebuah firmanNya yang artinya:
“Barangsiapa yang membunuh orang lain tanpa sebab yang dibenarkan, atau karena berbuat kerusakan di muka bumi, maka ia layaknya membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan orang lain, maka ia layaknya telah menghidupkan manusia seluruhnya” (TQS. Al Maidah ayat 32).
Bagi mereka yang telah menghilangkan nyawa orang lain tanpa hak, Islam telah menetapkan sangsi qishosh dan bila mendapatkan ampunan dari keluarga korban, tentunya hanya membayar denda, yakni berupa uang 1000 dinar atau 100 ekor unta.
Jangankan dalam kasus pembunuhan, sangsinya demikian rupa, bahkan dalam kasus penganiayaan sangat mendapat perhatian besar di dalam ajaran Islam. Sebagai contoh, orang yang melakukan penganiayaan yang menyebabkan hidungnya rusak terpotong salah satu sisinya, maka dikenakan ½ diyat, yakni membayar 50 ekor unta (Kitab Nidhomul Uqubat fil Islam bab Jinayat).
Walhasil dengan aturan dan sangsi demikian akan mampu mencegah masyarakat dari perbuatan – perbuatan melukai, menganiaya, dan pembunuhan, sehingga keamanan akan mudah untuk diwujudkan.
Sekarang yang semestinya menjadi konsentrasi semua elemen bangsa dan umat Islam untuk bersatu menghilangkan sekat – sekat perbedaan, bergerak bersama untuk mewujudkan kemerdekaan yang sebenar – benarnya yakni terbebas dari penjajahan dalam segala bentuknya. Dengan begitu, kesejahteraan masyarakat akan mampu untuk diwujudkan, baik lahir maupun batin.
Umat Islam tentunya memegang peranan penting dalam mewujudkan sebuah negeri yang makmur dan mendapatkan ridho dari Allah SWT. Umat Islam harus mampu menampilkan bahwa ajaran Islam mampu menjawab berbagai problem keumatan dan kebangsaan dengan tuntas dan baik. []