Pemilihan Pemimpin dalam Islam

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Pemilihan Pemimpin dalam Islam

Sukmawati S.S

(Pegiat Literasi)

 

Suatu keniscayaan sistem Kapitalis—Sekuler saat ini melahirkan pemimpin yang tidak amanah, sekaligus mengutamakan materi bagi kelompoknya, karena pemilihan pemimpin pada sistem ini membutuhkan biaya yang besar dan biaya tersebut berasal dari pemodal yang notabenenya merupakan investor pengeruk potensi negeri ini.

Pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan (PPATK) mengungkapkan adanya aliran dana sebesar Rp 195 M dari luar negeri ke 21 rekening bendahara partai politik (Parpol).

Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana mengatakan ada 21 rekening bendahara yang terendus PPTK menerima aliran dana fantastis tersebut. Adapun jumlah transaksinya mencapai 9.164 transaksi. “Dari 21 Parpol pada 2022 itu, ada 8.270 transaksi dan meningkat di 2023 ada 9.164 transaksi. Mereka termasuk yang kita ketahui menerima dana luar negeri“, kata Ivan.

PPATK mencatat nilai transaksi dari 100 data ke luar negeri dengan total nilai Rp 5,8 T. PPATK menemukan adanya tren peningkatan rekening baru menjelang pemilihan umun (Pemilu) 2024. Tak tanggung-tanggung tercatat ada 704 juta pembukaan rekening baru. (CNBC Indonesia/11/1/2024)

Kapitalis-Sekuler Melahirkan Kolaborasi Pemimpin-Investor

Adanya aliran dana dari pihak asing, menunjukan kontestasi Pemilu berpotensi sarat dengan kepentingan individual, intrevensi asing bahkan konflik kepentingan. Tentu rakyat memilih berjaga-jaga terhadap pendanaan tersebut yaitu tergadaikannya kedaulatan negara. Karena pemimpin yang terpilih tidak mengurusi urusan rakyat, melainkan hanya memuluskan agenda-agenda atau bahkan pihak yang telah member pendanaan.

Jika ditelisik lebih mendalam, pembangunan oleh penguasa saat ini hanya menguntungkan investor khususnya asing, misalnya kereta api cepat, proyek rempang Eco City dan infrastruktur lainnya. Disisi lain, Undang-undang (UU) Minerba semakin liberal karena membuat korporat swasta semakin bengis mengeruk kekayaan negeri, dan masih banyak lagi kepentingan investasi asing, bahkan konflik kepentingan penyokong yang tengah berlangsung.

Semua tentunya niscaya terjadi, mengingat politik demokrasi berbiaya tinggi. Kepemimpinan dalam sistem demokrasi hanya berdasarkan suara mayoritas. Olehnya, diperlukan dana besar untuk meraup suara. Rakyat hanya bisa menerima dengan iming-iming janji manis dari para calon pemimpin. Rakyat dipaksa harus mencoblos dengan sogokan uang yang hanya ratusan ribu dan dengan itu para pemimpin dengan bangganya duduk dibangku penguasa.

Perlu disadari bahwa politik demokrasi lahir dari penerapan sistem saat ini yakni kapitalisme-sekulerisme. Rakyat hanya dijadikan boneka untuk menduduki kursi penguasa. Disinilah kita melihat bagaimana sistem ini dikuasai oleh para pemodal. Pemilu hanya melahirkan penguasa oligarki.

Pemilihan Pemimpin dalam Sistem Islam

Berbeda dengan itu, pada sistem Islam (khilafah), metode untuk mengangkat pemimpin adalah dengan baiat syari. Imam an-nawawi, dalam kitab nihayah al-muhtaj ila syarh al-minhaj (Vii/390) berkata : “Akad imamah (khilafah) sah dengan adanya bai’at atau lebih tepatnya bai’at dari ahlul halli wal ‘aqdi… yang mudah untuk dikumpulkan“.

Dalam kitab Daulah khilafah terdapat penjelsan bagaimana berlangsugnya pemilihan pemimpih dalam khilafah. Hal tersebut terjadi pada proses pengangkatan Utsman menjadi seorang khalifah. Pada masa itu Khalifah Umar bin Khattab mengalami sakit keras akibat penusukkan terhadap beliau. Kaum muslimin meminta beliau untuk menunjuk penggantinya, namun khalifah umar menolaknya. Kemudian kaum muslimin mendesaknya hingga beliau menunjuk enam orang sebagai penggantinyan dan memerintahkan mereka memilih salah seorang mereka untuk menjadi khalifah, setelah beliau meninggal dalam jangka waktu tertentu maksimal 3 hari.

Setelah Khalifah Umar wafat, calon khalifah melakukan pemilihan terhadap salah seorang dari mereka menjadi khalifah. Di sinilah proses Pemilu (al-khitab) sebagaimana mestinya itu dilakukan. Pada masa itu terpilihlah nama Ali dan Utsman sebagai calon Khalifah dari dua nama ini Abdurrhaman bin auf menanyakan pendapat kaum muslimin siapa yang mereka kehendaki antara Ali atau Utsman. Beliau bertanya pada kaum muslimin baik laki-laki maupun perempuan dalam rangka menggali pendapat masyarakat. Beliau melakukannya bukan hanya siang hari, akan tetapi pada malam hari juga. Beliau melakukannya demi memilih siapa yang menjadi seorang khalifah.

Imam Bukhari mengeluarkan riwayat dari jalur al miswar bin mukhrimah yang berkata ;“Abdurrahman mengetuk pinturumahku pada tengah malam, ia mengetuk pintu hingga aku terbangun”ia berkata aku melihat engkau tidur . demi Allah, janganlah engkau mengahabiskan tiga hari ini-yakni tiga malam-dengan banyak tidur”. Sehingga terpilihlah Utsman bin Affan.

Umat kemudian melakukan baiat in’iqod kepada calon terpilih untuk menjadi khalifah dan dilakukan baiat taat oleh umat secara umum pada khalifah.

Jelaslah perbedaan pemilihan pemimpin pada sistem kapitalis-sekuler saat ini dengan saat system Islam masih tegak. Sistem Islam begitu sederhana dalam memilih seorang pemimpin, serta tanpa modal besar. Sungguh umat sangat merindukan kembali tegaknya sistem Islam yang terbukti mensejahterakan umat lewat pemimpin (khalifah) yang adil dan amanah.

Wallahu alam bishowab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *