New Normal, Ilusi Saat Pandemi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Listy Amiqoh (Pendidik dan Ibu Rumah Tangga)

Beberapa bulan sudah terlewati, sejak pertama kali pandemi Covid-19 ini mengepung negara Indonesia pada bulan Maret yang lalu. Namun virus Corona tak kunjung pergi dan belum menampakkan tanda-tanda kepergiannya. Tidak hanya di Indonesia, nasib sama pun dialami oleh negara-negara lain yang mungkin harus berhadapan dengan gelombang kedua setelah selesai melewati gelombang pertamanya.

Pasca new normal diberlakukan di berbagai daerah di Indonesia, situasi yang semakin hari semakin genting dirasakan. Bagaimana tidak, kasus positif Covid-19 semakin meningkat setiap harinya. Dilansir dari laman prfmnews.pikiran-rakyat.com salah satu kasus terjadi di kabupaten Bandung. Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung membenarkan kabar terkait adanya satu keluarga di Kompleks Cibiru Asri, Desa Cinunuk, Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung, terkonfirmasi positif Covid-19. Penambahan itu menyebabkan total perkembangan sebaran kasus virus Corona (Covid-19) di Indonesia per Kamis (6/8/2020) tercatat ada 1.882 kasus baru, sehingga total kasus virus corona di Indonesia menjadi 118.753 orang. (ternate.tribunnews.com)
Masih banyak kasus-kasus lain yang tersebar di wilayah Indonesia, masyarakat seolah tidak peduli dengan protokol kesehatan bahkan cenderung sudah merasa aman. Padahal dengan dibukanya new normal akan memunculkan potensi penularan semakin meluas, apalagi jika masyarakat mulai abai atau mulai tidak peduli pada protokol kesehatan tersebut. Di tempat keramaian publik pun sudah banyak dijumpai masyarakat yang tidak memakai masker dan berkerumun tanpa rasa takut. Ini dikhwatirkan bisa mempertinggi kasus positif Covid-19.

Inilah dampak dari kebijakan pemerintah untuk membiarkan masyarakat hidup kembali normal dengan konsep herd immunity di saat pandemi meningkat. Dengan alasan menjalankan roda perekonomian tanpa melihat dampak kesehatan masyarakat. Sejak mewabahnya virus Covid-19 banyak sekali akibat yang dirasakan, dimulai dari lumpuhnya sektor ekonomi diikuti dengan melonjaknya angka pengangguran pasca terjadinya Pemutusan Hubungan kerja (PHK).

Penanganan Covid-19 tidak bisa ditangani secara serius oleh pemerintah. Sejak awal kemunculan kasus Covid-19, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah mencla-mencle mulai dari penerapan social and physical distancing, karantina wilayah, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), pelonggaran PSBB, dan terakhir era kehidupan baru (New Normal Life).

Pada dasarnya new normal yang dimaksud adalah rakyat harus berdamai dengan virus Corona dan menjalankan aktivitas biasa layaknya dalam kehidupan normal, hanya saja dengan menerapkan protokol kesehatan dalam aktivitas sehari-hari. Dan kebijakan ini diharapkan dapat menjalankan kembali roda perekonomian negara.

Kebijakan new normal ini adalah kebijakan yang dipaksakan. Rakyat dipaksa untuk berdamai dengan virus Corona, padahal hal ini sangat berbahaya dan mengancam nyawa rakyat. Begitupula dengan tenaga kesehatan yang berusaha untuk berada di garda terdepan dalam menangani Covid-19 hingga mempertaruhkan nyawanya. Namun begitulah wajah asli dari sistem yang memisahkan agama dari kehidupan negara (sekulerisme), upaya menyelamatkan roda perekonomian korporasi adalah yang harus diutamakan dibandingkan dengan nyawa rakyatnya.

Segala problematika yang menimpa rakyat ini tentu saja akan menimbulkan pertanyaan besar di benak kita, solusi apakah yang paling ampuh untuk menyelesaikan semua ini? Terbukti dengan sistem demokrasi saat ini gagal mengatasi pandemi dan gagal menyelamatkan nyawa manusia? Jawabannya tentu saja ada yakni dengan syariat Islam yang sudah terbukti mampu menyelesaikan pandemi dan mampu mensejahterakan rakyatnya.

Strategi efektif yang dilakukan sistem Islam untuk menghentikan wabah yaitu dengan isolasi wilayah yang terkena wabah/pandemi. Negarapun bertanggungjawab atas kebutuhan hidup rakyatnya seperti sandang, pangan, papan, jaminan kesehatan dan keamanan juga diberikan kepada seluruh warga negara sehingga kemiskinan dan kelaparan dapat diselesaikan.

Seperti saat wabah hadir di masa Rasulullah saw, beliau memerintahkan untuk mengisolasi wilayah terdampak dan orang-orang yang tertular wabah. Tiga prinsip Islam dalam menanggulangi wabah antara lain:

Pertama, jika terjadi wabah maka penguncian area yang terkena wabah harus dilaksanakan sesegera mungkin. Kebijakan ini serupa dengan kebijakan lockdown atau karantina wilayah. Ditambah dengan support berupa seluruh kebutuhan pokok umat dipenuhi negara. Wabah pun akan cepat mereda. Rasulullah saw. bersabda:

”Apabila kalian mendengarkan wabah di suatu tempat maka janganlah memasuki tempat itu. Dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu sedang berada di tempat itu maka janganlah keluar rumah.” (HR. Muslim).

Kedua, isolasi yang sakit. Baik itu isolasi mandiri ataupun ditangani tenaga medis. Tingkat penularan virus Covid-19 cukup tinggi meskipun angka penyembuhan lebih tinggi daripada angka kematian. Di sini dibutuhkan kesadaran masyarakat untuk melakukan isolasi dan menerapkan social distancing guna mencegah penyebaran virus tersebut. Selain itu masyarakat diharapkan dapat mempertahankan pola hidup sehat sesuai dengan protokol kesehatan untuk mengendalikan penyebaran Covid-19 tersebut.

Kesadaran yang dilandasi oleh keimanan akan menghasilkan amal yang produktif. Artinya, masyarakat yang memahami bahwa Islam harus dipakai dalam kehidupannya, mereka akan melakukan social distancing dengan maksimal. Karena mereka memahami bahwa hal demikian adalah bentuk ikhtiar dalam kesembuhan yang merupakan perintah Allah Swt.
”Sekali-kali janganlah orang yang berpenyakit menular mendekati yang sehat.” (HR. Bukhari Muslim).

Ketiga, pengobatan hingga tuntas. Bagaimana pun, nyawa manusia lebih berharga dibanding dunia dan isinya. Maka pengobatan harus maksimal dan ditunjang dengan sistem kesehatan yang baik. Fasilitas rumah sakit akan prima, APD mumpuni, tenaga medis yang banyak dan berkualitas, juga pendanaan yang sehat. Oleh karena itu, jika kita menginginkan permasalahan pandemi ini berakhir, selain berikhtiar untuk menjaga diri dari virus, juga harus dibarengi dengan ikhtiar menerapkan Islam secara kafah, karena hanya dalam sistem Islamlah seluruh masalah akan tuntas diatasi.

”Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raf ayat 96)

Sesungguhnya kepala negara dalam Islam memiliki tanggungjawab yang besar dalam melindungi rakyatnya. Ia akan tulus menjalani peran kepemimpinannya melayani rakyat, bukan menjadi pedagang yang menjadikan standar untung rugi atas rakyatnya layaknya di dalam negara sekuler kapitalis. Kelesuan ekonomi yang dialami pelaku ekonomi raksasa atau kapitalis tidak menjadi pendorong kuat hingga memberlakukan new normal dengan risiko mengorbankan keselamatan jiwa masyarakat luas.

Menelaah dari hadis Rasulullah di atas dengan ketentuan Islam dan syariatnya sudah membuktikan bahwa aturan Islam itu begitu sempurna. Namun pada kenyataannya kebijakan yang diambil saat ini jauh dari apa yang pernah diajarkan Rasulullah. Maka sudah saatnya umat sadar akan buruknya sistem kapitalis ini dan menggantinya dengan sistem Islam yang mampu mengembalikan peradaban gemilang dan cemerlang bagi umat dan Islam itu sendiri.
Wallahu a’lam bi ash-shawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *