Nasib Pekerja Migran Masih Memprihatinkan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Nasib Pekerja Migran Masih Memprihatinkan

Oleh Tsabita Rahma, S.Pd.
(Member Tinta Pelopor)

Dunia tenaga kerja migran bukanlah hal baru lagi bagi masyarakat Indonesia. Bahkan sejak jaman Belanda, Indonesia dikenal sebagai sumber tenaga kerja migran.

Menurut PBB definisi migran adalah apabila seseorang yang pindah ke negara lain selain negara tempat tinggalnya yang biasa, untuk jangka waktu paling sedikit satu tahun. Hingga negara tujuan menjadi negara tempat tinggalnya.

Sedangkan berdasarkan Undang-undang No. 18 tahun 2017, Pekerja Migran Indonesia (PMI) adalah setiap warga negara Indonesia yang akan, sedang, atau telah melakukan pekerjaan dengan menerima upah di luar wilayah Republik Indonesia.

Hingga kuartal III/2022 jumlah pekerja migran Indonesia diperkirakan sebanyak 3,37 juta orang. Jumlah tersebut lebih tinggi 3,4% dibandingkan tahun 2021 yang sebanyak 3,25 juta orang.

Menurut negara penempatannya, pekerja migran Indonesia paling banyak di Malaysia, yakni sebanyak 1,64 juta orang. Setelahnya ada Arab Saudi dengan jumlah pekerja migran dari dalam negeri sebanyak 836.000 orang. Lalu, sebanyak 322.000 pekerja migran Indonesia berada di Hongkong. Ada pula 318.000 pekerja migran Indonesia yang berlokasi di Taiwan. Pekerja migran Indonesia yang berada di Singapura dan Yordania masing-masing sebanyak 95.000 orang dan 43.000 orang. Sementara, pekerja migran Indonesia di Uni Emirat Arab sebanyak 38.000 orang [dataindonesia.id, 16/12/2022].

Komisioner HAM, Anis Hidayah mengatakan bahwa dalam kurun waktu 2020 – 2022 Komnas HAM menerima 257 pengaduan terkait pekerja/buruh migran Indonesia. Berbagai kasus yang diadukan antara lain berkaitan dengan pemenuhan hak-hak pekerja migran, yaitu upah yang tidak dibayar, klaim asuransi, dan lainnya.

Selain itu, kasus lainnya seperti permohonan pemulangan pekerja migran yang hilang kontak, kesulitan pemulangan jenazah pekerja migran, adanya dugaan penyanderaan oleh pihak majikan atau perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (P3MI). termasuk juga pengaduan tentang permohonan perlindungan dan bantuan hukum. Seperti dalam kasus kriminalisasi korban perkosaan yang berhadapan dengan hukum, penahanan di negara tujuan dan lain sebagainya.

“Data Komnas HAM menunjukkan bahwa Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) menjadi pihak yang tertinggi diadukan. Malaysia menjadi negara tertinggi yang paling banyak diadukan terkait dengan permasalahan pekerja migran Indonesia, “ kata Anis. [hukumonline.com, 19/12/2022]

Banyaknya kasus yang terjadi pada tenaga kerja migran Indonesia bukan karena ketiadaan hukum ataupun peraturan. Sejumlah peraturan sudah dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia. Sebagaimana dalam UU No. 18 Tahun 2017 yang mengatur bahwa perlindungan pekerja migran dijamin saat sebelum berangkat, selama, dan setelah bekerja. Dalam UU tersebut termasuk sosialisasi informasi, peningkatan kualitas pekerja migran, pemberian jaminan sosial, pengawasan, penyelesaian kasus ketenagakerjaan hingga masalah fasilitas kepulangan pekerja sampai di daerah asal. Semuanya itu secara detail telah diatur dalam UU.

Namun, fakta di lapangan berkata lain. UU yang berkaitan dengan pekerja migran, termasuk juga peraturan tambahan lainnya tidak mampu memayungi secara aman pekerja migran Indonesia yang berkasus.

Banyaknya jumlah pekerja migran Indonesia menunjukkan bahwa minta orang Indonesia usia produktif untuk bekerja di luar Indonesia sangatlah tinggi. Belum lagi permintaan atas tenaga kerja dari Indonesia pun tidaklah sedikit.

Pada umumnya persoalan ekonomi menjadi pendorong utama seseorang untuk bekerja merantau ke negeri orang. Kehidupan yang serba minim, kebutuhan yang tak terpenuhi, tekanan ekonomi di dalam negeri pun menjadi pemicu. Bahkan sulitnya mencari pekerjaan di dalam negeri semakin memantapkan langkah untuk bekerja di luar negeri.

Keinginan untuk hidup layak menjadi impian semua orang. Belum lagi iming-iming dari calo yang menjanjikan pekerjaan di luar negeri. Keinginan yang begitu kuat akhirnya menempuh jalan apa saja yang penting bekerja ke luar negeri, meskipun harus merelakan untuk ikut melalui jalur ilegal.

Ironis memang. Tapi, seperti itulah kenyataan yang terjadi. Banyaknya pekerja migran tidak diimbangi dengan perhatian penuh negara dalam menjamin keamanan warga negaranya yang menjadi pekerja migran. Belum lagi masalah sulitnya mendapatkan pekerjaan di dalam negeri, ternyata fakta yang ada banyak tenaga kerja asing yang masuk dengan dalih investasi. Hal ini pulalah yang menyebabkan sebagian orang memilih untuk menjadi pekerja migran.

Seperti inilah sistem kapitalis jika diterapkan dalam mengatur sistem kehidupan. Kepentingan pemilik modal harus didahulukan. negara tidak menjadi pengurus dan pelindung warga negaranya. Negara hanyalah sebagi fasilitator belaka.

Tentunya akan berbeda jika sistem Islam yang dijadikan sebagai sebuah sistem kehidupan. Dengan landasan iman, penguasa akan mengatur dan mengurusi warga negaranya sebaik mungkin, baik yang ada di dalam negeri maupun yang ada di luar negeri.

Dalam sistem Islam, negara memiliki kewajiban memelihara dan mengatur urusan umat.

“Seorang imam/kepala negara adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam urusan pekerjaan, maka negara berkewajiban memberikan sarana prasarana kepada pencari kerja. Selain itu, negara pun harus menciptakan dan menyediakan lapangan kerja bagi setiap laki-laki baligh terutama yang menjadi kepala negara. Semuanya itu merupakan bentuk tanggung jawab negara yang berkenaan terhadap pemeliharaan dan pengaturan urusan rakyat yang sesuai dengan syariat Islam.

Sistem Islam memiliki cara tersendiri dalam menyelesaikan masalah ketenagakerjaan. Mekanisme jaminan keamanan yang diberlakukan adalah dengan menerapkan aturan yang tegas bagi siapa saja yang mengganggu keamanan jiwa, darah, dan harta warga negaranya.

Sistem Islam mewajibkan negara sebagai pelindung untuk melindungi seluruh warga negaranya, baik yang ada di dalam negeri maupun yang ada di luar negeri. Muslim maupun non-muslim.

Sistem Islam memiliki solusi mendasar dan komprehensif karena aturan yang diberlakukan berasal dari Allah SWT. Oleh karen itu, sudah selayaknya kita kembali pada sistem yang berlandaskan keimanan. Yang mendudukan manusia sesuai dengan martabatnya sebagai manusia. Yang memuliakan semua warga negaranya tanpa pilih kasih. Sudah saatnya kita menggunakan sistem Islam dalam menyelesaikan berbagai masalah kehidupan. Termasuk masalah yang terjadi pada pekerja migran Indonesia.

Penerapan sistem Islam ini hanya bisa diberlakukan jika ada negara yang menerapkannya sebagai sistem kenegaraan dan diterapkan secara keseluruhan. Bukan tambal sulam ataupun sebagian-sebagian. Harus totalitas kembali pada sistem kehidupan yang shahih, yaitu dengan penerapan sistem Islam sebagai sistem kenegaraan.

Wallahu a’lam Bishawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *