Pekerja Migran; Menyambung atau Menyabung Hidup

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Pekerja Migran Antara Menyambung atau Menyabung Hidup

Oleh Rahmania, S.Psi

(Kontributor Suara Inqilabi)

 

Beberapa tahun terakhir ini banyak pemberitaan tentang Pekerja Migran Indonesia (PMI). Dari penyiksaan, kekerasan, pemerkosaan, segala bentuk penindasan, hingga pada pembunuhan yang dilakukan oleh majikan, juga bunuh diri akibat tekanan yang mereka dapatkan. Tak hanya itu, mereka juga kerap menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Berulang kali pekerja migran mengalami hal tersebut. Mengapa demikian?

Maraknya Perdagangan Orang

Dirilis dari media republika 29/1/23 sebanyak 87 Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) yang hendak berangkat ke luar negeri melalui Bandara Juanda, Jawa Timur pada Sabtu 28/1/2023 berhasil digagalkan oleh Tim dari Dinas Nakertrans Propinsi Jawa Timur dan petugas gabungan dari Imigrasi Bandara Juanda, Dansatgaspam Bandara Juanda. Setelah melalui pemeriksaan sebanyak 87 orang calon pekerja migran ini ternyata hampir menjadi korban TPPO, mereka juga berangkat secara non-prosedural, tidak dilengkapi dokumen-dokumen yang sah.

Pada hari yang sama, Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Provinsi Jawa Timur juga melakukan penggerebekan tempat penampungan CPMI ilegal yang mengaku sebagai Lembaga Pelatihan Kerja di Tulungagung. BP2MI berhasil melakukan penggerebekan di tempat penampungan yang hendak memberangkatkan pekerja migran secara tidak resmi ke Malaysia sebanyak 3 orang.

Potret pekerja migran yang hendak dijadikan sasaran TPPO terus terjadi berulang-ulang. Keberadaan aturan seperti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 pasal 4, pasal 6, dan pasal 10 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan atau pasal 81, pasal 83 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia tidak mampu menghentikan maraknya tindak perdagangan orang atas nama pekerja migran. Atau melindungi pekerja migran dari tindak kekerasan dan penindasan fisik maupun verbal.

Negara Abai Terhadap Rakatnya

Tak bisa dipungkiri adanya sebuah realita bahwa masyarakat hari ini sangat tertarik untuk bekerja di luar negeri. Kesempatan bekerja di luar negeri adalah solusi di tengah sulitnya lapangan kerja dalam negeri hari ini. Apalagi upah kerja di luar negeri lebih tinggi dibandingkan upah kerja di dalam negeri. Syaratnya relatif lebih mudah, tidak harus berijazah diploma atau sarjana, tamat SMA pun bisa, dengan penempatan pekerjaan yang bervariatif. Bekerja di luar negeri seolah penyelamat di tengah kondisi hari ini. Apalagi kualifikasi lowongan kerja di perusahaan-perusahaan dalam negeri semakin tinggi, namun rendah gaji. Ditambah dengan sistem kontrak atau outsourcing yang dinilai merugikan pekerja. Kesulitan ini meniscayakan rakyat mencari kerja di luar negeri dengan berbagai konsekuensi yang harus siap diterima. Termasuk potensi menjadi korban perdagangan orang yang kian marak hari ini.

Bahkan sekarang ini menurut BPS banyak angkatan kerja dari Balai Latihan Kerja yang belum mendapatkan pekerjaan (hukumonline.com). Di tahun 2016 saja tercatat 7 juta angkatan kerja yang masih mengantri untuk mendapatkan pekerjaan, karena dunia usaha mengalami kesulitan merekrut tenaga kerja sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan. Ini menjadi fakta panjang tidak adanya jaminan pekerjaan dalam negeri, namun di sisi lain negara merekrut TKA dengan gaji tinggi. Sungguh pahit memang.

Maka tak heran kondisi sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan ini mengakibatkan tingginya angka buruh migran yang mencari pekerjaan di luar negeri. Namun mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi. Memberi peluang lahirnya dampak seperti terjadinya tindak kejahatan perdagangan orang dan turunannya. Karena pekerja migran sangat berpotensi menjadi korban orang-orang yang terkondisikan bermental jahat. Kemudian tekanan kemiskinan dan kesulitan ekonomi, belenggu hutang yang melilit, minimnya pendapatan menjadi alasan bagi rakyat untuk terpaksa menjadi pekerja migran. Apalagi pekerja migran seperti menjadi asisten rumah tangga, pengasuh anak dan jompo, buruh kebun sawit, buruh pabrik, tidak terlalu membutuhkan tingkat pendidikan yang tinggi dan keterampilan yang spesifik, namun mereka bisa mendapat upah tinggi dibandingkan bekerja di Indonesia. Tak hanya itu, penulis menemukan fakta di lapangan yaitu dari beberapa mantan pekerja migran, dari keterangan mereka bahwa mereka harus rela menjalankan peraturan yang ada pada agen yang memberangkatkan. Yang mana 6 bulan upah awal menjadi milik agen yang menampung mereka, di bulan ke tujuh mereka baru menerima upah untuk dirinya sendiri. Jika mereka memutus kontrak sepihak sebelum habis masa kontrak atas alasan tidak betah atau tidak kuat dengan medan kerja misalnya, maka mereka harus mengganti rugi semua biaya yang telah dikeluarkan oleh agen yang memberangkatkan.

Pencegahan perdagangan manusia dengan modus memberangkatkan pekerja migran ini, tidak akan pernah bisa diselesaikan dengan diberlakukannya pasal-pasal atau peraturan tentang pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang, adanya peraturan perlindungan tenaga kerja migran dan juga adanya HAM untuk melindungi hak-hak mereka. Karena peraturan yang ada tidak akan memberikan jaminan keselamatan bagi mereka. Perdagangan orang tidak bisa diselesaikan dengan hal itu. Apalagi hukum positif yang sangat fleksibel, sama sekali tidak memberi efek jera pada pelaku dan tidak mencegah terjadinya kejahatan. Maka jelaslah sistem sanksi dan hukum hari ini takkan bisa menghentikan problem perdagangan orang.

Bahkan kejahatan ini akan terus meningkat jika negara tidak menjamin ketersediaan lapangan kerja. Walaupun ada lapangan kerja namun upahnya sangat rendah, yang justru banyak mereka gunakan untuk pendidikan, kesehatan, transportasi dan akomodasi serta kebutuhan publik lainnya. Sebab negara tidak menjamin kebutuhan-kebutuhan itu, sehingga upah yang ada bukan hanya untuk memenuhi hajad hidup keluarga, orangtua atau mereka yang menjadi tanggungan para wali, tapi juga biaya sekolah anak, sampai kesehatan keluarga. Maka tak heran munculnya tindak kejahatan seperti perdagangan orang lahir atas motif ekonomi, yang mana rakyat menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang demi memenuhi kebutuhan pokok yang serba mahal hari ini.

Perlindungan Islam Terhadap Rakyatnya

Islam adalah sistem aturan hidup yang akan merealisasikan penjagaan jiwa (hifdzun nafsi), penjagaan kehormatan (hifdzun karamah) dan penjagaan keamanan (hifdzun amn) bagi rakyatnya. Sehingga di dalam negara yang menerapkan syariat Islam akan menjaga keselamatan dan keberadaan tiap-tiap individu masyarakat adalah sebuah kewajiban. Sehingga negara mencegah tindak perdagangan orang seperti yang terjadi di negara kapitalisme sekuler hari ini.

Tindak kejahatan perdagangan yang lahir akibat kemiskinan, ketiadaan lapangan kerja dan tekanan ekonomi akan diselesaikan oleh negara Islam dengan menjamin ketersediaan lapangan kerja terutama bagi laki-laki. Sebab laki-laki adalah pihak yang memiliki tanggung jawab nafkah terhadap keluarga yaitu istri dan anak, ibu dan pihak-pihak yang sudah ditetapkan oleh syariat untuk dipenuhi hajad hidupnya; sandang, pangan, dan papan. Dengan ketersediaan lapangan kerja, jaminan upah yang adil, memudahkan istri atau ibu mendapatkan nafkah yang menghantarkannya untuk optimal menjalankan perannya sebagai istri yang mengurusi suami dan ummu wa robatul bayt bagi anak-anaknya.

Ketersediaan lapangan pekerjaan bagi laki-laki yang berujung pada optimalnya peran perempuan juga menjadi salah satu bentuk penjagaan negara terhadap perempuan, yaitu dikembalikannya mereka pada posisi yang sesuai dengan fitrahnya. Kalaupun perempuan masuk ke dalam ranah publik yakni bekerja karena kondisi tertentu, maka porsi pekerjaan perempuan pun pada bidang-bidang tertentu yang layak dan pantas bagi mereka. Tidak seperti hari ini, perempuan dipaksa bekerja untuk menjadi komoditas produksi, UMKM, bekerja keras ke luar negeri yang membuka peluang eksploitasi dan celah-celah kejahatan untuknya. Akhirnya banyak perempuan yang menjadi korban penindasan dan kejahatan, kekerasan fisik dan kekerasan seksual juga korban pembunuhan seperti yang dialami para pekerja migran perempuan hari ini. Terjunnya perempuan di dunia kerja juga berakibat pada kondisi dimana terjadi perebutan lahan pekerjaan antara laki-laki dan perempuan. Akibatnya ruang kerja bagi tenaga kerja laki-laki makin sempit dan tidak terserap secara optimal.

Demikianlah paripurnanya Islam dalam menjaga rakyatnya. Islam menjegah terjadinya berbagai tindak kejahatan dengan mekanisme yang luar biasa. Seperti penyediaan lapangan kerja dan upah yang adil bagi pekerja agar mereka sejahtera. Maka untuk menyelesaikan problematika kemiskinan, pengangguran dan turunannya hanya bisa terselesaikan dengan Islam. Untuk itu kita harus sama-sama berjuang untuk mewujudkan hadirnya sistem kehidupan yang pernah diterapkan oleh Rasulullah dan para khalifah setelahnya.

Wallahu a’lam bishshawwab.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *