Vaksin Covid-19 Berbayar, Liberalisasi Kesehatan?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Vaksin Covid-19 Berbayar, Liberalisasi Kesehatan?

Marwana S, S.Kep.Ns

(Praktisi Kesehatan)

 

Presiden Joko Widodo pernah mengingatkan bahwa penanganan pasien Covid-19 tidak lagi gratis atau ditanggung pemerintah, apabila sudah terjadi perubahan status dari pandemi menjadi endemi. Hal ini dipertegas Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, yang menyatakan program vaksinasi Covid-19 tidak lagi ada untuk masyarakat umum mulai 1 Januari 2024.

Nadia menjelaskan, harga vaksin covid-19 berbayar akan ditentukan oleh masing-masing fasilitas pelayanan kesehatan yang menyediakan vaksin tersebut. Artinya pemerintah tidak terlibat lagi dalam penentuan harga vaksin Covid-19 yang berbayar. (Kompas.com).

Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin, memperkirakan harga vaksin Covid-19 mencapai ratusan ribu rupiah per dosis dan akan disuntikkan setiap enam bulan sekali untuk booster ulang. Program vaksin ini tertuang dalam Peraturan Menkes (Permenkes) Nomor 23 tahun 2023 tentang pedoman penanggulangan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). (Kompas.com).

Kebijakan ini mendapat kritik dari Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Kurniasih Mufidayati, yang menyatakan kebijakan vaksin Covid-19 berbayar yang diberlakukan mulai 1 Januari 2024 belum tepat untuk diberlakukan. Sebab pada akhir tahun 2023 terdapat peningkatan kasus Covid-19, ada 318 kasus baru dan satu kematian. Di tengah naiknya kasus tersebut pemerintah menetapkan vaksin Covid berbayar, meski masih menyediakan vaksin gratis untuk yang belum pernah mendapatkan vaksin dan kelompok rentan. (Antaranews.com).

Penetapan vaksin berbayar menggambarkan potret negara kapitalis yang meniscayakan kesehatan menjadi objek komersial bagaikan barang atau jasa yang ditujukan untuk mencari untung. Negara hanya bertindak sebagai regulator yang menyerahkan pelayanan kesehatan kepada pihak swasta. Kalaupun negara ikut berperan dengan adanya subsidi kesehatan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), jumlahnya sangat terbatas sehingga pelayanan kesehatan semakin sulit diakses masyarakat, karena harganya makin mahal padahal jumlah warga miskin masih cukup banyak. Konsep kesehatan dalam kapitalisme dilandasi oleh sudut pandang sekularisme dengan bentuk liberalisasi kesehatan, konsep ini dijalankan seluruh dunia di bawah kontrol otoritas World Health Organization (WHO).

Pada tahun 2005 seluruh anggota WHO menandatangani resolusi soal Universal Health Coverage (UHC), agar semua negara anggota mengembangkan sistem pembiayaan kesehatan dengan tujuan menjamin kesehatan bagi seluruh rakyat. Sistem pembiayaan yang dimaksud tidak lain adalah asuransi yang melibatkan perusahaan pelat merah dan milik swasta.

Dengan demikian berharap kesehatan gratis termasuk jaminan preventif dari penyakit menular dalam sistem kapitalisme adalah utopis. (Muslimah Media Center).

Kondisi ini tidak akan terjadi dalam negara yang menerapkan Islam sebagai aturan kehidupan. Dalam Islam pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar, maka negara wajib menyediakan berbagai fasilitas diantaranya: rumah sakit, klinik, dokter, tenaga kesehatan, dan fasilitas kesehatan yang diperlukan oleh masyarakat. Sebab fungsi negara adalah mengurus urusan rakyat sebagaimana sabda Rasulullah Saw,

“Imam atau penguasa adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang ia urus.” (HR Bukhari).

Jaminan kesehatan dalam Islam memiliki 3 sifat pertama, berlaku umum tanpa diskriminasi, kedua, bebas biaya atau gratis dan ketiga, seluruh rakyat harus diberi kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan oleh negara. Pengadaan layanan, sarana, dan prasarana wajib diupayakan oleh negara bagi seluruh rakyatnya. Sebab jika tidak maka akan berakibat terjadinya bahaya yang mengancam jiwa. Rasulullah Saw. bersabda,

“Tidak boleh menimbulkan mudharat (bahaya) bagi diri sendiri dan juga mudharat (bahaya) bagi orang lain di dalam Islam.” (HR Ibnu Majah dan Ahmad).

Islam menetapkan negara wajib membentengi masyarakat menghadapi serangan penyakit menular. Dalam hal ini negara akan memfasilitasi para ilmuwan untuk mengembangkan teknologi sendiri sehingga mampu mencukupi kebutuhan vaksin secara gratis. Negara juga akan menerapkan lockdown atau menutup wilayah sumber penyakit untuk memberantas wabah.

Negara wajib mengalokasikan anggaran untuk memenuhi kebutuhan layanan kesehatan bagi rakyat dan tidak boleh mengalihkan tanggung jawab kepada pihak lain, baik kepada pihak swasta maupun kepada rakyatnya sendiri. Pemberian jaminan kesehatan seperti ini tentu membutuhkan dana yang besar dan dana tersebut bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh syariah, diantaranya: Dari hasil harta pengelolaan hutan, tambang, minyak, gas, dan sebagainya. Seperti sumber-sumber kharaj, jizyah, ghanimah, fai, usyur dan lainnya.

Semua itu akan menjamin terpenuhinya pelayanan kesehatan secara memadai dan gratis untuk seluruh rakyat, tentu saja dengan kualitas yang terbaik. Demikianlah sistem Islam menjamin kesehatan terbaik bagi seluruh warga negaranya.

Wallahu a’lam bish-shawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *