Layanan Kesehatan Dalam Sistem Islam

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Layanan Kesehatan Dalam Sistem Islam

Hamnah B. Lin

Kontributor Suara Inqilabi

 

Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof. Tjandra Yoga Aditama mengatakan melalui kampanye Hari Kesehatan Dunia 2024, diharapkan terwujudnya kesehatan bagi semua agar mendapat akses pelayanan kesehatan bermutu.

“Dengan tema Hari Kesehatan Dunia tahun ini diharapkan terwujudnya kesehatan bagi semua. Didambakan agar semua kita mendapat akses pada pelayanan kesehatan yang bermutu, juga mendapat pendidikan dan informasi kesehatan yang diperlukan,” kata Tjandra saat dikonfirmasi melalui pesan singkat. Tjandra juga menambahkan kesetaraan kesehatan bagi semua juga termasuk memperoleh air minum yang aman dan sehat, udara bersih, makanan bergizi, rumah yang sehat, pekerjaan yang memadai dan terhindar dari berbagai diskriminasi kesehatan (Antara, 7/4/2024).

Kampanye ini sungguh patut diapresiasi sebagai kebijakan dari pemerintah memperingati Hari Kesehatan Dunia. Namun jika kita teliti, fakta di lapangan dan data yang ada, rasanya sulit bahkan tidak mungkin mewujudkannya, dengan atmosfer aturan kapitalisme yang menyelimuti seluruh kebijakan dalam bidang kesehatan utamanya, dan dalam seluruh aspek yang lainnya.

Pasalnya menurut Asih dan Miroslaw dari German Technical Cooperation (GTZ), LSM yang berperan aktif membidani kelahiran JKN, “Ide dasar jaminan kesehatan sosial adalah pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan kesehatan dari Pemerintah kepada institusi yang memiliki kemampuan tinggi untuk membiayai pelayanan kesehatan atas nama peserta jaminan sosial.” (Lihat: sjsn[dot]menkokesra[dot]go[dot]id).

Jelas, inilah bentuk liberalisasi kesehatan. Liberalisasi layanan kesehatan memang sudah lama menjadi kesepakatan internasional. Pada 2005, seluruh anggota WHO menandatangani sebuah resolusi soal Universal Health Coverage (UHC), yakni agar semua negara anggota mengembangkan sistem pembiayaan kesehatan dengan tujuan menjamin kesehatan bagi seluruh rakyat. Sistem pembiayaan dimaksud tidak lain adalah asuransi yang melibatkan perusahaan pelat merah dan milik swasta (kapitalis).

Oleh karena itu, istilah “jaminan kesehatan” sebetulnya istilah yang menipu. Pasalnya, yang ada bukan jaminan kesehatan, tetapi asuransi sosial kesehatan. Konsekuensinya, seluruh rakyat wajib membayar iuran/premi bulanan. Meski iuran untuk orang miskin dibayar oleh negara (sebagai Penerima Bantuan Iuran-PBI), hal itu tidak menghilangkan hakikat bahwa seluruh rakyat wajib membayar iuran bulanan. Jadi pada dasarnya JKN sama dengan asuransi pada umumnya. Peserta JKN, yakni seluruh rakyat, baru bisa mendapat pelayanan dari BPJS selama membayar iuran/premi bulanan. Jika tidak bayar, mereka tidak mendapat pelayanan. Jika menunggak membayar, mereka pun dikenai denda. Jika terus menunggak, pelayanan bisa dihentikan. Jadi dalam JKN, rakyat tidak dijamin layanan kesehatannya oleh Pemerintah, melainkan oleh diri mereka sendiri.

JKN pun menganut prinsip pemberian pelayanan berdasarkan kemampuan bayar peserta atau status ekonomi peserta. Prinsip ini merupakan watak komersial yang dianut oleh lembaga bisnis. Watak itu makin kental karena BPJS menghimpun dana rakyat untuk investasi. Atas nama SJSN dan JKN, ratusan triliun dana rakyat dihimpun oleh BPJS atas nama iuran/premi asuransi sosial yang bersifat wajib. Sebagian dana itu wajib diinvestasikan oleh BPJS. Pasalnya, sesuai UU SJSN dan BPJS, investasi dana asuransi sosial itu bersifat mandatori, artinya wajib, tentu dengan segala konsekuensi sebuah investasi.

Hal ini sangat jauh berbeda dengan Islam, pelayanan kesehatan dalam sistem Islam termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi kewajiban negara. Negara wajib menyediakan rumah sakit, klinik, dokter, tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan lainnya yang diperlukan oleh masyarakat. Sebabnya, fungsi negara/pemerintah adalah mengurus segala urusan dan kepentingan rakyatnya. Dalilnya adalah sabda Rasul saw.:

فَاْلإِماَمُ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Imam (penguasa) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang ia urus.” (HR Al-Bukhari).

Jaminan kesehatan dalam Islam juga memiliki tiga sifat. Pertama, berlaku umum tanpa diskriminasi, dalam arti tidak ada pengkelasan dalam pemberian layanan kesehatan kepada rakyat, baik muslim maupun nonmuslim. Kedua, bebas biaya alias gratis. Rakyat tidak boleh dikenai pungutan biaya apapun untuk mendapat pelayanan kesehatan oleh negara. Ketiga, seluruh rakyat harus diberi kemudahan untuk bisa mendapatkan pelayanan kesehatan oleh negara.

Betul, pemberian jaminan kesehatan oleh negara Islam membutuhkan dana besar. Dana tersebut bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh syariat. Di antaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum, termasuk hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas, dan sebagainya; dari sumber-sumber kharaj, jizyah, ghanîmah, fa’i, ‘usyur; dari hasil pengelolaan harta milik negara dan sebagainya. Semua itu akan lebih dari cukup untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan secara memadai dan gratis untuk seluruh rakyat, tentu dengan kualitas yang jauh lebih baik daripada yang berhasil dicapai saat ini di beberapa negara. Kuncinya adalah dengan menerapkan syariat Islam secara kafah (menyeluruh), yakni dalam bingkai sistem pemerintahan Islam bernama khilafah Islamiyah.

Wallahu a’lam Bish-shawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *