Pro Kontra Hukuman Mati

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Desy Purwanti (Aktivis Dakwah Kampus)

 

Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat menuntut Herry Wirawan (36) dengan hukuman mati. Herry dituntut atas perbuatan keji memerkosa 13 santriwati di Madani Boarding School, Bandung, Jawa Barat selama 2016 hingga 2021. Herry merupakan pemilik dan pengasuh Madani Boarding School.

Sebagai komitmen kami untuk memberikan efek jera kepada pelaku,” ujar Kepala Kajati Jawa Barat, Asep N. Mulyana di Pengadilan Negeri Bandung, Selasa (11/1/2022). Jaksa juga menambahkan sanksi untuk Herry berupa membayar denda Rp500 juta dan membayar biaya restitusi kepada para korban Rp331 juta. Serta sanksi non-material berupa pengumuman identitas, identitas terdakwa disebarkan, dan hukuman kebiri kimia. “Perbuatan terdakwa bukan saja berpengaruh kepada kehormatan fisik. Tapi berpengaruh ke psikologis dan emosional para santri keseluruhan,” ujar Asep. Atas perbuatannya, Herry dikenakan Pasal 81 ayat (1), ayat (3) Dan (5) jo Pasal 76D UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan pertama. Ketua Komisi VIII DPR, Yandri Susanto mendukung sikap jaksa menuntut berat Herry. Ia berharap hakim mengabulkan tuntutan jaksa sehingga memberikan efek jera terhadap pelaku. “Kalau itu yang menjadi tuntutan jaksa, kita apresiasi setinggi-tingginya. Artinya tuntutan jaksa itu seiring dan sejalan dengan kemauan masyarakat yang memang mengutuk keras perilaku Herry terhadap anak-anak santri itu,” ujar Yandri kepada wartawan, Selasa (11/1/2022). (tirto.id, 18 Januari 2020)

Kasus pemerkosaan 13 santriwati yang terjadi selama kurang lebih lima tahun terakhir, hingga kini belum juga terselesaikan. Pasalnya, kejaksaan tinggi telah menuntuk pelaku dengan hukuman mati. Namun, hukuman mati tersebut menuai pro dan kontra.

Ketua Komisi VIII DPR, Yandri Susanto mendukung sikap jaksa menuntut berat Herry. Ia berharap hakim mengabulkan tuntutan jaksa sehingga memberikan efek jera terhadap pelaku.

Sedangkan, Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi mengatakan bahwa hukuman mati dan hukuman kebiri kimia dianggap tidak efektif memberikan efek jera bagi pelaku kekerasan seksual. Herry mesti direhabilitasi agar mampu mengubah cara pandangnya terhadap wanita. Kesadaran Herry mesti dibangun, sehingga timbul kesadaran bahwa perbuatannya merugikan korban dan diri sendiri.

Kejahatan dalam bingkai Demokrasi

Kejahatan tingkat berat seperti kekerasan seksual dianggap belum mendapat hukuman menjerakan, buktinya kasus tetap merebak. Namun saat hukuman mati diajukan timbul polemic antara menjerakan dan komitmen penegakan HAM.

Inilah bukti cacat system sekuler demokrasi hari ini. Selain menggantungkan solusi kejahatan pada sanksi/hukuman juga tidak mampu menciptakan lingkungan mendukung agar kejahatan tidak merajalela.

Sistem demokrasi yang berpijak pada hukum buatan manusia tidak mampu menyelesaikan masalah sampai tuntas. Yang ada, masalah demi masalah terus bermunculan.

Standar perbuatan dalam sistem ini bukanlah halal dan haram, melainkan berdasarkan manfaat. Hukum yang dibuat juga terus berubah-ubah sesuai kepentingan para pembuatnya.

Jika berharap keadilan pada demokrasi, maka itu suatu kemustahilan. Bahkan, hukum itu bisa diperjualbelikan. Mereka akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apapun. Sehingga, yang benar bisa jadi salah dan yang salah bisa jadi benar.

Oleh karena itu, solusi atas merebaknya kasus kejahatan adalah dengan ditegakkannya sistem Islam dalam seluruh aspek kehidupan.

Islam sebagai Solusi

Dalam Islam, setiap orang ditanamkan ketakwaannya terhadap Sang Pencipta. Segala perbuatannya harus terikat dengan hukum syara’. Karena, perbuatannya itu akan dipertanggungjawabkan di yaumul hisab.

Ketika akidah Islam sudah menancap kuat, maka tindak kejahatan termasuk kejahatan seksual tidak akan merajalela. Kalaupun ada, maka akan ditindak secara tegas menurut ketentuan syara’.

Firman Allah subhanahu wata’ala, “Dalam hukum kisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, hai orang-orang berakal, supaya kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 179)

Setiap sanksi dalam Islam diatur untuk mencegah manusia dari berbagai tindakan kejahatan dan menebus dosa pelakunya di hadapan Allah subhanahu wata’ala. Namun, setiap sanksi yang ditetapkan mengharuskan adanya seorang Khalifah dalam institusi Khilafah. Tidak bisa memberlakukan sanksi pidana Islam dalam bingkai demokrasi. Sebab, demokrasi merupakan sistem yang bertentangan dengan Islam.

Hanya dengan Khilafahlah, segala tindak kejahatan dapat diberantas sampai tuntas. Keadilan pun dapat ditegakkan tanpa tebang pilih.

Wallahu’alam bishshawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *