Pembangunan Eksploitatif Mengundang Bencana

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Ummu Arsyila (Member Pena Muslimah Cilacap)

 

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menegaskan bahwa banjir besar di Kalimantan Selatan yang terjadi dalam beberapa hari terakhir bukan sekadar cuaca ekstrem, melainkan akibat rusaknya ekologi di tanah Borneo.

Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan, Kisworo Dwi Cahyono, mengatakan bahwa banjir tahun ini merupakan yang terparah dalam sejarah.

“Banjir (2021) kali ini adalah banjir terparah dalam sejarah Kalimantan Selatan yang sebelumnya,” kata Kis saat dihubungi Suara.com, Jumat (15/1/2021).

Berdasarkan laporan tahun 2020 saja sudah terdapat 814 lubang tambang milik 157 perusahaan batu bara yang masih aktif bahkan ditinggal tanpa reklamasi, belum lagi perkebunan kelapa sawit yang mengurangi daya serap tanah.

Saat dikonfirmasi, Staf Advokasi dan Kampanye Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel, M. Jefri Raharja menegaskan banjir tahun ini lebih parah daripada tahun-tahun sebelumnya disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya :

Meluasnya lahan sawit

Direktorat Jenderal Perkebunan (2020) mencatat, luas lahan perkebunan sawit di Kalimantan Selatan mencapai 64.632 hektar.

Untuk jumlah perusahaan sawit, pada Pekan Rawa Nasional I bertema Rawa Lumbung Pangan Menghadapi Perubahan Iklim 2011, tercatat 19 perusahaan akan menggarap perkebunan sawit di lahan rawa Kalsel dengan luasan lahan mencapai 201.813 hektar.

Mongabay melaporkan, 8 perusahaan sawit di Kabupaten Tapin mengembangkan lahan seluas 83.126 hektar, 4 perusahaan di Kabupaten Barito Kuala mengembangkan sawit di lahan rawa seluas 37.733 hektar, 3 perusahaan sawit di Kabupaten Hulu Sungai Selatan dengan luasan 44.271 hektar, 2 perusahaan di Kabupaten Banjar dengan lahan sawit seluas 20.684 hektar, kemudian, di Kabupaten Hulu Sungai Utara ada satu perusahaan dengan luas 10.000 hektar dan di Kabupaten Tanah Laut mencapai 5.999 hektar.

Maraknya pertambangan

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat terdapat 4.290 Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau sekitar 49,2 persen dari seluruh Indonesia.

“Sedangkan untuk tambang, bukaan lahan meningkat sebesar 13 persen hanya 2 tahun. Luas bukaan tambang pada 2013 ialah 54.238 hektar,” tambah Jefri.

Tidak hanya di Kalsel, wilayah Kalimantan lain juga digerus oleh area pertambangan.

Resapan air hujan.

Menurut Jefri perluasan lahan secara masif dan terus menerus semakin memperparah bencana terutama di kondisi cuaca ekstrem.

“Akhirnya juga mempengaruhi dan memperparah kondisi ekstrem cuaca, baik itu di musim kemarau dan musim penghujan,” katanya.

Lebih lanjut, Jefri menjelaskan mengenai kondisi permukaan bumi yang kurang dapat meresap air hujan. Akibat dari hutan heterogen yang akar-akarnya dapat membantu tanah mengikat dan menyimpan air hujan telah berkurang drastis. (kompas.com, 15/01/2021)

Sebelumnya BPBD Kalsel merilis data harian hingga per tanggal 14 Januari 2021. Tercatat ada 67.842 jiwa yang terdampak dari total 57 peristiwa banjir sejak awal tahun. Khusus untuk bangunan rumah warga yang terdampak sebanyak 19.452 unit.

Akumulatif jumlah warga terdampak banjir ini masih didominasi dari Kabupaten Tanah Laut, dengan jumlah sebanyak 34.431 jiwa. Lalu, disusul Kabupaten Banjar yang tercatat sebanyak 25.601 jiwa. Sedangkan, sisanya berasal Kota Banjarbaru, Kabupaten Tabalong, Kabupaten Tapin, dan sekitarnya.

Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor juga sudah mengumumkan wilayahnya kini berstatus tanggap darurat bencana banjir melalui Surat Pernyataan Nomor: 360/038/Bpbd/2021 tertanggal 14 Januari 2021.

Selain banjir yang melanda Kalsel pada Jum’at (15/1) pukul 1.28 dini hari gempa bumi mengguncang wilayah Majene, Mamuju dan sekitarnya.

Gempa bumi dengan Magnitudo 6,2 dengan kedalaman 10 Km yang berpusat di timur laut Majene, Sulbar, terasa hingga Palu, Sulawesi Tengah, dan wilayah Sulawesi Selatan. Informasi terakhir dari BNPB menyebutkan, di Majene terdapat 8 warga meninggal dunia, sekitar 637 orang mengalami luka-luka dan 15.000 lainnya mengungsi.

Sementara kerusakan bangunan di Kabupaten Majene terdata 62 unit rumah rusak, 1 unit puskesmas rusak berat, 1 kantor Koramil Maluda rusak berat, jaringan listrik padam, komunikasi seluler tidak stabil dan longsor 3 titik sepanjang jalan poros Majene – Mamuju. Sementara di Kabupaten Mamuju, BPBD setempat menginformasikan kerusakan berat (RB) antara lain Hotel Maleo, kantor Gubernur Sulawesi Barat dan sebuah minimarket. Selain itu jaringan listrik dan komunikasi seluler juga terganggu di wilayah Mamuju. Kerusakan rumah warga serta korban jiwa masih dalam pendataan.

Bencana alam akibat kerusakan ekologi diatas tidak lain merupakan buah busuk dari adanya pembangunan eksploitatif  yang dilakukan oleh rezim sekuler kapitalistik. Yang terus melakukan eksploitasi sumber daya alam tanpa diimbangi dengan upaya untuk memperbaiki dan memulihkan lahan yang telah dieksploitasi. Sehingga tidak heran jika ekologi menjadi rusak.

Lalu bagaimana Islam mengatur pengelolaan SDA?

Islam hadir tentu tidak hanya sebagai agama ritual dan moral belaka. Islam juga merupakan sistem kehidupan yang mampu memecahkan seluruh problem kehidupan, termasuk dalam pengelolaan kekayaan alam. Allah SWT berfirman:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ

“Kami telah menurunkan kepada kamu (Muhammad) al-Quran sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk, rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (TQS. an-Nahl: 89)

Menurut aturan Islam, kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum. Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara. Hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta apalagi asing.

Di antara pedoman dalam pengelolaan kepemilikan umum antara lain merujuk pada sabda Rasulullah saw.:

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ

“Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api.” (HR Ibnu Majah)

Rasul saw. juga bersabda:

ثَلَاثٌ لَا يُمْنَعْنَ الْمَاءُ وَالْكَلَأُ وَالنَّارُ

“Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, rumput dan api.” (HR Ibnu Majah)

Terkait kepemilikan umum, Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan hadist dari penuturan Abyadh bin Hammal. Dalam hadist tersebut diceritakan bahwa Abyadh pernah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola  sebuah tambang garam. Rasul saw. lalu meluluskan permintaan itu. Namun, beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasul saw. kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut dari dia.” (HR at-Tirmidzi)

Mau al-iddu adalah air yang jumlahnya berlimpah sehingga mengalir terus-menerus.  Hadist tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir.  Semula Rasulullah saw. memberikan tambang garam kepada Abyadh. Ini menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam (atau tambang yang lain) kepada seseorang. Namun, ketika kemudian Rasul saw. mengetahui  bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar—digambarkan bagaikan air yang terus mengalir—maka beliau mencabut kembali pemberian itu. Dengan kandungannya yang sangat besar itu, tambang tersebut dikategorikan sebagai milik bersama (milik umum). Berdasarkan hadist ini, semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu, termasuk swasta dan asing.

Tentu yang menjadi fokus dalam hadist tersebut  bukan ‘garam’, melainkan tambangnya. Dalam konteks ini, Al-Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengutip ungkapan Abu Ubaid yang mengatakan, “Ketika Nabi saw. mengetahui bahwa tambang tersebut (laksana) air yang mengalir, yang mana air tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mata air dan air bor, maka beliau mencabut kembali pemberian beliau. Ini karena sunnah Rasulullah saw. dalam masalah padang, api dan air menyatakan bahwa semua manusia bersekutu dalam masalah tersebut. Karena itu beliau melarang siapa pun untuk memilikinya, sementara yang lain terhalang.”

Alhasil, menurut  aturan Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar  baik  garam maupun selain garam seperti batu bara, emas, perak, besi, tembaga, timah, minyak bumi, gas dsb. Semuanya adalah tambang yang terkategori milik umum sebagaimana tercakup dalam pengertian hadist di atas.

Karena itulah Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni, sebagaimana dikutip Al-Assal & Karim (1999: 72-73), mengatakan, “Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya seperti garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), minyak bumi, intan dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum Muslim sebab hal itu akan merugikan mereka.”

Dengan demikian, untuk mengakhiri kisruh pengelolaan sumber daya alam sebagaimana yang terjadi saat ini, mau tak mau, kita harus kembali pada ketentuan syariah Islam. Selama pengelolaan sumber daya alam didasarkan pada aturan-aturan sekular kapitalis, tidak diatur dengan syariah Islam, semua itu tak akan banyak manfaatnya bagi rakyat dan pastinya akan kehilangan berkahnya. Terbukti, di tengah berlimpahnya sumber daya alam kita, mayoritas rakyat negeri ini miskin. Pasalnya, sebagian besar kekayaan alam kita hanya dinikmati oleh segelintir orang, terutama pihak asing, bukan oleh rakyat kebanyakan.

Jadi mari kita bersegera menjalankan semua ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya, dengan cara melaksanakan dan menerapkan seluruh syariah Islam dalam naungan Daulah Khilafah.

Wallâhu a’lam bish-showab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *