Aksi Boikot Produk Pro Yahudi, Solusi untuk Palestina, Benarkah?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Aksi Boikot Produk Pro Yahudi, Solusi untuk Palestina, Benarkah?

Oleh Irma Faryanti

Pegiat Literasi 

 

Konflik yang terjadi antara Palestina dan Israel masih berlangsung hingga detik ini. Korban jiwa terus berjatuhan, pemukiman dan berbagai sarana umum pun dihancurkan, sehingga memicu rasa prihatin saudara seiman. Dalam ketidakmampuan untuk berbuat banyak atas penderitaan kaum Muslim di sana, berbagai upaya dukungan dilakukan. Mulai dari aksi damai, doa bersama, menggalang dana, hingga boikot produk menjadi agenda yang terus digaungkan.

Menyikapi perilaku keji bangsa Yahudi ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa Nomor 83/2023 tentang kewajiban mendukung perjuangan Palestina yang ditandatangani pada 8 November lalu. Dukungan ini termasuk melalui pendistribusian zakat, infaq dan sedekah sebagaimana yang tercantum dalam poin (1), dengan alasan bahwa saat kondisi darurat dan kebutuhan mendesak penyalurannya bisa ditujukan ke tempat yang lebih jauh, walau idealnya harus didistribusikan pada mustahik yang berada di sekitar muzakki. (CNBC Indonesia, Jumat 10 November 2023)

MUI juga menghimbau umat Islam untuk melakukan penggalangan dana kemanusiaan, mendoakan kemenangan, dan melaksanakan salat gaib untuk para syuhada. Pemerintah juga diminta mengambil langkah tegas untuk membantu perjuangan rakyat Palestina dengan cara jalur diplomasi PBB untuk menghentikan perang, memberi sanksi terhadap Israel, mengirimkan bantuan kemanusiaan, melakukan konsolidasi dengan negara-negara OKI agar bangsa Yahudi menghentikan agresi.

Selain itu, umat juga diseru untuk menghindari transaksi dan penggunaan produk yang terafiliasi dan mendukung penjajahan. Berawal dari sinilah seruan boikot produk Israel mulai menggema di seluruh wilayah, masyarakat diajak untuk meninggalkan dan beralih pada hasil karya dalam negeri. Pemilik usaha furniture Dekorin Wood, Darmawan Nasution setuju akan hal ini, ia berpendapat bahwa untuk menyuarakan dukungan penghentian kekerasan di Gaza tidak mesti dengan perang atau demo besar-besaran, tapi bisa juga dengan mengurangi ketergantungan terhadap barang-barang mereka. Hal ini juga bisa menjadi peluang bagi UMKM untuk bisa merebut pasar, jika para pelaku usaha menunjukkan keberpihakannya pada Palestina sebagai salah satu bagian dari marketing.

Setali tiga uang dengan Darmawan, Hadisatul Ahadiyah selaku Ketua UMKM Manggasari Kecamatan Tambaksari, Jawa Timur, mengungkapkan hal senada. Bahwa aksi boikot produk-produk Israel akan menjadi peluang besar bagi pelaku usaha menengah. Mereka bisa berinovasi agar bisa setara dengan barang-barang negara zionis tersebut. Untuk itu diperlukan peran pemerintah dalam mendampingi pelaku usaha melalui pelatihan-pelatihan agar hasil karya mereka mampu berdaya saing dan naik kelas.

Namun pernyataan berbeda diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad. Ia menyatakan bahwa boikot bukan menjadi salah satu solusi dalam menyelesaikan masalah. Karena pada faktanya, tidak sedikit masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada perusahaan-perusahaan tersebut. Begitu pula dengan Jusuf Kalla (JK), Mantan Wakil Presiden RI ini berpendapat bahwa memboikot produk Israel tidak akan signifikan dalam menghentikan agresi militer di Gaza. Menurutnya tidak ada barang negara zionis yang secara langsung masuk ke Indonesia, pun jika ada biasanya melewati negara lain.

Boikot diserukan dengan maksud agar aliran dana dari konsumen muslim yang membeli produk pro Yahudi bisa dicegah. Hal ini diharapkan akan terwujud, seandainya seluruh umat Islam di Indonesia bahkan dunia melakukannya secara masif dan satu suara dalam melakukannya. Dengan begitu pasukan Israel akan lemah dan menghentikan kekerasan di bumi Palestina.

Namun sayangnya, harapan itu bak panggang jauh dari api. Alih-alih berhenti, serangan justru semakin menjadi. Para penguasa baik di negeri ini maupun dunia, hanya mampu mengecam di berbagai forum. Padahal yang dibutuhkan Palestina adalah pasukan yang bisa membantu mereka, bukan kecaman semata. Sikap abai justru berbanding terbalik dengan dukungan Amerika Serikat terhadap Yahudi yang memberi bantuan militer sebesar 14,3 miliar US dolar atau sekitar Rp225,4 triliun. Sementara bantuan negara ini hanya berupa logistik dan kain kafan.

Inilah yang terjadi saat negeri-negeri kaum Muslim dikuasai nasionalisme. Sebuah turunan kapitalisme yang membuat umat terbelenggu dan bersikap tidak acuh terhadap saudara seimannya. Ide inilah yang telah mengerat wilayah kekuasaan Islam menjadi lebih dari 50 negara pada awal abad ke 20. Mereka seperti buih di lautan dan menjadi rebutan kaum kafir barat. Oleh karenanya, sikap bungkam penguasa yang terjadi saat ini adalah bukti nyata kokohnya sekat kebangsaan yang melandasinya.

Gencarnya seruan boikot, pada dasarnya dilakukan sebagai bentuk solidaritas terhadap sesama umat Islam yang tengah mengalami penderitaan akibat serangan penjajah. Sayangnya hal ini hanya sebatas gerakan akar rumput, karena faktanya penguasa yang memiliki wewenang besar dalam memutuskan justru tidak melakukan apapun. Padahal aksi ini akan lebih efektif ketika dilakukan secara total oleh negara dengan cara melarang produk-produk pro Israel untuk beredar di Indonesia dan memutus hubungan dagang dengan entitas Yahudi beserta para pendukungnya.

Keengganan penguasa untuk memboikot produk pro Israel menunjukkan bahwa negara telah terjajah secara ekonomi dan bergantung pada para pemilik modal dan investor. Kekhawatiran akan hengkangnya mereka dari penanaman investasi di negeri ini begitu besar, sehingga dibuatlah regulasi yang sangat menguntungkan kaum oligarki. Dari sini nampak jelas mengapa penguasa enggan melakukan aksi boikot terhadap produk Yahudi. Andai negara mampu bersikap tegas dan independen maka pemboikotan bukan menjadi perkara yang sulit dilakukan.

Lain halnya ketika Islam yang diterapkan sebagai landasan bernegara. Penguasa tidak hanya mencukupkan diri dengan mengutuk dan mengecam saja, tapi juga mengirimkan pasukan militer untuk menyolusikan penindasan yang terjadi pada sesama umat Islam. Setidaknya hal itulah yang mesti dilakukan, sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS. al anfal ayat 60 yang artinya:

“Persiapkanlah untuk (menghadapi) mereka apa yang kamu mampu, berupa kekuatan (yang kamu miliki) dan pasukan berkuda. Dengannya (persiapan itu) kamu membuat gentar musuh Allah, musuh kamu dan orang-orang selain mereka.”

Sayangnya, wujud pembelaan hanya nampak melalui aksi solidaritas, doa dan donasi semata. Tanpa melakukan sesuatu yang berarti. Selebihnya, mereka bungkam seribu bahasa dan menutup mata akan penderitaan yang dialami saudaranya. Mata dan hati mereka seakan mati, terkunci tanpa sedikit pun menunjukkan empati.

Padahal, pembebasan wilayah Palestina telah dirancang sejak masa Rasulullah saw. dan baru terlaksana di masa kepemimpinan khalifah Umar bin Khaththab secara damai pasca pengiriman pasukan. Walaupun sempat diambil alih oleh pasukan Salib, tapi berhasil direbut kembali pada tahun 1187 oleh shalahuddin al Ayubbi. Dan saat ini, keberadaannya kembali dikuasai kaum Yahudi, saat umat tidak memiliki naungan akibat runtuhnya kepemimpinan Islam pada tahun 1924.

Aksi boikot sesungguhnya bukan perkara yang mampu menjadi solusi hakiki untuk menyelamatkan Palestina dari kekejaman Israel. Karena satu-satunya yang bisa menyelesaikan permasalahan adalah terwujudnya kembali sebuah kepemimpinan Islam dalam kendali seorang penguasa yang akan bertanggung jawab penuh atas urusan rakyatnya dan menjaga setiap jengkal tanah milik umat Islam.

Wallahu a’lam bishshawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *