Taubat Saja Tak Cukup Atasi Bencana

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: W. Wardani (Pemerhati Sosial)

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” Demikian Kalamullah Quran Surat Ar Rum ayat 41, yang mengingatkan manusia untuk kembali kepada Allah setelah melakukan pelanggaran terhadap perintah Allah yang mengakibatkan terjadinya bencana.

Berbicara tentang bencana, pendemi Covid-19 yang melanda dunia sejak Desember 2019, bisa dianggap sebagai bencana. Bencana pendemi Covid-19 yang sampai sekarang belum satupun negara yang mampu mengatasinya, akhirnya membuat manusia kembali kepada-Nya. Begitu juga anjuran orang nomor satu di Indonesia saat membuka Muktamar IV Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) secara virtual, Sabtu (26/9/2020). Dalam kesempatan tersebut Presiden mengajak umat Islam untuk tidak melupakan istighfar, dzikir, taubat kepada Allah Swt., dan memperbanyak infak serta sedekah. Presiden berdoa semoga Allah Swt. segera mengangkat covid dari bumi Indonesia, memberikan perlindungan dan keselamatan kepada rakyat dan bangsa Indonesia. (kompas.com, 26/09/2020)

Ketika menghadapi bencana, Islam mengajarkan untuk menerima bahwa hal tersebut merupakan qadha (ketetapan) Allah. Selanjutnya Islam mengajarkan agar manusia ridha dan bertaubat, beristigfar, dan memohon ampun kepada Allah atas segala perbuatannya. Namun, bertaubat saja tidaklah cukup, harus diiringi dengan ikhtiyar (usaha) untuk mengatasi wabah tersebut. Mengikuti dengan langkah konkrit penanggulangan wabah sebagaimana Islam telah mengajarkan, sebagai perwujudan dari ketaatan total terhadap hukum syara.

Teguran Allah kepada manusia dalam bentuk bencana, merupakan peringatan Allah agar bertaubat menyadari pelanggaran apa yang telah dilakukan serta kembali kepada syariat-Nya. Inilah saatnya manusia berintrospeksi. Pelanggaran apa yang telah dilakukannya sehingga Allah mengirimkan bencana berupa makhluk tak kasat mata yang menyebabkan seluruh dunia bertekuk lutut.

Adapun ikhtiyar dalam Islam untuk menghadapi wabah juga ada tuntunannya. Tuntunan syaranya  adalah melokalisasi wilayah yang terserang wabah. Sebagaimana hadist Rasulullah “Apabila kalian mendengarkan wabah di suatu tempat, maka janganlah memasukinya, dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu ada di tempat itu, maka janganlah keluar darinya.” (HR Imam Muslim). Adapun terhadap penduduk yang terkena wabah, mereka dipisahkan dari penduduk yang sehat, sebagaimana hadist Rasullah ‘Janganlah yang sakit dicampurbaurkan dengan yang sehat.” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Sebagai bentuk pelaksanaan kewajiban pengurusan terhadap umat, negara mengisolasi, mengobati warga yang terkena wabah sampai sehat. Negara juga akan mendorong riset untuk menemukan vaksin bagi virus tersebut, dengan dukungan sumber pendanaan dari Baitul mal.

Itulah tuntutan Islam dalam mengatasi wabah, yang semuanya hanya bisa dilakukan jika Islam diterapkan dalam semua aspek kehidupan, yang dilaksanakan oleh institusi yang disebut khilafah Islamiyah. Dengan kepemimpinan umat dibawah satu komando, wabah bisa segera tertangani.

Teladan penanganan wabah bisa diberikan oleh Khaliah Umar bin Khathab. Dalam kurun waktu kepemimpinananya. Daulah Islam dua kali mengalami bencana atau wabah. Yang pertama adalah bencana kekeringan yang melanda Madinah selama 9 bulan. Yang kedua adalah wabah tha’un amwas yang menyerang syam.

Dalam menghadapi bencana kekeringan, Khalifah Umar bertindak dengan cerdas, tepat, dan efisien. Untuk mengatasi kelangkaan pangan, Umar meminta wali atau gubernur Mesir dan Basrah yang tidak mengalami kekeringan untuk mengirimkan bahan pangan ke Madinah. Setelah bantuan datang, Khalifah Umar segera mendistribusikannya kepada penduduk Madinah. Selama bencana, Khalifah hanya makan terigu dan minyak sebagai bentuk empati kepada penderitaan warganya. Khalifah senantiasa mengajak warganya untuk bertobat, memohon ampun kepada Allah, dan memohon Allah untuk segera menurunkan hujan. Setelah hampir 9 bulan, akhirnya Allah menurunkan hujan di jazirah Arab.

Wabah Tha’un amwas melanda wilayah Syam selama masa kemepimpinaan Umar Bin Khatab. Saat itu Khalifah Umar beserta pasukannya dalam perjalanan menuju Syam. Begitu mendengar ada wabah di Syam, Khalifah Umar berdiskusi dengan para sahabat untuk mengambil tindakan yang dilakukan. Atas saran dari Abdurahman bin Auf ra. yang pernah mendengar Sabda Rasulullah saw. ketika menghadapi wabah. Khalifah Umar akhirnya memutuskan untuk tidak meneruskan perjalanannya ke Syam.

Syam waktu itu di bawah pimpinan wali (gubernur) Amr bin Ash ra. Gubernur Amr bin Ash ra, dalam menghadapi wabah, meminta penduduk untuk tidak saling mendekat. Penduduk diminta untuk menyebar, tinggal di perbukitan-perbukitan, untuk memutus mata rantai penyebaran virus. Rakyat pun melakukannya sebagai bentuk ketaatan kepada pemimpin. Dengan kecerdasannya dan atas seizin Allah, wabah tha’un un akhirnya bisa dihentikan.

Pelajaran yang dapat diambil dari penanganan wabah yang dilakukan oleh Khalifah Umar Bin Khatab, dan gubernur Amr bin Ash ra. bahwa ketaatan total terhadap hukum syara, atas seizin Allah bisa menghentikan wabah. Ini yang seharusnya dilakukan oleh penguasa negeri kita. Sudahkan mereka petuh kepada hukum syara dalam menangani wabah ini? Ataukan malah mengambil jalan lain yang tidak ada landasan syara nya?

Dari pelajaran itu juga bisa dilihat kecerdasan dan keteladanan dari seorang pemimpin yang juga berperan penting dalam penanganan wabah. Rakyat akan percaya dan taat kepada pemimpin yang memang benar-benar ikhas dalam menjalankan kewajibannya sebagai pengurus urusan umat. Dengan demikian apa yang diperintahkan oleh pemimpin akan segera dilaksanakan oleh rakyatnya.

Kesimpulannya penanganan wabah tidak hanya cukup dilakukan dengan bertaubat saja namun perlu dibarengi dengan introspeksi atas kesalahan yang telah diperbuat dan mengambil langkah-langkah konkrit dalam penanganan wabah sesuai dengan tuntutan syara. Namun, penerapan hukum syara dalam penanganan wabah hanya bisa dilakukan jika ada institusi yang menerapkan secara kaffah dalam aspek kehidupan atau yang disebut khilafah Islamiyah.

Wallahu a’lam

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *