Bersaksi, Sumpah, Keterangan Palsu Sama dengan Penipu?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Bersaksi, Sumpah, Keterangan Palsu Sama dengan Penipu?

Nahdoh Fikriyyah Islam

(Dosen dan Pengamatan Politik)

Kepalsuan! Baik saksi palsu, sumpah palsu, keterangan palsu merupakan bentuk dari perbuatan buruk yang disebut dengan kebohongan. Atau dengan istilah yang lebih tegas adalah penipuan. Sekarang sedikit diperhalus menggunakan istilah hoax. Karena dalam perbuatan atau perilaku yang penuh kepalsuan jauh dari kebenaran. Sehingga bisa jadi, dampaknya tidak hanya bagi pelaku hoax atau penipu, melainkan bisa memberikan efek domino yang merugikan banyak pihak.

Salah satu berita panas yang melibatkan kata atau istilah “palsu” dan cukup menggemparkan jagad negeri adalah kasus ijazah yang melibatkan orang nomor satu di Indonesia, yaitu Presiden Jokowi. Kasus yang konon dikabarkan sedang dalam proses pengadilan dan mubahalah melibatkan sederet orang- orang dari kalangan guru atau kyai, juga jurnalis senior.

Kasus tuntutan ijazah palsu ini sebenarnya bukan sidang yang berjalan satu atau dua minggu belakangan. Melainkan sudah lumayan lama. Dan tidak heran, jika kasus pelaporan yang melibatkan orang-orang tertentu terlebih kalangan petinggi negara, terkesan sangat rumit dan berbelit-belit untuk diselesaikan. Sebut saja kasus dugaan ijazah palsu ini atau seperti kasus yang melibatkan kadivprovam negara ini yang sudah berbulan-bulan di pengadilan. Tetapi belum jelas kemana ujung dari persidangan. Untuk menentukan yang terlapor bersalah atau tidak, hukum di negeri ini bisa ditarik ulur oleh banyak penafsiran.

Sebaliknya, jika kasus yang dilayangkan adalah perkara yang lain dan melibatkan orang-orang yang tidak ada hubungannya dengan kekuasaan, begitu cepat untuk dieksekusi. Terbukti dari kasus pembubaran ormas-ormas Islam dan penetapan tersangka kelompok radikal atau teroris yang notabene masih diragukan kebenarannya oleh banyak pihak.

Kasus ijazah palsu yang melibatkan Presiden aktif saat ini, juga dipertontonkan berbelit. Tidak terkecuali dengan kondisi saksi-saksi maupun bukti. Dan salah satu yang menjadi sorotan publik belakangan adalah saksi yang konon dikabarkan adalah kepala sekolah. Orang pendidikan. Namun, ada informasi latar belakang saksi yang diragukan oleh tim advokasi bela Gus Nur dan Bambang Tri sebagai pelapor.

Menurut informasi yang dilansir dari faktakini.info.id, saksi tersebut bernama Martharini Christiningsih, Spd. Seorang Kepala Sekolah SD Tirtoyoso No. 111, Surakarta. Proses pengambilan keterangan dari saksi Martharini ditemukan beberapa kejanggalan-kejanggalan yang menurut tim advokasi pelapor layak untuk ditolak dan dicabut saja.

Adapun kejanggalan-kejanggalan tersebut menurutnya adalah pertama, saksi tersebut saat diperiksa dalam BAP di Polres Surakarta menggunakan KTP yang beragama Islam, memberikan keterangan dengan identitas Islam dan mengakui keterangan yang dibuat yang menyatakan bahwa saksi sebagai umat Islam merasa tidak nyaman dan tidak setuju karena Al Qur’an yang suci, dst. Kemudian diakui benar-benar keterangan saksi, bukan atas arahan atau tekanan dari penyidik. Padahal agama saksi yang dimaksud adalah Kristen Protestan.

Seharusnya, jika benar saksi adalah seorang Muslim, menurut tim advokat pelapor tidak harus ada keberatan dalam dirinya untuk melakukan mubahalah. Karena itu bagian dari ajaran Islam. Justru saksi menolaknya dengan mempersoalkan mubahalah. Terlebih, saksi telah mengaku Muslim, seolah-olah memberikan kesaksian atas dan untuk umat Islam. Bukankah dampaknya sangat luas?

Kedua, masih menurut penuturan tim advokat Gus Nur dan Bambang Tri, keterangan saksi yang dimaksud menyatakan Jokowi adalah alumni SDN Tirtoyosio juga tidak relevan, apalagi hanya sekolah 3 tahun (dari tahun 1971 sampai 1973). Dengan dalih pindahan dari SD lain tanpa didukung dokumen mutasi.

Pelapor, yaitu Bambang Tri dalam tulisannya di Buku Jokowi Undercover 2 tidak pernah mempersoalkan SD Jokowi, melainkan hanya mempersoalkan ijazah SD Jokowi yang menurut Bambang Tri berdasarkan penelitiannya palsu. Dalam persidangan, saksi terkait tidak menunjukan ijazah asli Jokowi. Hanya membawa copy ijazah dan buku induk sekolah.

Selanjutnya ketiga, kasus ini jelas belum akan tuntas sepanjang Jaksa belum menghadirkan terlapor yang menurut persidangan sebagai korban dalam kasus ijazah palsu untuk hadir langsung dan menunjukan ijazah aslinya dihadapan persidangan. Kalau sampai terlapor yang jadi korban tidak dihadirkan, maka selayaknya Gus Nur dan Bambang Tri harus diputus bebas. Seperti bebasnya Nikita Mirzani yang kasusnya diputus berakhir karena korban Dito Mahendra tidak dapat hadir dalam persidangan.

Lalu, pertanyaannya adalah, bagaimana menyikapi kasus ini dalam perspektif Islam sebagai jawaban yang harus dipegang bagi seorang Muslim?

Pertama, keberadaan status saksi yang diragukan oleh tim advokat Gus Nur dan Bambang Tri tentang keyakinan adalah hal yang memang seharusnya diperjelas dan dipertegas. Karena jika seseorang bersaksi dan disumpah tidak sesuai dengan keyakinannya, ada indikasi besar bahwa pelaku yang bersaksi menyimpan sesuatu. Karena, seseorang yang bersaksi benar, alaminya tidak perlu menyembunyikan identitasnya jika tidak ada ancaman maupun tekanan. Apalagi perkara keyakinan yang merupakan persoalan mendasar seorang manusia. Jika untuk keyakinannya saja seseorang berani berbohong, lalu bagaimana urusan cabangnya bisa dipercaya begitu saja? Bisa dipastikan paling besar, kesaksiannya adalah bohong.

Kedua, menjadikan saksi dengan keterangan berbeda dengan BAP, juga merupakan kebohongan. Seharusnya antara BAP yang telah tertulis menjadi rujukan utama persidangan. Jika ada perbedaan, maka wajib dicari kebenarannya. Jadi wajar dan sudah tepat, jika tim advokasi pelapor meragukan kesaksian Martharini yang berbeda identitasnya antara BAP, dan kenyataan.

Ketiga, terdapat semacam skenario pencitraburukan terhadap Islam. Atau dengan kata lain penistaan agama (Islam). Sebab bukan beragama Islam tetapi mengaku Muslim dan bersaksi seolah-olah sebagai kesaksian umat Islam. Dan ini berpeluang memberikan kesan buruk terhadap citra Islam yang tinggi dan mulia. Saksi terkait juga menurut tim advokasi pelapor sudah bisa dilaporkan dengan pasal penistaan agama. Islam tidak membenarkan ajaran penipuan keyakinan dan juga kebohongan persaksian.

Ketiga, mudahnya seorang saksi mengucapkan kebohongan atau berani menipu imannya adalah ciri-ciri produk sekulerisme. Dan nyata, bahwa sekulerisme yang diterapkan di negeri ini telah menghasilkan jiwa-jiwa yang rapuh dalam aqidah dan lemah saat berhadapan dengan hukum. Tentu perlu penelitian lebih mendalam penyebab saksi berani berbohong secara individu dan alasan behind the scene. Karena ia tengah bersaksi untuk seorang penguasa tertinggi negara. Tarikan dan tekanan politiknya bisa saja sangat kuat.

Fenomena kepalsuan keterangan saksi sebenarnya bukanlah hal baru. Sejak zaman dahulu, saksi palsu atau keterangan palsu sudah ditemukan dalam kasus-kasus persidangan. Tentu saja dengan latar belakang isu yang berbeda.

Fenomena ijazah palsu juga sudah banyak terjadi di lapangan. Hanya saja, tidak diperkarakan karena tidak ada kepentingan politik didalamnya. Namun, untuk kasus identitas seorang pemimpin memang seharusnya semua benar dan bukan palsu. Karena pemimpin adalah cerminan bangsa dan rakyat. Jika pemimpinnya saja berani tidak jujur hatta perkara sepele seperti administrasi identitas, bagaimana lagi di bawahnya? Bukankah ikan busuk itu dimulai dari kepalanya?

Jika bercermin dari kacamata atau perspektif Islam, kebohongan atau penipuan sekecil apapun tetap dianggap dosa atau kejahatan. Walaupun seseorang berdalih hanya membohongi dirinya, Islam tidak membenarkan seorang Muslim untuk menzalimi dirinya sendiri. Apalagi jika sampai merugikan khalayak ramai, jelas akan dijatuhi sanksi atau hukuman yang sesuai dengan ketentuan Islam.

Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an:

اَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاۤءَ لِلّٰهِ وَلَوْ عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ اَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ ۚ اِنْ يَّكُنْ غَنِيًّا اَوْ فَقِيْرًا فَاللّٰهُ اَوْلٰى بِهِمَاۗ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوٰٓى اَنْ تَعْدِلُوْا ۚ وَاِنْ تَلْوٗٓا اَوْ تُعْرِضُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih mengetahui kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa: 135)

Ayat tersebut menjelaskan sekaligus menegaskan agar seseorang khususnya setiap Muslim, wajib bersaksi karena Allah. Artinya, tidak dibenarkan ada kebohongan dan kepalsuan didalamnya sebagai bentuk dari penampakan konsep keadilan dalam ajaran Islam.

Oleh karena itu, jika negeri ini menginginkan kasus-kasus kepalsuan itu segera diakhiri atau dicegah, maka hanya Islam yang mampu menyelesaikannya. Sebab seseorang akan terbina imannya dengan kuat ketika Islam diterapkan sebagai peraturan hidup di tengah-tengah masyarakat dan negara. Maka pribadi-pribadi jujur akan mudah terbentuk dan ditemui.

Karena Islam mengajarkan wajib jujur untuk perkara sekecil apapun. Masyarakat juga akan membentengi setiap perbuatan yang mengarah kepada maksiat atau dosa seperti kebohongan atau penipuan. Serta peran negara yang aktif dan peduli akan menutup celah-celah seseorang untuk berbuat tipu atau bohong.

Andai bohong atau menipu adalah perkara yang ahsan bagi manusia, maka islamlah yang akan mendorongnya. Tetapi dusta, kepalsuan, dan bohong adalah dosa dan pelakunya bisa dikategorikan munafik jika melakukannya. Sehingga Islam sangat tegas melarang dan mencegah terjadinya kepalsuan dan kebohongan.

Wallahua’lam bishshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *