Bahan Pangan Murah Bisakah?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Bahan Pangan Murah Bisakah?

Oleh Aisyah Yusuf

 (Pendidik Generasi dan Aktivis Subang)

 

“Bagai pungguk merindukan bulan” artinya mengharap sesuatu yang suli sekali terwujud. Peribahasa tersebut menggambarkan bagaimana kondisi hari ini. Dulu, lima tahun lalu kita mendapatkan janji-janji gombal dari para calon pemimpin akan mendapatkan harga BBM yang tidak, tidak akan adanya impor beras dan bahan-bahan pokok lainnya, kemudian juga akan mendapatkan bahan pangan yang murah, dan berbagai kesejahteraan lainnya. Namun, itu semua hanya menjadi ilusi saja. Buktinya, tak lama dari pengangkatan pimpinan pun BBM mengalami kenaikan secara sembunyi-sembunyi, dan impor bahan pangan pun tak bisa dielakkan lagi.

Begitupun dengan kondisi hari ini, kenaikan bahan pangan terus mengalami kelonjakan. Mulai dari harga beras, cabe merah, cabe rawit hingga gula. Misalnya saja, di pasar Inpres dan pasar Pamanukan Subang, terjadi kenaikan harga beras mencapai 10% – 20% dibanding sebelumnya. Beras premium dijual Rp 325ribu/25kg, naik dari sebelumnya Rp 320ribu, sementara beras medium menjadi Rp 310ribu/25 kg dari Rp 290 ribu sebelumnya. Kenaikan ini terjadi akibat menipisnya stock gabah. Selain itu, kenaikan pun terjadi pada harga cabai rawit merah, yakni Rp 120ribu/kilogram. Kemudian juga pada gula pasir, dari yang sebelumnya Rp 15.000/kg menjadi Rp 16.500/kg. (mediaindonesia.com 24/11/2023)

Kenaikan harga bahan pangan itu biasa terjadi jika memasuki natal dan tahun baru, karena banyaknya permintaan. Namun, kondisi saat ini jauh sebelum natal dan tahun baru tiba pun sudah melonjak. Kasus ini tidak lain akibat dihapuskannya subsidi untuk menekan harga pasar. Namun pencabutan subsidi ini dianggap intervensi pemerintah oleh sistem neoliberalisme. Jadi singkatnya, sistem neoliberalisme ini pada dasarnya adalah anti-subsidi, karena neoliberalisme menganggap pelayanan publik harus mengikuti mekanisme pasar, yaitu negara harus menggunakan prinsip untung-rugi dalam penyelenggaraan bisnis publik. Pelayanan publik murni seperti dalam bentuk subsidi dianggap pemborosan dan inefisiensi. (http://id.wikipedia.org).

Subsidi dalam Islam

Islam berbeda dengan sistem neoliberalisme-kapitalisme. Jika Kapitalisme memandang subsidi dari perspekstif intervensi pemerintah atau mekanisme pasar, Islam memandang subsidi dari perspektif syariah, yaitu kapan subsidi boleh dan kapan subsidi wajib dilakukan oleh negara.

Jika subsidi diartikan sebagai bantuan keuangan yang dibayar oleh negara maka Islam mengakui adanya subsidi dalam pengertian ini. Subsidi dapat dianggap salah satu cara (uslub) yang boleh dilakukan negara (Khilafah), karena termasuk pemberian harta milik negara kepada individu rakyat (i’tha’u ad-dawlah min amwaliha li ar-ra’iyah) yang menjadi hak Khalifah. Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah memberikan harta dari Baitul Mal (Kas Negara) kepada para petani di Irak agar mereka dapat mengolah lahan petanian mereka. (An-Nabhani, 2004: 119).

Atas dasar itu, boleh negara memberikan subsidi kepada individu rakyat yang bertindak sebagai produsen, seperti subsidi pupuk dan benih bagi petani, atau subsidi bahan baku kedelai bagi perajin tahu dan tempe, dan sebagainya. Boleh juga negara memberikan subsidi kepada individu rakyat yang bertindak sebagai konsumen, seperti subsidi pangan (sembako murah), atau subsidi minyak goreng, dan sebagainya.

Subsidi boleh juga diberikan negara untuk sektor pelayanan publik (al-marafiq al-’ammah) yang dilaksanakan oleh negara, misalnya: (1) jasa telekomunikasi (al-khidmat al-baridiyah) seperti telepon, pos, fax, internet; (2) jasa perbankan syariah (al-khidmat al-mashrifiyah) seperti transfer, simpanan, dan penukaran valuta asing; dan (3) jasa transportasi umum (al-muwashalat al-’ammah) seperti kereta api, kapal laut, dan pesawat terbang. (Zallum, 2004: 104)

Subsidi untuk sektor energi (seperti BBM dan listrik) dapat juga diberikan negara kepada rakyat. Namun perlu dicatat, bahwa BBM dan listrik dalam Islam termasuk barang milik umum (milkiyah ‘ammah). Dalam distribusinya kepada rakyat, Khalifah tidak terikat dengan satu cara tertentu. Khalifah dapat memberikannya secara gratis, atau menjual kepada rakyat dengan harga sesuai ongkos produksi, atau sesuai harga pasar, atau memberikan kepada rakyat dalam bentuk uang tunai sebagai keuntungan penjualannya, dan sebagainya. Di sinilah subsidi dapat juga diberikan agar BBM dan listrik yang didistribusikan itu harganya semakin murah dan bahkan gratis jika memungkinkan. (Zallum, 2004: 83).

Semua subsidi yang dicontohkan di atas hukum asalnya boleh, karena hukum asal negara memberikan hartanya kepada individu rakyat adalah boleh. Pemberian ini merupakan hak Khalifah dalam mengelola harta milik negara (milkiyah al-dawlah). Khalifah boleh memberikan harta kepada satu golongan dan tidak kepada yang lain; boleh pula Khalifah mengkhususkan pemberian untuk satu sektor (misal pertanian), dan tidak untuk sektor lainnya. Semua ini adalah hak Khalifah berdasarkan pertimbangan syariah sesuai dengan pendapat dan ijtihad-nya demi kemaslahatan rakyat. (An-Nabhani, 2004: 224).

Namun, dalam kondisi terjadinya ketimpangan ekonomi, pemberian subsidi yang asalnya boleh ini menjadi wajib hukumnya, karena mengikuti kewajiban syariah untuk mewujudkan keseimbangan ekonomi (at-tawazun al-iqtishadi) (Thabib, 2004:318; Syauman, t.t.: 73). Hal ini karena Islam telah mewajibkan beredarnya harta di antara seluruh individu dan mencegah beredarnya harta hanya pada golongan tertentu:

كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ اْلأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ

Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian. (QS al-Hasyr [59] : 7).

Nabi saw. Telah membagikan fai‘ Bani Nadhir (harta milik negara) hanya kepada kaum Muhajirin, tidak kepada kaum Anshar, karena Nabi saw. Melihat ketimpangan ekonomi antara Muhajirin dan Anshar. (An-Nabhani, 2004: 249). Karenanya, di tengah naiknya harga minyak mentah dunia sekarang, subsidi BBM tidak sekadar boleh, tetapi sudah wajib hukumnya, agar ketimpangan di masyarakat antara kaya dan miskin tidak semakin lebar.

Wallahu’alam bishshawwab

 

 

 

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *