Oleh: Desri Ahriani
Krisis Pangan di Tengan Pandemi
Akibat pemberlakuan lockdown pada masyarakat, baik Indonesia dan negeri-negeri lainnya yang mengalami Pandemi, banyak para pekerja bekerja dari rumah, transportasi dihentikan, penutupan sektor usaha, hingga mewajibkan masyarakat untuk tinggal di rumah, dan hanya keluar untuk urusan penting. Khususnya di Indonesia sendiri, terjadi tindakan PHK pada karyawan. Sehingga rakyat dibeberapa wilayah mengalami krisis pangan dan terjadi ancaman kelaparan. Walaupun pemerintah telah memberikan BANSOS (bantuan sosial) pada masyarakat tapi nyatanya tidak mampu memenuhi secara totalitas kebutuhan pangan.
Bahkan, pemberian Bantuan sosial ke masyarakat oleh pemerintah tidak tersebar secara merata. Masih banyak masyarakat yang tidak mendapatkan bantuan sosial. Parahnya, penyebaran bantuan sosial di berbagai wilayah menggunakan aturan kaya miskin. Sehingga menimbulkan kecemburuan sosial di tengah masyarakat. tidak adanya pengontrolan ketat dari pemerintah mengakibatkan situasi demikian terjadi. Jadi, sangat nampak kerusakan sistem kapitalisme yang tidak mampu mengatasi kebutuhan jasmani masyarakat ditengah pandemi hari ini..
Realitinya, Lembaga dunia World Food Program mengatakan masyarakat dunia menghadapi ancaman kelaparan besar-besaran dalam beberapa bulan lagi akibat resesi ekonomi yang dipicu pandemi COVID-19 atau virus Corona. Saat ini ada 135 juta orang menghadapi ancaman kelaparan. Proyeksi dari WFP menunjukkan jumlahnya bisa meningkat dua kali lipat menjadi 270 juta orang. Jumlah ini masih bisa bertambah karena ada sekitar 821 juta orang yang kurang makan. Sehingga, total warga dunia yang bisa mengalami bencana kelaparan melebihi 1 miliar orang. (TEMPO.CO, Washington)
Sedangkan di Indonesia, krisis pangan dan ancaman kelaparan yang kian melanda masyarakat, sehingga menimbulkan keprihatinan terhadap rakyat lainnya. Hal ini terungkap dalam laporan penelitian yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB) bersama International Food Policy Research Institute (IFPRI) bertajuk Policies to Support Investment Requirements of Indonesia’s Food and Agriculture Development During 2020-2045 [pdf]. Indonesia memiliki Sebanyak 22 juta penduduk yang masih mengalami kelaparan kronis. Jumlah tersebut sekitar 90 persen dari total jumlah penduduk miskin Indonesia, yakni 25 juta jiwa.
Kegagalan Kapitalisme
Masalah pangan adalah hal yang urgen dalam kelangsungan hidup manusia. Ketika pangan tidak terpenuhi maka manusia akan mengalami kelaparan dan berdampak pada kematian. Di situasi pandemi ini, semakin membuat pemenuhan jasmani masyarakat melemah dan terjadi ancaman kelaparan. Walaupun Menteri Pertanian RI, Syahrul Yasin Limpo (SYL), sempat menyatakan bahwa stok pangan nasional aman selama pandemi. Dari neraca pangan nasional, Indonesia memiliki neraca yang cukup bagus dan dapat dikatakan terkendali dengan baik. Sebab semuanya cukup tersedia dari hasil pertanian di seluruh Indonesia.
Menurut data kementeriannya, SYL menyatakan bahwa dari neraca pangan pada Februari, pemerintah masih punya stok pangan yang cukup besar. SYL mendata, sedikitnya kurang lebih 3,5 juta ton. Kemudian pada Februari 2020 lalu, ada perkiraan produksi beras dan sawah di Indonesia berproduksi hampir 12,4 juta. Ditambah dengan stok di Bulog dan di penggilingan, jadi total stok kurang lebih menjadi 15 juta (ton).
Namun, problem utamanya itu bukan dari stok pangan yang mencukupi atau tidak. Tetapi, apakah pendistribusian pangan tersebut sudah tersebar merata pada masyarakat? Pasalnya, toh masih banyak masyarakat yang mengalami kelaparan akibat pangan mereka tidak terpenuhi. Hal ini menandakan bahwa mencukupinya stok pangan tidak menjadi patokan terpenuhinya kebutuhan mereka. Makin bengasnya pandemi membuat masyarakat bingung mendapatkan pangan untuk memenuhi kebutuhannya dan keluarganya dengan cara apa, apalagi mereka yang sudah terlanjur mendapat PHK di tempat kerjanya.
Percuma saja stok pangan yang memadai jikalau pengelolaan dan pendistribusian tidak dilakukan dengan efektif. Masyarakat tidak hanya butuh data stok pangan yang membuat mereka senang, tetapi mereka butuh tindakan langsugnya. Kalau memang pangan tersebut diperuntukkan untuk masyarakat, seharusnya pangan itu telah menyebar luas dengan merata. Sehingga tidak ada lagi berita mengenai ancaman kelaparan di tengah masyarakat.
Kapitalisme membangun pertanian bukanlah untuk ketahanan pangan demi kemaslahatan rakyat namun untuk mengejar target ekonomi semata. Sehingga abai terhadap ketahanan pangan bagi rakyatnya sendiri. Ketidakjelasan visi ini membiarkan negara terperangkap dalam jebakan impor pangan yang direkayasa lembaga internasional dan negara-negara adidaya.
Sungguh menjadi pertanda, sistem yang diterapkan pemerintah yakni Kapitalisme ini hanya mampu memberikan solusi yang semu. Bahkan semakin memperkeruh keadaan, hal demikian sangat dirasakan secara nyata oleh masyarakat. Kegagalan kebijakan pemerintah yang disodorkan kapitalisme untuk masyarakat begitu gamblang kerusakan dan ketidakbecusannya. Sehingga peristiwa pandemi tidak berujung pada penyelesaian secara akurat. Dengan situasi yang seperti semakin memberikan keyakinan bahwa hegemoni kapitalisme berada diambang kehancuran.
Bagaimana Uslub Syariat Mengatasi Ini?
Yah, kita manusia mengetahui tidak ada sesuatu hal yang terjadi di kehidupan ini tanpa izin Al Khaliq. Begitu juga dengan menyeruaknya pandemi di seluruh negeri. Tapi perlu di pikirkan, hal ini terjadi karena ulah manusia itu sendiri dan sebagai bentuk teguran dari Allah SWT.
Di tengah ketidakmampuan sistem kapitalisme neoliberal menyelamatkan manusia dari wabah, diikuti krisis multidimensi yang akan terjadi pascawabah, seharusnya makin menyadarkan kaum muslimin bahwa kita butuh sistem baru. Sistem yang akan menyelamatkan manusia dan dunia dari berbagai malapetaka, serta membawa solusi yang akan menyejahterakan. Sistem hari ini telah gagal menyejahterakan manusia, baik pada saat tanpa wabah, terlebih lagi ketika terjadi wabah.
Satu-satunya harapan umat hanyalah kepada sistem Islam dan Khilafah. Inilah sistem yang dibangun di atas landasan wahyu Allah SWT dan dituntun oleh Rasulullah SAW serta dilanjutkan para Khalifah setelahnya. Khilafah sebagai institusi pelaksana syariah Islam memiliki paradigma dan sistem yang sangat jauh berbeda dengan kapitalisme mengurusi rakyat serta menyelamatkan rakyat dari wabah. Solusi lockdown yang dijalankan Khilafah turut meminimalisasi terjadinya berbagai krisis ikutan pascawabah.
Terkait tata kelola pangan, Khilafah dengan seluruh paradigma dan konsepnya adalah sistem yang memiliki ketahanan dan kedaulatan pangan yang kuat baik di masa normal maupun menghadapi krisis. Apalagi seandainya terjadi di Indonesia di mana negeri ini telah dianugerahi Allah SWT berbagai potensi sumber daya pertanian baik lahan subur, biodiversitas sumber pangan, iklim yang mendukung, hingga SDM petani dan para ahli.
Kewajiban Khilafah mewujudkan kedaulatan pangan berasal dari seruan Allah SWT dalam QS An Nisaa: 141 yang artinya:
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang beriman. Oleh karena itu Khilafah tidak dibolehkan memiliki ketergantungan pangan pada impor. Di samping itu visi ketahanan pangannya diarahkan pada 3 target yaitu 1) ketahanan pangan untuk konsumsi harian, 2) ketahanan pangan untuk kondisi krisis (termasuk bencana, wabah dsb), serta 3) ketahanan pangan untuk kebutuhan jihad.
Untuk mewujudkan visi dan target ketahanan dan kedaulatan pangan, Khilafah memiliki konsep anggaran negara yang unik, sangat berbeda dengan kapitalisme. Konsep APBN Khilafah baik pemasukan dan pengeluaran diatur berdasarkan syariah. Di antara sumber pemasukan APBN Khilafah adalah harta milik umum yang sangat berlimpah seperti tambang, kekayaan laut, hutan, dsb.
Ditambah harta milik negara seperti pungutan jizyah, kharaj, ghanimah, fa’i, dst. Dengan kekayaan yang sedemikian besar sangat memungkinkan negara Khilafah mampu mengurusi hajat rakyatnya termasuk dalam kondisi pandemi baik untuk kebutuhan pangan, kesehatan, kebutuhan energi, dan sebagainya.
Dalam hal distribusi, Khilafah akan menyiapkan sarana dan prasarana logistik yang memadai untuk mendistribusikan pangan ke seluruh daerah yang terkena wabah. Tentu tanpa adanya sekat otonomi daerah bahkan batas wilayah. Sebagaimana yang dicontohkan Khalifah Umar bin Khaththab ketika menghadapi krisis beliau membangun pos-pos penyedia pangan di berbagai tempat, bahkan mengantarkan sendiri makanan ke setiap rumah.
Begitu pula SDM yang dibutuhkan untuk mendistribusikan bahan pangan, yakni aparatur Khilafah. Aparatur Khilafah selain memiliki kompetensi juga amanah menjalankan fungsinya sebagai pelayan masyarakat, serta memiliki kesadaran ruhiyah tinggi bahwa tugas yang dijalankan ialah bagian amal saleh yang akan mendapat ganjaran yang sangat besar di sisi Allah SWT.
Benarlah firman Allah SWT, “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu.” (TQS Al Anfaal: 24).