New Normal Berujung New Problem

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Ummu Syifa – Dosen PTS Malang

Sejatinya tidak ada yang salah dengan istilah new normal. Tapi, new normal baru bisa diterapkan setelah melewati masa transisi, yaitu ketika pandemi telah terkendali dan kurva turun secara signifikan, meskipun vaksinnya belum ditemukan. Namun yang terjadi sekarang, di Indonesia dan beberapa negara lain di dunia, justru menerapkan new normal life ketika bahkan pandemi belum benar-benar terkendali.

Indonesia saat ini kondisinya masih abnormal dengan kasus positif yang semakin bertambah. Meski grafik belum juga melandai, tapi dengan percaya dirinya memberlakukan new normal sejak 2 Juni 2020 lalu. Pemberlakuan new normal yang belum waktunya dengan dalih “berdamai” dengan corona disertai sejumlah protokol kesehatan, yang entah bagaimana nanti pelaksanaannya. Masyarakat kembali berktivitas seperti sediakala, meski di tengah ancaman Covid-19 yang masih mengintai.

Indonesia tak ubahnya sedang berperang, belum selesai, tapi sudah berdamai dengan “musuhnya”. Padahal hakikat berdamai adalah kedua belah sepakat, bukan hanya salah satu pihak. Artinya, berdamai itu ketika negara berhasil mengendalikan laju penularan Covid-19. Tak heran langkah “akselerasi” ini dilakukan, mengingat adanya tekanan bahwa ekonomi bisa colaps jika aktivitas masyarakat berhenti. Demi mendongkrak ekonomi ribuan nyawa dikorbankan. Ibaratnya seperti seleksi alam, siapa yang kuat dia bertahan hidup, siapa yang lemah maka akan mati.

Hampir sebulan setelah penerapan new normal, adakah efeknya? Tentu saja tidak. Angka penambahan kasus semakin melonjak. Para ahli berpandangan bahwa tingginya angka kasus baru corona di berbagai daerah karena pelonggaran PSBB di tengah kondisi ketidaksiapan masyarakat. Namun pemerintah menampik itu dengan beralasan karena faktor tes masif dan pelacakan agresif yang dilakukan oleh pemerintah-lah, maka jumlah yang positif bertambah.

Tanggung jawab negara adalah melakukan tes dan pelacakan guna memastikan individu terinfeksi tidak menularkan ke yang sehat. Juga merupakan kewajiban negara mencari jalan keluar jitu bagi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yang terdampak pembatasan selama masa karantina. Semestinya, kelesuan ekonomi yang dialami pelaku ekonomi raksasa/kapitalis tidak menjadi pendorong kuat pemerintah memberlakukan new normal dengan risiko mengorbankan keselamatan jiwa masyarakat luas.

Memang, bencana berupa wabah ini merupakan bagian dari qadha’ (ketetapan Allah SWT) yang tak bisa ditolak. Namun, sistem dan metode apa yang digunakan untuk mengatasi dan mengendalikan wabah adalah pilihan; ada dalam wilayah ikhtiari manusia.

Faktanya, saat ini para penguasa dunia, juga penguasa negeri ini, lebih memilih untuk menerapkan sistem Kapitalisme, dan mengunakan metode yang lebih mementingkan aspek ekonomi dalam mengatasi wabah. Menjaga dan memelihara nyawa manusia seolah dinomorduakan. Apatah lagi agama.
Pemerintah makin terkesan abai. Dimana saat wabah, banyak masjid yang justru ditutup. Tidak boleh menyelenggarakan shalat Jumat dan shalat berjamaah. Shalat Idul Fitri di beberapa daerah juga dilarang. Semua dengan alasan demi mencegah penularan wabah Covid-19.

Sebetulnya alasan ini masuk akal, jika dibarengi oleh penutupan tempat-tempat keramaian yang lain seperti mal-mal, pasar-pasar, bandara, stasiun, terminal dll. Faktanya, banyak di antara tempat-tempat tersebut—yang notabene jauh lebih ramai daripada masjid—dibiarkan tetap “normal”. Tidak benar-benar ditutup. Maka wajar jika banyak orang berprasangka negatif atas kebijakan ini. Pemerintah dituding cenderung anti Islam karena dianggap mendeskreditkan masjid. Seolah-olah masjidlah yang paling berpotensi dalam penularan wabah daripada tempat-tempat keramaian yang lain.

Padahal, yang menjadi masalah sejak awal adalah langkah isolasi dengan luar negeri dan juga isolasi antar daerah tidak segera diterapkan oleh Pemerintah. Akibatnya, Covid-19 pun menyebar hampir ke seluruh negeri. Begitu juga dengan 3T, masih sangat minim. Untuk Covid-19, tes yang diperlukan adalah tes PCR/real time PCR atau tes cepat molekuler (TCM). Tes itu perlu dilakukan secara cepat, masif dan luas. Tes massal bisa dilakukan dengan metode yang efektif. Di antaranya metode pool test.
Menurut WHO, idealnya angka tes itu sekitar 30.000 tes per satu juta penduduk. Jika penduduk negeri ini 250 juta, idealnya perlu 7,5 juta tes. Faktanya, jumlah uji PCR secara nasional hingga 2 Mei 2020 hanya sebanyak 237.947.

Artinya, angka uji PCR hingga 2 Mei 2020 hanya 952 per satu juta penduduk. Angka ini tentu sangat kecil. Karena itu yang harus diprioritaskan oleh Pemerintah saat ini adalah bagaimana mengendalikan dan mengatasi pandemi Covid-19.

Keselamatan nyawa manusia harus lebih didahulukan daripada kepentingan ekonomi. Apalagi sekadar memenuhi kepentingan ekonomi segelintir orang, yakni para kapitalis (pengusaha/pemilik modal).

Kapitalisme jelas gagal menyelesaikan permasalahan wabah. Karena itulah solusi hakikinya adalah kembali pada syariah Islam. Dengan syariah Islam, wabah akan lebih mudah diatasi dan dikendalikan. Tentu tanpa mengganggu syiar Islam dan ibadah kaum Muslim. Nyawa manusia pun bisa terselamatkan. Ekonomi juga tetap bisa berjalan. Isolasi/karantina adalah di antara tuntunan syariah Islam saat wabah terjadi di suatu wilayah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلَا تَدْخُلُوهَا وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا مِنْهَا

“Jika kalian mendengar wabah di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Jika terjadi wabah di tempat kalian berada, janganlah kalian keluar dari wilayah itu” (HR al-Bukhari).

Tindakan isolasi/karantina atas wilayah yang terkena wabah tentu dimaksudkan agar wabah tidak meluas ke daerah lain. Karena itu, suplay berbagai kebutuhan untuk daerah yang diisolasi tetap harus dijamin. Ini hanyalah masalah manajemen dan teknis. Relatif mudah diatasi. Apalagi dengan teknologi modern saat ini. Ditambah dengan sikap amanah Pemerintah sebagai pengurus rakyat yang bertindak sesuai dengan syariat.

Tindakan cepat isolasi/karantina cukup dilakukan di daerah terjangkit saja. Daerah lain yang tidak terjangkit bisa tetap berjalan normal dan tetap produktif. Daerah-daerah produktif itu bisa menopang daerah yang terjangkit, baik dalam pemenuhan kebutuhan maupun penanggulangan wabah. Dengan begitu, perekonomian secara keseluruhan tidak terdampak.

Secara simultan, di daerah terjangkit wabah diterapkan aturan berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ تُورِدُوا الْمُمْرِضَ عَلَى الْمُصِحِّ

“Janganlah kalian mencampurkan orang yang sakit dengan yang sehat” (HR al-Bukhari).

Untuk menerapkan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu, maka harus dilakukan dua hal: Pertama, jaga jarak antar orang. Kedua, harus diketahui siapa yang sakit dan siapa yang sehat.

Jaga jarak dilakukan dengan physical distancing seperti yang diterapkan oleh Amru bin ‘Ash dalam menghadapi wabah Tha’un ‘Umwas di Palestina kala itu, dan berhasil. Adapun untuk mengetahui siapa yang sakit dan yang sehat harus dilakukan 3T (test, treatment, tracing). Kecepatan dalam melakukan 3T itu menjadi kunci. Harus dilakukan tes yang akurat secara cepat, masif dan luas. Lalu dilakukan tracing kontak orang yang positif dan dilakukan penanganan lebih lanjut. Mereka yang positif dirawat secara gratis ditanggung negara. Tentu semua itu disertai dengan langkah-langkah dan protokol kesehatan lainnya yang diperlukan.

Dengan begitu, maka bisa dipisahkan antara orang yang sakit dan yang sehat. Mereka yang sehat tetap bisa menjalankan aktivitas kesehariannya. Mereka tetap dapat beribadah dan meramaikan masjid. Mereka juga tetap menjalankan aktivitas ekonomi dan tetap produktif. Sehingga daerah yang terjangkit wabah tetap produktif sekalipun menurun.

Mengikuti prosedur sesuai petunjuk syariah, maka nyawa dan kesehatan rakyat tetap bisa dijaga. Agama dan harta (ekonomi) juga tetap terpelihara. Kebijakan seperti itulah yang semestinya diambil dan dijalankan sekarang ini. Itulah tujuan dari penerapan syariah Islam.

Tujuan memelihara agama antara lain diwujudkan dengan menjamin syiar-syiar Islam, pelaksanaan ibadah (termasuk shalat berjamaah di masjid), dsb. Islam menilai upaya melarang atau menghalangi syiar Islam dan pelaksanaan ibadah tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariah sebagai dosa besar.

Penerapan syariah Islam juga bertujuan untuk memelihara nyawa manusia. Dalam Islam, nyawa seseorang—apalagi nyawa banyak orang—benar-benar dimuliakan dan dijunjung tinggi. Menghilangkan satu nyawa manusia disamakan dengan membunuh seluruh manusia (Lihat: QS al-Maidah [5]: 32). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ

“Sungguh lenyapnya dunia ini lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang Muslim” (HR an-Nasai, at-Tirmidzi dan al-Baihaqi).

Perlindungan dan pemeliharaan syariah Islam atas nyawa manusia diwujudkan melalui berbagai hukum. Di antaranya melalui pengharaman segala hal yang membahayakan dan mengancam jiwa manusia. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ ضَرَرَ وَ لاَ ضِرَارَ

“Tidak boleh (haram) membahayakan diri sendiri maupun orang lain” (HR Ibn Majah dan Ahmad).

Demikianlah tuntunan syariah yang bisa diterapkan dalam kehidupan umat manusia. Hanya syariat Islam yang mampu menjamin terpeliharanya setiap urusan manusia, dalam kondisi normal maupun ketika sedang terjadi pandemi. Dengan menerapkannya secara kaffah maka akan membawa keberkahan bagi seluruh alam semesta.
Wallahu ‘alam bish-showab. []
********

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *