Oleh : Mesi Tri Jayanti
Di tengah pandemi virus Corona (Covid-19) keluhan masyarakat soal tagihan tarif dasar listrik (TDL) yang membengkak kembali merebak. Namun keluhan-keluhan tersebut seolah dianggap angin lalu. Sejak awal Juni 2020, media sosial khususnya twitter ramai dengan keluhan warganet mengenai tagihan listrik yang lebih tinggi pada bulan ini. Padahal mereka mengaku sudah menghemat penggunaan listrik, dan pemakaiannya sama seperti bulan sebelumnya.
Dilansir dari CNN Indonesia (Selasa, 09/06/2020), PT PLN (Persero) mencatat lonjakan tagihan listrik rata-rata 20 persen terjadi pada 4,3 juta pelanggan pascabayar saat masa kerja dari rumah (work from home) pada April-Mei 2020. Jumlah itu sekitar 12,46 persen dari total pelanggan pascabayar yang mencapai 34,5 juta pelanggan.
Jumlah pelanggan dengan kenaikan tagihan terbanyak ada di kisaran 20 persen sampai 50 persen sebanyak 2,4 juta pelanggan. Di luar itu, ada pelanggan yang tagihan listriknya naik 200 persen, 500 persen, sampai 1.000 persen. Bahkan, berdasarkan laporan yang masuk ke PLN, ada kenaikan tagihan listrik 10 kali lipat di rumah kosong.
Masyarakat memperkirakan ada kenaikan tarif listrik secara diam-diam atau ada subsidi silang yang diterapkan untuk pengguna daya 450 VA dan 900 VA. Sebab mereka mengaku taraf pemakaiannya masih sama seperti bulan sebelumnya.
Merespons keluhan-keluhan masyarakat tersebut, PT PLN secara resmi angkat suara. PLN mengelak telah menaikkan listrik selama masa pandemik. Kenaikan tagihan listrik yang dialami sebagian masyarakat justru dianggap wajar karena penggunaan yg meningkat karena WFH (Work From Home) dan BDR (Belajar dari Rumah).
Dikutip dari CNBC Indonesia (Sabtu, 06 Juni 2020), Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril memastikan bahwa tidak ada kenaikan tarif listrik oleh pihak PLN. Ia juga membantah tuduhan adanya subsidi silang untuk pelanggan 450 VA maupun 900 VA. Sebab, terkait kebijakan subsidi dan menaikkan tarif adalah kewenangan Pemerintah bukan PLN atau BUMN.
Lonjakan tarif listrik tanpa pemberitahuan memang kerap kali terjadi berulang kapan saja. Hal ini tidak terlepas dari hasil diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme-neoliberal dan sistem politik demokrasi yang mencengkram saat ini. Sistem tersebut menyebabkan liberalisasi pada tata kelola listrik, baik sumber energi primer maupun layanan listrik.
Liberalisasi (komersialisasi) layanan listrik ini diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Dilakukan unbundling vertikal (pemecahan secara fungsi, yaitu fungsi pembangkit, transmisi dan distribusi). Dengan demikian pembangkit, transmisi dan distribusi hingga ritel/penjualan ke konsumen dapat dilakukan sepenuhnya oleh swasta.
Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, ternyata masih belum menyadari bahwa Islam punya solusi atas permasalahan ini. Islam yang diturunkan Allah swt. ternyata tidak hanya mengatur mengenai perkara ibadah saja, melainkan juga semua aspek kehidupan termasuk dalam hal kelistrikan. Dalam Islam, listrik termasuk ke dalam kepemilikan umum.
Listrik yang digunakan sebagai bahan bakar masuk dalam kategori ’api (energi)’ yang merupakan milik umum. Nabi Muhammad saw bersabda: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput (kebun/hutan), air, dan api (energi).” [HR Ahmad].
Sumber energi pembangkit listrik sebagian besarnya berasal dari bahan tambang, yakni migas dan batu bara. Karena masuk ke dalam pemilikan umum, maka pengelolaan dan pemanfaatannya tidak boleh dikomersilkan. Barang tambang ini harus dikelola oleh penguasa (Khalifah) dan hasilnya dikembalikan sepenuhnya untuk memenuhi kepentingan rakyat.
Abyadh bin Hammal ra. bercerita: “Ia pernah datang kepada Rasulullah saw. dan meminta diberi tambang garam. Lalu Rasulullah memberikannya. Ketika ia pergi, seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, tahukah Anda apa yang Anda berikan, tidak lain Anda memberinya laksana air yang terus mengalir.” Kemudian Rasulullah menarik pemberiannya dari Abyadh bin Hammal.” [HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ibn Hibban].
Riwayat ini berkaitan dengan tambang garam, bukan garam itu sendiri. Awalnya Rasul saw. memberikan tambang garam itu kepada Abyadh. Namun, ketika beliau diberi tahu bahwa tambang itu seperti “laksana air yang terus mengalir”, maka Rasulullah menariknya kembali dari Abyadh. “Laksana air yang terus mengalir” artinya adalah cadangannya besar sekali. Sehingga menjadi milik umum.
Karena merupakanmilik umum, bahan tambang seperti migas dan batu bara haram dikelola secara komersil baik oleh perusahaan milik negara maupun pihak swasta. Juga haram hukumnya mengkomersilkan hasil olahannya seperti listrik. Sehingga negara (Khilafah) memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan listrik setiap rakyatnya baik yang kaya maupun yang miskin.
“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa Allah menguasai hati manusia, dan sesungguhnya kepada-Nya lah kamu akan dikumpulkan.” [Q.S Al-Anfal :24].
Wallahu a’lam bi shawab. []