Jalan Rusak di Daerah Penghasil Aspal Terbesar, Ironi Kapitalisme

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Jalan Rusak di Daerah Penghasil Aspal Terbesar, Ironi Kapitalisme

Oleh Ummah Ziyad 

Pemerhati Ekonomi

 

Belum hilang dalam ingatan bagaimana kritikan seorang konten kreator asal Kabupaten Lampung Timur bernama Bima Yudho Saputra. Ia mengkritik pembangunan kampung halamannya lewat salah satu platform sosial media. Sebuah kritik yang menggambarkan rusaknya jalan di Lampung dan ‘berakhir’ dengan kunjungan presiden juga kucuran dana dari pusat. Hal ini juga terjadi pada daerah Buton Utara.

Berdasarkan data yang dirilis oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bahwa terdapat jalanan rusak parah yang terbentang sepanjang 30 km. Akibatnya, jarak tempuh perjalanan menjadi begitu lama. Lubang-lubang lebar menganga menjadi pemandangan di Lambale Kalisusu Barat dan beberapa daerah di Kalisusu. Inilah sebuah ironi yang terjadi di daerah penghasil aspal terbesar. Alih-alih memenuhi kebutuhan aspal jalanan di daerah, justru lubang-lubang besar mengaga terpampang sepanjang jalan. (Kompas.com, 19/5/2023)

Potensi Aspal Buton, Untuk Rakyat atau Bukan?

Dalam kunjungan di pabrik aspal PT Wika Bitumen, Kabupaten Buton, Presiden Joko Widodo menyampaikan secara tegas akan menyetop impor aspal. Hal ini dikarenakan potensi aspal yang ada di Kabupaten Buton dinilai sangat besar. Namun, kegiatan produksinya tidak berjalan. (27/9/2022)

Pembangunan industri aspal Buton, Sulawesi Tenggara didorong oleh Kemenko Kemaritiman dan Investasi RI. Wilayah tersebut memiliki potensi aspal alami sebesar 694 juta ton. Merespon hal tersebut, pada awal Januari 2021 telah diadakan rapat koordinasi oleh Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves). Mereka akan meninjau kesiapan industri Aspal Buton (Asbuton) dan infrastruktur pendukung, seperti pembangunan akses dan pelabuhan, serta tata kelola izin usaha pertambangan (IUP).

Asbuton merupakan jenis aspal alami yang secara spesifik terdapat di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Aspal ini hanya dapat ditemukan di dua wilayah di dunia, yakni di Indonesia dan di Trinidad, Amerika Selatan. Bertahun-tahun dicanangkan untuk menggantikan aspal minyak, aspal Buton tidak kunjung jadi pilihan.

Di Sulawesi Tenggara, tanah asal aspal alam terbesar di dunia itu pun tak berdaya. Cadangan aspal Buton di atas 600 juta ton. Kandungan ini disebut mencapai 80 persen cadangan aspal alam dunia. keberadaanya mampu memenuhi kebutuhan aspal dalam negeri selama ratusan tahun. Namun, alih-alih termanfaatkan, aspal Buton justru kalah dibanding aspal minyak yang sebagian besar harus diimpor. Tidak hanya secara nasional, aspal Buton juga belum dimanfaatkan secara optimal oleh pemerintah daerah di Sultra.

Banyaknya potensi aspal Buton tidak berbanding lurus dengan kondisi jalan di pulau Buton. Kerusakan jalan di beberapa wilayah Buton seakan-akan tidak menjadi prioritas utama bagi pemerintah. Buktinya, masih banyak masyarakat yang mengeluhkan jalan yang rusak. Sungguh hal ini menjadi sebuah ironi di wilayah penghasil Aspal terbesar. Padahal, jalan merupakan penghubung bagi segala aktivitas warga.

Jika pemerintah perhatian pada infrastruktur, mengapa tidak memperhatikan jalan di daerah? Padahal, kebutuhan jalan ibarat arteri bagi penyambung dari 1 tempat ke tempat lainnya. persoalan distribusi juga tidak akan tuntas ketika penunjangnya tidak memadai. Patut dipertanyakan apakah jalanan rusak tidak menjadi prioritasnya?

Percuma ketika melakukan pembangunan, tetapi jalan yang menjadi sarana penghubung tidak diperhatikan. Bahkan, asbuton yang seharusnya menjadi hasil tambang yang dikelola oleh negara untuk rakyat justru dibuka kerannya untuk asing dan aseng. Oleh karena itu, telah jelas bahwa potensi aspal Buton untuk kepentingan pengusaha bukan untuk infrastruktur jalan bagi kemaslahatan umat.

Khilafah dan Visi Infrastrukturnya

Tentu sangat berbeda visi pengadaan infrastruktur dalam negara Islam (khilafah) dan kapitalisme. Dalam Islam, memenuhi hajat rakyat dalam sarana dan fasilitas publik harus menjadi kewajiban negara. Termasuk di dalamnya infrastruktur jalan. Namun, visi dalam pembangunan infrastruktur pemerintah kapitalistik, hanya untuk memenuhi kebutuhan pemodal dan produsen.

Alhasil, pembangunan jalan termasuk tol hanya menghubungkan daerah-daerah yang menjadi sentral ekonomi yang di sana terdapat tambang juga perkebunan. Sehingga, pemerataan kesejahteraan tidak akan tercapai dengan visi pembangunan yang demikian. Sebab, semuanya hanya berbasis aliran modal atas pengusaha. Tentu realitas ini berbeda dengan visi pembangunan negara Islam (khilafah). Negara Islam telah menyediakan dana pembangunan yang berasal dari Baitul maal.

Dalam Islam, infrastruktur identik dengan prasarana yaitu segala sesuatu yang merupakan penunjang utama penyelenggaraan suatu proses. Infrastruktur sendiri bisa dipilah menjadi tiga bagian besar. Pertama, infrastruktur keras meliputi jalan raya, kereta api, bandara, dermaga, pelabuhan dan saluran irigasi.

Kedua, infrastruktur keras non fisik berkaitan dengan fungsi utilitas umum. Di antaranya ketersediaan air bersih beserta instalasi pengelolaan air dan jaringan pipa penyalur, pasokan listrik, jaringan telekomunikasi (telepon & internet), dan pasokan energi. Mulai dari minyak bumi, biodiesel dan gas serta pipa distribusinya.

Ketiga, infrastruktur lunak biasa pula disebut sebagai kerangka institusional atau kelembagaan. Meliputi berbagai nilai, (termasuk etos kerja), norma khususnya yang telah dikembangkan dan dimodifikasi menjadi peraturan perundang-undangan serta kualitas pelayanan umum yang disediakan pihak terkait khususnya pemerintah.

Secara umum, infrastruktur merupakan fasilitas umum yang dibutuhkan semua orang. Sehingga, termasuk dalam kategori marafiq al-jama’ah seperti air bersih, listrik dan sejenisnya. Begitu pula termasuk fasilitas umum yang tidak mungkin dimonopoli oleh individu seperti jalan raya, laut udara dan sejenisnya. Semuanya ini merupakan bagian dari infrastruktur yang dibutuhkan oleh seluruh manusia dan wajib disediakan negara. Karena ini merupakan fasilitas umum, maka penggunaannya gratis dan tanpa dipungut biaya.

Dalam kitab Al amwal fii dawlah Al-khilafah karya Al Allamah syekh Abdul Qadhim Zalum dijelaskan bahwa ada tiga strategi yang bisa dilakukan negara untuk membiayai proyek infrastruktur. Pertama meminjam kepada asing, termasuk lembaga keuangan global. Kedua, memproteksi beberapa kategori kepemilikan umum seperti minyak, gas, dan tambang. Ketiga, mengambil pajak dari umat atau rakyat.

Mengenai pinjaman dari negara asing atau lembaga keuangan global, maka strategi ini jelas keliru dan tidak dibenarkan oleh syariat. Sebab akan menimbulkan beberapa mudarat berikut.

Pertama, karena disertai bunga. Jika tidak pun, pasti disertai syarat mengikat sebab tidak ada makan siang gratis. Padahal, utang yang disertai dengan bunga secara qath’i hukumnya haram baik untuk individu maupun negara. Karena termasuk riba. Selain itu, berbagai persyaratan yang ditetapkan oleh kreditur kepada khilafah jelas akan menjeratnya. Sebagaimana yang pernah dialami oleh Khilafah Utsmani. Ini akan menyebabkan negara dan lembaga keuangan global mempunyai celah mendikte dan mengontrol khilafah. Hal ini jelas tidak boleh terjadi dan diharamkan.

Kedua utang luar negeri merupakan ancaman serius bagi negeri islam. Ini jugalah yang akan menjadi sebab kuatnya cengkraman kaum kafir pada negeri muslim. Karena itulah, khilafah haram menggunakan strategi ini untuk membiayai pembangunan infrastruktur.

Adapun memproteksi beberapa kategori kepemilikan umum seperti minyak, gas, dan tambang, maka khalifah bisa menetapkan pengeluarannya. Baik kilang minyak, gas dan barang tambang tertentu seperti minyak, fosfat, emas, tembaga dan sejenisnya. Untuk membiayai pembangunan infrastruktur, strategi ini boleh ditempuh khalifah. Kebijakan ini juga merupakan kebijakan yang tepat untuk mendanai kebutuhan infrastruktur.

Dasar kebolehan khalifah dalam mengambil strategi ini adalah Rasulullah saw. ketika menjabat sebagai kepala Negara. Begitu juga para khalifah setelah beliau pernah melakukan tindakan memproteksi tempat-tempat tertentu yakni kepemilikan umum. Sabda Nabi saw.,

“Tidak ada hak memproteksi kecuali milik Allah dan rasul-Nya. (HR. Abu Dawud)

Negara berhak memproteksi kepemilikan umum tersebut. Selain itu, hasilnya dapat dikhususkan untuk membiayai jihad, fakir, miskin dan seluruh kemaslahatan publik. Adapun mengambil pajak dari kaum muslim untuk membiayai infrastruktur, strategi ini hanya boleh dilakukan ketika Baitul maal tidak ada kas yang bisa digunakan. Itu pun hanya digunakan untuk membiayai sarana dan prasarana vital. Selain itu, pajak hanya boleh diambil dari kaum muslim laki-laki dan mampu. Selain dari kriteria itu tidak akan dibenarkan negara untuk mengambil pajak darinya.

Dengan demikian, dalam hal pengelolaan tambang, dibutuhkan perhatian negara yang teramat besar. Potensi tambang yang melimpah dapat dikelola dengan benar sesuai syariat-Nya. Sehingga, hasilnya akan dapat meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh umat.

Wallahualam Bish-Shawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *