Ramadhan Menjelang, Syiar Islam Terhadang?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ummu Taqizaki

 

Sebentar lagi kaum muslimin akan bertemu bulan Ramadhan 1443 Hijriyah. Ramadhan adalah salah satu waktu khusus yang dimuliakan oleh Allah SWT. Namun jelang Ramadhan di tahun ini, muncul kebijakan-kebijakan pemerintah yang menimbulkan polemik, antara lain: Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala, dan larangan mengundang penceramah radikal.

Polemik Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 tahun 2022
Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 tahun 2022 mengatur tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Dalam surat edaran tersebut, dinyatakan pengumandangan adzan menggunakan toa diatur volumenya sesuai kebutuhan dan maksimal 100 desibel (dB), dan pengeras suara luar yang hanya dibolehkan selama 5 menit sebelum adzan.

Surat edaran ini menimbulkan polemik, sebab jika mengikuti SE tersebut, maka ada kemungkinan orang-orang yang tinggal jauh dari Masjid tidak dapat mendengar adzan, dan akan terlambat datang ke masjid. Anwar Abbas, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyarankan agar implementasinya (SE) jangan terlalu kaku dan jangan disamakan untuk semua daerah. Selain itu, beliau menilai penggunaan pengeras suara luar yang hanya dibolehkan selama 5 menit sebelum adzan, menurutnya terlalu singkat sebab ada daerah-daerah seperti di pedesaan yang jarak antara rumah dengan masjid cukup jauh. (suara.com)

Selain itu, dasar penerbitan SE ini pun menjadi tanda tanya. Menurut Buya Anwar, kalau dasarnya adalah karena ada warga yang terganggu dengan pengeras suara masjid, maka Kemenag harus menjabarkan persentase warga yang terganggu dengan suara azan atau bacaan Alquran di masjid/musala. (viva.co.id)

Dalam hal ini, wajar umat mempertanyakan alasan dikeluarkannya SE tersebut, sebab selama ini secara nasional tidak pernah ada masalah terkait suara-suara yang keluar dari masjid dan musala. Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Bukhori Yusuf mengatakan bahwa pengaturan pengeras suara sesungguhnya tidak perlu dilakukan secara eksesif, misalnya melalui intervensi negara yang mencampuri hingga urusan teknis soal peribadatan, tetapi cukup berangkat dari rasa kesadaran dan keterbukaan pikiran masyarakat, khususnya bagi pihak takmir masjid atau pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM). (liputan6.com)

Namun, walau menuai kritik masyarakat, sampai saat ini SE tersebut tidak ditarik ataupun direvisi. Artinya, Surat Edaran tersebut tetap diberlakukan. Ini berarti, hal-hal yang dikhawatirkan seperti tersebut di atas dapat terjadi. Tentu ini mengurangi hak-hak umat Islam dalam menjalankan agamanya, dan secara makro dapat menghadang syiar Islam.

Polemik Larangan Penceramah Radikal
Larangan mengundang penceramah radikal disampaikan Presiden Joko Widodo pada suatu acara. Presiden mengingatkan TNI dan Polri agar jangan sampai disusupi penceramah radikal dalam kegiatan beragama. Setelah Presiden mengeluarkan pernyataan tersebut, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengeluarkan 5 indikator penceramah radikal. Kemudian, viral beredar di medsos daftar 180 nama penceramah radikal. Namun, baik Kantor Staf Presiden (KSP) maupun BNPT sama-sama membantah mengeluarkan daftar nama penceramah radikal tersebut.

Adanya larangan mengundang penceramah radikal, membuat makna “radikal” menjadi buruk. Sehingga nama-nama yang tertulis dalam daftar tersebut seolah menjadi buruk. Hal ini menjadi polemik di tengah masyarakat, sebab pemerintah terus memprovokasi publik agar waspada terhadap tokoh radikal, dan membiarkan viralnya daftar penceramah radikal yang tidak jelas sumbernya. Jika dibiarkan, masyarakat mungkin akan menghindari penceramah tersebut, hingga pada akhirnya ini pun dapat menghadang syiar Islam.

Bagaimana Kaum Muslimin Sebaiknya Bersikap
Menyikapi kedua polemik tersebut, pertama kaum muslimin perlu menyadari bahwa keduanya kontraproduktif terhadap syiar Islam, padahal Syiar Islam adalah tanda-tanda ketaatan kepada Allah SWT. Seharusnya syiar Islam justru dijaga dan terus dihidupkan di tengah masyarakat.

Kedua, kaum muslimin perlu menyadari bahwa polemik tersebut terjadi akibat pertimbangan politik, bukan pertimbangan syariat Islam. Berikut ini penjelasannya:
Mengacu pada syariat Islam, kumandang adzan sejatinya harus keras. Dahulu, kumandang azan dijadikan patokan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apakah suatu negeri termasuk negeri Islam ataukah tidak. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu jika akan menyerang satu kaum, beliau tidak memerintahkan kami menyerang pada malam hari hingga menunggu waktu subuh. Apabila azan Shubuh terdengar, maka tidak jadi menyerang. Namun bila tidak mendengarnya, maka ia menyerang mereka.” (HR. Bukhari no. 610 dan Muslim no. 382). Jadi pertimbangan Surat Edaran Pengeras Suara Masjid/Musola, bukanlah pertimbangan sesuai syariat Islam melainkan pertimbangan politik.

Dalam acara di salah satu televisi swasta yang mengangkat topik Viral penceramah Radikal, Ustadz Ismail Yusanto sebagai narasumber menyebutkan bahwa dalam Islam, kaum muslim tidak diperintahkan menjadi muslim yang radikal ataupun moderat. Perintah Allah SWT adalah agar ummat Islam menjadi muslim yang taat dan menjalankan syariat secara kaffah. Maka kategori radikal yang disematkan pada para penceramah ini dasarnya adalah politik, bukan agama. Dengan kata lain ada kepentingan politik, di balik kategorisasi radikal pada penceramah.

Ketiga, dengan menyadari bahwa polemik-polemik tersebut terjadi akibat pertimbangan politik maka semestinya kaum muslimin menyadari bahwa hanya jika Islam diadopsi oleh negaralah maka agama Islam akan terjaga eksistensinya. Selama itu belum terjadi, maka berbagai polemik akibat kepentingan politik dapat terus menggerogoti Islam. Sebagaimana disebutkan oleh Al Ghazali dalam Al-Iqtisha fi al-I’tiqad: Agama dan kekuasaan ibarat saudara kembar. Agama adalah fondasi dan kekuasaan adalah penjaga. Sesuatu yang tanpa fondasi niscaya runtuh dan sesuatu tanpa penjaga niscaya lenyap.”

Keempat, dengan menyadari perlunya pengadopsian Islam oleh Negara, maka kaum muslim perlu sungguh-sungguh mempelajari dan mendakwahkan Islam hingga hal tersebut terwujud. Sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah, melalui dakwah secara pemikiran bersama para sahabat, para pemimpin Madinah kemudian masuk Islam sekaligus mengadopsi sistem Islam dalam bernegara.

Khatimah
Saat ini, nampaknya Syiar Islam semakin dihalang-halangi. Padahal, sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim, Syiar Islam jusru tidak perlu dipermasalahkan. Upaya-upaya semacam ini bukanlah yang pertama dan berdiri sendiri. Larangan ini juga berkaitan dengan pernyataan BNPT yang mengkriminalisasi salah satu ajaran Islam. Umat Islam yang menyuarakan khilafah dianggap sebagai radikal.

Sebentar lagi umat Islam akan memasuki bulan Ramadhan. Inilah bulan yang harus dijadikan kesempatan untuk melipatgandakan amalan termasuk pembelaan terhadap agama Islam terutama ketika ruang gerak untuk menyiarkan Islam makin dipersempit. Dengan momentum Ramadhan, marilah memahami dan menderaskan dawah Islam ke masyarakat agar tidak terbawa oleh isu radikalisme dan Islamphobia. Wallahu a’lam bish-shawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *